....
"Udah deh. Balik aja sendiri, Leave me alone, dear Nitnoot," tukasku yang segera menghabiskan air dalam gelas.
Nita memegang lenganku. "Kamu marah sama Nino ya," tanyanya.
Aku nyengir, setelah meletakkan gelas di meja.
"Banget! Rasanya pengen kucakar-cakar mukanya itu sampai rusak dan gak bisa dikenali. Aku malu banget Nit, maluuuuu banget. Apalagi dilihat sama semua orang kejadian itu."
"Iya aku paham," katanya. "Ya sudah, aku balik dulu."
"Yup," jawabku singkat.
Sepeninggal Nita, aku pergi ke kran yang biasa digunakan untuk menyiram bunga. Setelah mencuci muka, tangan dan kaki, aku segera menuju kamar. Setelah selesai menukar baju dengan babydoll, ponsel di tasku berbunyi kencang sekali. Buru-buru kulihat siapa yang menelepon. Nomor yang tidak dikenal.
Walau tadinya ragu-ragu, tapi akhirnya kuangkat juga.
"Halo, Nora? Ini Ejik," sapa di seberang.
Astaga, Bang Ejik ternyata. "Ya Bang?" jawabku cepat
"Kamu di mana, Ra? Dapat penghargaan peserta terbaik dua, ini," katanya.
"OOO, gitu. Makasih Bang, simpenin dulu. Kapan-kapan kuambil sertifikatnya," kataku santai.
"Gak bisa gitu Ra. Kamu ke sini sekarang, sertifikatnya diberikan langsung oleh Para petinggi di panggung," katanya lagi.
"Nggak ah, males balik aku," jawabku lagi.
"Ra, kamu keluar atau aku yang masuk ke asrama putri. Aku sudah di depan pintu depan ini," ancamnya.
"Hah? Bang Ejik masuk ke sini?" kataku Aku gelagapan.
"Iya. Aku bisa pakai hak preogratif pengurus untuk masuk sana," katanya lagi.
"Eh, jangan! Yaudah aku keluar," kataku seraya mematikan telepon. Segera saja aku mencari jaket dan memakai nya. Tidak lupa celana panjang juga, sialnya aku sudah ganti baju tidur.
Hanya membawa ponsel, aku pun keluar asrama. Benar Saja, Bang Ejik sudah menunggu di depan.
"Kita berangkat sekarang?" tanyaku begitu sampai di luar.
Dia tidak menjawab. Hanya menatapku sejenak kemudian mengembuskan napas dan berjalan lebih dulu.
Aku pun setengah berlari menjajarinya. Kami berjalan menuju dome tanpa bicara. Namun bisa kurasakan kalau cowok gondrong di sebelahku ini, beberapa kali mencuri pandang.
Sebelum sampai tujuan, aku menoleh dan memergokinya. Lantas kami berdua berhenti berjalan.
"Apaan sih, Bang? Ngomong aja Napa! Aku nggak suka diiatin mulu gak jelas gini," kataku sebal.
Dia tampak terkejut. "Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya. "Kenapa langsung pergi?"
Aku menatapnya sejenak, sebelum membuang muka sembari berkacak pinggang. Kuhela napas mencoba untuk tidak marah-marah. "Sudah jelas kan? Aku kesal sama Nino," jawabku datar, sedikit sinis.
"I see." Bang Ejik menghela napas. "Nino sedikit keterlaluan memang," katanya lagi, sembari masih memandangku lekat-lekat.
"Yaudahlah, ayok ke sana," kataku, yang lama-lama merasa tidak enak juga melampiaskan kekesalan pada bang Ejik.
Kami pun kembali berjalan ke depan Dome. Bang Ejik, mengajakku berkumpul dengan teman-teman dari kelompok tiga. Mereka bersikap biasa saja padaku, tapi hanya Nino yang tidak ada di sana. Meski penasaran, kuurungkan niat bertanya kemana si b******k Suneo itu.
Acara pun berlanjut di atas panggung, mbak Rani memanggil para peserta yang menjadi peserta terbaik satu dua tiga, dan meminta mereka naik panggung.
"Peserta terbaik satu, atas nama Wahyu Iskandar, Peserta terbaik dua, Elleanora Zein, dan peserta terbaik tiga, El Nino Mubarak, silakan naik ke atas panggung. Untuk penyerahan piagam dan hadiah, kami mohon kepada Bapak perwakilan dari pengurus yayasan, dan Tim pembina, berkenan naik ke atas panggung,"
Aku pun celingukan mencari sosok si Nino, hanya Wahyu dan aku yang ada di tempat.
"Mana Nino?" tanyaku pada Rina.
"Gak tahu, kayaknya tadi dia dipanggil sama kak Yo," jawabnya.
Dipanggil kak Yo? Ngapain coba?
Aku melihat sekeliling, Bang Ejik pun tidak tampak batang hidungnya. Mereka seolah sedang menghilang tanpa bekas.
"Sekali lagi, bagi yang sudah saya sebutkan, silakan maju ke atas panggung," panggil Mbak Rani sekali lagi.
Wahyu sudah naik, maka aku pun ikut naik. Selanjutnya, penyerahan piagam diberikan pada kami. Saat itulah, Nino muncul entah dari mana dan langsung naik ke atas panggung. Dia berdiri di sebelahku.
Acara penyerahan itu pun berakhir. Kami foto bersama lantas turun. Aku sengaja langsung ngacir menjauhi Nino, tidak kembali ke tepat semula.
"Baiklah, kita sudah sampai di penghujung acara. Untuk penutupan dan doa, kami persilakan Presiden Utama Asrama Mahasiswa Universitas Kartarajasa, Gavin Yoseph Akbar untuk ke atas panggung," kata Mbak Rani.
Kak Yo pun naik panggung dan semuanya menjadi tenang. Aneh banget memang, seolah-olah dia lebih ditakuti dibanding para pengasuh dan pembibimbing.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapanya.
"Waalaikum salam ...."
"Ra, selamat ya," kata Nita yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.
"Eh, makasih Nit," jawabku sambil tersenyum.
"Akhirnya kamu keluar kandang juga, katanya tadi males," sindirnya padaku.
"Bang Ejik ngancem, mau masuk asrama kalo aku gak keluar," curhatku.
"Hah? Bener-bener orang satu itu, bisa aja bikin kamu mati kutu," timpalnya lagi.
"Nit, orang-orang responnya gimana saat aku drama di panggung? Kok aku ngerasa mereka kasak kusuk gitu ya?" tanyaku.
"Udah, gsah dipikirin. Namanya juga penonton. Cuma, ya kalau menururtku aktingmu terlalu totalitas. Apalagi sama lawan jenis, agak gimana gitu," jawabnya lagi.
"Maksudmu?"
"Ya, gimana ya. Terlalu akrab sama cowok di depan banyak orang kelihatan ga bagus juga sih. Termasuk juga kostum anak SMA yang kamu pakai, terlalu ngepas di badan dan terlihat seksi," lanjut Nita.
"Hmmm gitu ya?" Walau menyakitkan, tapi apa yang dikatakan Nita bisa membuatku membuka mata. "Makasih banyak ya, by the way, udah ngasih tahu kesalahanku di mana. Soalnya dari tadi semua diem aja," imbuhku.
"Yah, itulah gumanya teman, Ra. Saling ngingetin, dan nggak akan ngomongin kamu di belakang," jawab Nita.
"Kamu baik banget sih, Nit. Beruntung aku kenal kamu di sini," pujiku.
"Ah, biasa aja kali.... jangan lebay," cibirnya, seraya melepas rangkulanku.
Tidak terasa sambutan Bang Yo sudah selesai. (Ya soalnya ngobrol sendiri sih, hehehehe) Akhirnya, acara pun usai.
"Baiklah teman-teman, seluruh rangkaian acara telah kita lalui bersama. Terima kasih atas partisipasinya. Sampai bertemu lagi di lain acara, saya Maharani Syailendra pamit, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," tutup Mbak Rani.
"Waalaikum salam."
"Perhatian-perhatian, untuk pengurus dan penghuni baru, harap jangan bubar dulu, kita beresin semua ya!" kata Bang Dion memberi pengumuman.
"Yah, padahal udah ngantuk banget akutu. Masih disuruh beres-beres juga," keluhku.
"Udah deh, yok!" ajak Nita, setengah menyeretku.
"Iya iya!" aku pun mengikutinya, membereskan piring dan gelas bekas Aqua yang berserakan.
Saat itulah aku terpencar dari Nita, lalu, tiba-tiba Rina menghampiriku.."Ra, gawat Ra! Bang Ejik mana?" tanya nya.
"Ga tahu! Aku dari tadi mungutin sampah," jawabku acuh tak acuh. "Kenapa emang?"
"Duh, eh, ke bang Dion aja," ujarnya sambil berlari ke arah bang Dion yang masih di atas panggung. Sama sekali tidak menggubris pertanyaan ku.
Terlihat Bang Dion berlari ke satu arah diikuti Nita. Aku kepo juga dong, akhirnya mengikuti mereka, yang berlari ke belakang dome.
Ternyata di sana sudah ada beberapa orang. Bang Ejik, kak Yo, Nino juga Satya. Bang Ejik seperti sedang menahan Kak Yo dan Satya menahan Nino. Keduanya sedang bersitegang.
"... kamu emang gak bisa diajarin sopan santun ya!" sergah Kak Yo.
"Sudah Bang, tidak usah diperpanjang," kata Bang Ejik.
"Aku tidak takut sama kamu Bang! Mau berkelahi, ayok! Sini kalau berani!" tanyang Nino.
"Woeey! Apa-apaan ini?" ujar Bang Dion yang baru datang.
"Rin, ada apa sih?" tanyaku mendekati Rina.
"Nino nyolot, Kak Yo negur dia buat bantuin bongkar panggung," kata Rina.
"Dasar Trouble maker tuh anak," cibirku.
Mendadak Nino menoleh padaku. "Apaan kamu ikut-ikutan, hah? Pengen cium beneran kan? Tunggu ya, nanti aku buat kamu ketagihan dan minta lagi," ancamnya padaku. Ekspresinya benar-benar seperti cowok b******k yang sedang mengincar mangsa.
Aku pun mematung, dengan wajah yang terasa panas, menatap nanar padanya. Sungguh, dia begitu kejam, ngomong begitu di depan banyak orang.
"Nino! b******k kamu!" teriakan kak Yo itu menyadarkan kami semua. Kak Yo, bergerak secepat kilat, lepas dari kekangan Bang Ejik, lalu melayangkan pukulan mentah-mentah ke wajah Nino.
Cowok berbadan kekar itu pun roboh seketika. Kak Yo tidak membiarkannya lolos begitu saja, dia masih menyerang Nino dengan bertubi-tubi.
"Kak Yo!" teriak beberapa orang di situ yang berusaha melerai.
Aku masih mematung menyaksikan semua itu, hingga Pak Ananta datang bersama Wahyu. "Stop! Apa-apaan ini? Yongkie! Nino, berhenti!"
Barulah perkelahian yang tidak seimbang itu terhenti. Kak Yo yang terlihat cool dan kalem, berubah beringas kalau sedang berkelahi. Sementara Nino yang kelihatan seperti preman pasar, diam saja dipukuli.
Kak Yo segera melepaskan cengkeraman tangannya di baju Nino, kemudian berdiri. Sekilas aku menangkap tatapannya yang sengaja melihatku, sebelum beralih ke Pak Ananta. Jujur, aku jadi merinding.
Nino yang terkapar di tanah, bangun dibantu Bang Ejik dan Satya. Dia terlihat sangat kacau. Namun begitu, ada kepuasan tersendiri melihat dia bonyok dipukuli Kak Yo. Tanpa sadar aku tersenyum tipis.
"Yongkie, Nino, Ejik, dan Nora! Kalian semua ikut saya ke aula asrama putra! Sekarang! Yang lain, lanjutkan beres-beres!" kata Pak Ananta.
Aku? Kenapa aku dibawa-bawa?
Rina juga heran. "Kok kamu diikutkan sih?" tanyanya.
"Entahlah. Doain aku ya," kataku.
Rina mengangguk, dan seperti terlihat khawatir melihatku pergi. Sama juga, aku merasa khawatir. karena mengikuti Nino dan Kak Yo pergi.
"Ra," panggil Bang Ejik yang tiba-tiba sudah menjajariku. Kedua tangNny amsik ke saku celana.
"Hmm, ya Bang?"
"Maafin aku ya," katanya penuh teka teki. Setelah itu dia berjalan lebih cepat, menyusul Kak Yo.
*
Kami sudah berada di aula Asrama putra, dan selain pak Ananta, juga ada Bu Siti dan Pak Makhrus. Rasanya aku sedang menghadapi sidang tertutup oleh team pengasuh asrama. Kak Yo dipersilakan masuk lebih dulu, sementara aku, Bang Ejik dan Nino masih menunggu di ruang tamu.
Jujur aku nervous banget.
"Nino, masuk!" panggil Pak Makhrus.
Nino pun berdiri, dan mengukuti bapak Pengasuh Asrama putra tersebut. Tinggal aku dan bang Ejik. Dia sama sekali tidak mau melihatku, dan diam saja.
"Bang ..." panggilku.
"Hmm?"
Aku bergeser mendekat. "Kenapa aku dipanggil juga? Kan aku ga ikutan gelut," tanyaku bingung.
Dia tersenyum, "Ya, kamu gak ikut gelut. Tapi si Gavin jadi emosi gara-gara kelakua Nino ke kamu di atas panggung. Dia sudah coba bersabar. Sampai akhirnya si Nino bersikap kurang ajar dan meledaklah dia. Gavin emang pendiam, tapi sekalinya kena tombol emosi, dia gak bisa kontrol," jelas Bang Ejik.
Aku hanya diam mendengarkan, meski sedikit heran. Apakah beneran Kak Yo, marah gara aku? Jangan-jangan, dia nganggep aku kayak adiknya, kan seragam SMAnya kupakai.
"Apa gara-gara ...."
"Zuhdi, Nora, masuk!" panggil Pak Makhrus. Aku jadi urung bertanya pada Bang Ejik.
Kami berdua masuk ke aula asrama putra. Kak Yo, dan Nino masih bersila di hadapan Pak Ananta dan Bu Siti.
"Bapak ingin penjelasan, tentang adegan di atas panggung tadi. Menurut kami, itu sedikit tidak pantas," kata Pak Makhrus.
"Maaf, Pak. Itu semua di luar skenario. Harusnya Nino menolak challenge itu," kata Bang Ejik mendahuluiku.
"Benar begitu Nora?" tanya Pak Makhrus.
"Benar Pak. Saya sendiri kaget. Pak," jawabku jujur.
"Nino, sini," panggil Pak Makhrus.
Cowok kekar itu pun segera duduk bersila di sebelahku. Rasanya ingin kutinjok lagi mukanya! Hih!
"Apa benar. Kamu bertindak di luar skenario, di panggung tadi?" tanya Pak Makhruz.
"Maaf, Pak. Saya reflek saja, habisnya..." dia menoleh padaku.
"Apa!" sergahku.
Satu sudut bibirnya yang terluka terangkat. "Habisnya, Nora terlalu menggoda," katanya dengan tanpa malu-malu.
"Kamu itu!" sergahku, sembari hendak menamparnya sekali lagi. Namun, tanganku dicekal bang Ejik. Sementara Nino masih saja cengegensan.
"Hei, stop!" Pak Makhruz melerai.
Bang Ejik akhirnya melepas tanganku. "Jangan kebawa emosi, Ra. Kamu tidak mau kena hukuman kan?"
"Nora, kamu ke Bu Siti, sana!" perintah Pak Makhruz padaku.
Aku mengangguk lalu bergeser ke sudut aula bersama Bu Siti. Sungguh, aku tidak berani mendongak, memandnag beliau.
"Nora, Bu Siti tidak akan menasihati banyak. Cuma mau mengingatkan, sebagai seorang perempuan, kita wajib menjaga pergaulan. Juga, ada beberapa hal mengenai cara bersikap dan berpakaian di tempat umum yang sebaiknya Nora perbaiki," ujar Ibu pengasuh asrama putri itu dengan lembut.
"Nora paham kan. Maksud Bu Siti?" tanyanya lagi.
"Iya, Bu. Nora paham. Masalah seragam itu, memang terpaksa saya pakai karena tidak ada yang lain. Sehari-hari saya juga pakai baju biasa, tidak terlalu ketat kok," belaku pada diri sendiri.
"Baiklah. Ibu rasa cukup. Lain kali, tolong sedikit membatasi jarak saat berinteraksi dengan lawan jenis, tidak elok dilihat. Nora harus bisa menjaga marwah sebagai seorang gadis, ya, jangan sembarangan," imbuh beliau.
"Siap Bu," kataku lagi.
"Ya sudah, kamu boleh balik ke asrama putri. Besok masuk kuliah kan?"
"Iya Bu." Aku pun pamit undur diri.
Selanjutnya, tanpa memperhatikan sekitar, aku pun segera keluar aula dan langsung pulang ke asrama putri sendirian. Aku jadi teringat kata-kata Nita, tidak baik terlalu akrab dengan lawan jenis, baik dengan Bang Ejik, atau Kak Yo, terutama Nino. sudah terbukti, mereka menyebabkan banyak kesulitan untukku.
Oke.
Mulai sekarang, kuhapus mereka semua dari daftar pertemanan. Fokus kembali ke urusan kuliah, Nora! Ganbatte!
***