Petaka

1620 Words
POV 3   Seluruh prajurit Kota Eretium, Julio, Acacio, Alexio, beserta Dokter Elasmus sampai pada pintu gerbang menjulang tinggi Kota Plataia. Seperti biasa, kota itu dijaga ketat oleh ratusan militer yang sudah terlatih tangkas. Akan tetapi, inilah gunanya membawa pasukan Kota Eretium sehingga ratusan militer Kota Plataia bukan penghalang bagi terlaksananya rencana sang dokter. Sementara semua pasukan Kota Eretium berkutat dengan pertarungan, Dokter Elasmus, Acacio, Julio, dan Alexio mulai memasuki Kota Plataia dan menuju departemen pertahanan. Sebelum mulai menjejakkan langkah ke dalam gedung, Dokter Elasmus menyorotkan tatapan ke arah lapangan luas yang mana terdapat sebuah roket yang kira-kira sepanjang dua puluh meter serta lebar lima meter. Inilah yang selalu ditakutkan oleh sang dokter. Si jenius bernama Elasmus itu tidak mungkin membiarkan masa lalu kembali terulang di daratan ini. Jika sampai hal itu terjadi, maka tidak akan ada habisnya. Paradoks. “Dok? Apa yang kau lihat?” Acacio bertanya sebab melihat sang dokter kini menatap penuh amarah. “Lihat, roket itulah yang akan membawa petaka bagi kita semua yang ada di daratan ini, kecuali Kota Plataia. Ialah sumber virus yang akan mengontaminasi gelombang elektromagnetik,” jelas sang dokter. “Begitu rupanya,” kata Acacio manggut-manggut, “Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” lanjutnya. “Kalau begitu, ayo kita masuk dan hentikan peluncuran roket itu.” Ketiganya kembali menjejakkan langkah ke pintu masuk, sayangnya ada empat militer yang menjaga pintu masuk departemen pertahanan. Keempat militer maju secara serentak. Yang posisi paling depan bertanya, “Mau apa kalian datang ke sini!” “Coba tebak, apa yang akan kami lakukan?” Alexio bernada mengejek. “Sialan!” Lawan di posisi paling depan mengangkat senjata, tetapi lantas dengan cepat Alexio berlari. Ia raih tangan kanan si militer, kemudian memelintirnya sehingga senjata terjatuh. Tidak sampai di situ, Acacio mengambil senjata yang dijatuhkan si militer tadi dan menarik pelatuk sehingga membuat ketiga militer di belakang bersimbah darah. Mereka meregang nyawa. Setelah berhasil melayangkan tinju pada si militer hingga terbaring lemah, ketiganya dengan cepat berlari ke dalam gedung. “Setelah ini kita ambil jalan yang mana, Dok?” tanya Alexio yang berada paling depan dari keduanya. “Kita gunakan lift untuk menuju lantai tertinggi gedung ini, yaitu lantai lima pu—“ “Hei!” Dua militer terpekik dari arah depan yang kemudian menembakkan amunisi. Serentak ketiganya menghindari peluru dan mencari tempat berlindung. “Dokter, carilah tempat berlindung! Akan kuselesaikan ini!” seru Alexio yang berlari mendekati militer di depan dengan langkah zig-zag guna menghindari amunisi yang meluncur. Sedang Acacio juga menemani sang dokter bersembunyi pada meja yang telah ia balik sehingga berfungsi sebagai perisai jika peluru meluncur ke arah mereka. Ketangkasan Alexio berhasil membunuh dua militer yang sempat menghentikan langkah mereka. “Semua sudah aman!” teriak Alexio sehingga bisa didengar oleh kedua temannya. Acacio dan Elasmus mengintip dari balik meja, memastikan semua sudah aman, lalu berjalan dengan cepat memasuki lift yang berada tepat di samping Alexio berdiri. “Ayo, kita harus cepat! Kita tidak punya banyak waktu!” Dokter Elasmus tampak tergesa-gesa, ia menekan angka lima puluh pada lift. “Ngomong-ngomong, Dok,” Acacio angkat bicara, “ke mana perginya Julio? Aku pikir tadi dia bersama kita,” lanjutnya merasa ada yang ganjil. “Entahlah. Sejak kita memasuki kota ini, dia pergi ke arah tempat yang selama ini menjadi kurungan bagi ras Akila.” “Maksudmu dia pergi ke sebuah tempat yang disebut dengan sangkar itu?” Acacio mencoba memastikan. “Iya, benar. Sepertinya ia punya rencana lain. Mencoba membebaskan semua rasnya, mungkin.”   ***   Julio menarik sebuah tuas ke bawah di samping pintu setinggi lima puluh meter demi membuka pintu sangkar ras Akila. Puluhan militer yang berjaga telah ia habisi dalam waktu yang singkat. Ya, di dalam sangkar ini masih tersisa ribuan ras Akila yang dicurigai Julio tidak diturunkan ke medan perang. Baginya, kebebasan rasnya adalah yang paling utama. Meskipun semua ras Akila di dalam sangkar ini bahkan tampak seperti tak memiliki perasaan, tetapi Julio berencana untuk membiasakan mereka hidup dengan para manusia biasa. Tidak dimungkiri mereka memang kejam dan mudah membunuh siapa saja. Setelah pintu mulai terbuka, Julio melangkah masuk beberapa meter dari pintu. Ia lihat ras Akila melakukan aktivitas seperti biasa. Ada yang duduk termenung tanpa melakukan apa-apa. Ada yang berjalan mondar-mandir layaknya robot yang tak punya emosi. Mereka sesungguhnya hanya menunggu sebuah perintah dari petinggi. “Julio ….” Sebuah bariton membuat Julio menolehkan pandangannya ke kanan. Ia lihat sesosok Akila bertubuh lebih besar darinya. Dialah sang penakluk yang menjadi pemimpin Akila di sangkar ini. Tatapannya mengintimidasi, disedekapkan tangannya. Lelaki berjanggut lebat hitam itu melangkah perlahan menghampiri Julio. “Sudah sekian lama tidak berjumpa denganmu, Nak,” ucapnya lalu terhenti dengan jarak dua meter di hadapan Julio. “Sang penakluk,” desis Julio mencoba tetap tenang. “Kau tahu kenapa aku tidak diturunkan ke medan perang?” tanyanya kemudian. “Tentu saja aku tahu. Kaulah kunci agar semua ras Akila di sini mematuhi perintah para petinggi,” tandas Julio. “Lalu apa tujuanmu kemari?” “Bebas. Aku ingin kita semua terbebas dari belenggu b******n-b******n picik Kota Plataia.” “Hahaha. Jangan bercanda kau, Julio. Kita tidak akan bisa bebas dari tempat ini. Inilah rumah kita. Lihatlah! Kita hanya anjing yang harus menurut pada tuan kita. Kita anjing yang dijadwalkan makan di jam-jam tertentu,” sanggah lelaki brewok itu sambil tertawa renyah dan membentangkan tangannya. “Apa kau bermaksud untuk jadi anjing mereka selamanya? Hei, ayolah, Pak Tua. Kita juga harus melihat indahnya dunia ini. Kita saksikan betapa damainya dunia ini.” “Damai? Indah kau bilang? Apa kau sedang mengkhayal, Julio? Dunia yang dipenuhi dengan peperangan dan kerusakan ini kau bilang damai? Jangan membuatku tertawa!” “Kami akan memenangkan peperangan ini, Pak Tua! Aku ke sini bermaksud untuk bernegosiasi denganmu. Lihat mereka yang tampak lesu. Lihat mereka, Pak Tua. Apa kau tidak—“ “Aku menolak, Julio,” potong sang penakluk dengan pelan. “Sepertinya memang tidak ada cara lain lagi. Kita akan bertarung di sini. Pantaskah kau menyandang gelar sang penakluk jika kalah dariku?” Julio bersiap-siap memasang kuda-kuda. “Kau cukup berani juga, Nak. Baiklah, aku terima tantanganmu itu.” Pada detik berikutnya, sang penakluk melaju kencang dan meraih kepala Julio, ia genggam dengan tangannya yang besar, kemudian dibenturkannya ke tanah dengan sangat keras sehingga membuat bekas pada permukaan tanah. “Kau ternyata masih lemah seperti dulu. Aku pikir setelah bertahun-tahun lamanya menghilang, kau bisa bertambah kuat. Dan ternyata—“ Belum sempat menyelesaikan perkataannya, sang penakluk mendapat terjangan di punggung oleh kaki panjang Julio. Tubuh pak tua itu terdorong ke depan. Ia geram. Dibalikkannya tubuh kembali menghadap Julio. “Oh, ini semakin menarik.” Julio kembali melancarkan serangan bertambah cepat. Kepalan tangannya berhasil mengenai hidung pak tua dengan sangat keras hingga keluarlah cairan merah. Tak peduli dengan luka yang didapatkan, sang penakluk berusaha menyerang cepat. Namun, begitu mudahnya Julio menghindar. Bahkan lelaki bermata biru itu tak memberi celah kosong sedikit pun pada gerakannya. Ia sempat membuat pak tua yang dijuluki sang penakluk itu kelelahan. Terhenti, keduanya berhenti. Sang penakluk terengah-engah, sedang Julio masih punya tenaga banyak. Helaan napasnya masih tenang dan teratur. Ya, itu karena dia sudah biasa menghadapi pertarungan yang lebih sulit daripada melawan sang penakluk. “Bagaimana, Pak Tua? Apa kau masih belum mau menerima tawaranku? Kita harus bebas, Pak Tua. Kebebasan membuat kita berkembang.” Sang penakluk menghela dalam sebelum mulai angkat bicara. “Apa jaminannya jika kita tidak bisa meraih kebebasan yang kau bicarakan tadi?” “Aku tidak akan memberikan jaminan apa pun, Pak Tua. Sudah jelas bahwa kita akan mendapatkan kebebasan itu. Jika gagal, aku akan mencoba lagi dan lagi. Tidak peduli berapa kali terjatuh, aku akan bangkit sebanyak mungkin.” Pernyataan Julio yang tampak sangat yakin membuat sang penakluk merinding. Dia bahkan sudah tahu dari awal bahwa lelaki itu tidak akan menyerah dengan mudah. Perjuangannya sama seperti bagaimana ia berjuang untuk lolos dari sangkar ini puluhan tahun silam. “Baiklah. Aku terima penawaranmu, Julio. Aku ini sudah tua dan kemampuanku sudah berkurang. Selanjutnya, kaulah yang pantas menyandang gelar sang penakluk dan membawa ras kita menuju kebebasan.” Kedua insan itu akhirnya tersenyum layaknya kebebasan yang mereka bicarakan sudah dapat digenggam dengan mudahnya.   ***   Sementara itu, Robert dan Darien kini telah sampai di departemen pertahanan. Tanpa repot masuk dan menggunakan lift, Darien terbang membawa Robert ke lantai paling tinggi gedung pertahanan. Ia menerobos masuk memecahkan kaca-kaca cemerlang gedung tersebut sehingga membuat Luxter beserta semua karyawan di sana terhenyak. Setelah mendarat, Robert menyorotkan tatapan tajam ke arah Luxter yang berdiri beberapa meter di hadapannya. “Luxter b*****t …,” desis Robert yang seketika melesat meraih leher pria tua itu. “Lepaskan … Robert!” Luxter berontak dan membentur-benturkan tangannya mencoba melepaskan cengkeraman lelaki bertubuh besar itu. “Kau mengingkari janjimu, Pak Tua sialan!” geram Robert sambil mengeritkan giginya. “I-ini … demi kedamaiaan Kota Pla—“ “Kau ternyata tidak percaya denganku. Kau telah membuat pertarunganku dengan Darien terhenti! b*****t kau, Luxter!” Dengan sangat keras, Robert melempar tubuh Luxter hingga terempas ke dinding ruangan. Luxter terbatuk-batuk dan memuntahkan darah. “Hentikan roket itu!” perintah Robert pada salah seorang karyawan yang ketakutan setengah mati. “Maaf, roketnya tidak bisa dihenti—“ “Hentikan!” pekik Robert penuh amarah. “Tidak bisa, Tuan—“ Tanpa menunggu lama, Robert mengarahkan lancip pedang dan menusuk perut pria berambut ikal berkacamata itu sehingga meregang nyawa. Robert tendang kemudian mayat pria itu dengan keras. “Roket akan meluncur sepuluh menit lagi!” Robert semringah mendengar suara peringatan otomatis tersebut. Sedangkan Dokter Elasmus, Acacio, dan Alexio yang baru tiba di lantai lima puluh cukup membelalakkan mata. Mereka sudah tidak punya waktu lagi. Bagaimana caranya menghentikan peluncuran roket yang akan membawa petaka bagi semua kota di daratan Asterovos?   ***

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD