Eleanora Zein - 4

1083 Words
CHAPTER 4 Yeayyy! Aku pun berjalan santai melewati lapangan tenis dengan tersenyum. Namun, begitu sampai di dekat Dome, bulu kudukku berdiri. Duuhhh, horor banget sih bangunan ini kalau malam. Mana lagi sendirian lagi. Harusnya kuterima tawaran Kak Dion tadi. Mencoba menguatkan hati, aku melangkah lagi. Krosak! Suara itu kontan membuatku berbalik arah dan berlari kembali ke asrama putra. "Huwaaaaaaaaaaa!" teriakku. Walau begitu aku sesekali menengok ke belakang. Lantas betapa kagetnya ketika aku menabrak sesuatu. Spontan aku terjerembab ke belakang. "Nora?" panggil tiang, eh orang yang kutabrak. Aku mendongak, dalam posisi duduk dan kedua tangan menopang ke tanah di belakang punggung. Masih mengatur napas, dalam keremangan mataku tak bisa melihat orang yang barusan kutabrak. Namun jelas-jelas dia menyebut namaku. Pasti Kak Dion ini. "Kak, maaf," ujarku sambil terengah-engah,"Nora kaget tadi, ada suara nakutin ...." Dia mengulurkan tangan sambil menunduk. Tanpa pikir panjang, kuraih uluran tangannya. Lantas dia menarikku hingga berdiri. "Kak Di ..." Lidahku mendadak kelu. "Kak Yo?" koreksiku. Sinar lampu Dome menyorot wajahnya yang terlihat dingin. Benar-benar Kak Yongkie, tidak salah lagi. "Ngapain kamu lari kayak dikejar setan, gitu?" tanyanya dengan suara rendah. Kesannya kayak orang lagi sebel. Melihat raut wajahnya, nyaliku menciut. Aneh juga aura orang ini, lebih menakutkan dibanding suara tadi. "Eh, itu tadi ada sesuatu di deket dome. Aku kaget," jawabku takut-takut. "Ngapain juga kamu di sini malam-malam begini?" tanyanya masih dengan intonasi datar, terkesan tidak suka. "Anu, tadi, barusan, itu, eh, minta tanda tangan sama, sama, pengurus Astra." Kenapa mendadak aku jadi gugup gini ya? Habisnya, serem banget ini Pak Presut (Presiden Utama) interogasinya. Aku sampai nggak berani lihat mukanya, menunduk saja lihat sendal jepitku dan kaki Kak Yo bergantian. Dia memakai sandal gunung hitam. "Nggak perlu malam-malam begini juga kan? Besok masih bisa!" sergahnya, "mana sekarang buku tanda tangannya? Sudah semua?" Waduh, bukuku! Kedua tanganku kosong. Aku celingak-celinguk melihat sekeliling. Buku tulis bersampul batik, dan pulpen hitamku raib. "Waduh, Kak. Kayaknya jatuh di depan Dome tadi," jawabku spontan. "Bener? Atau itu cuma alasanmu saja?" ujarnya meremehkan. Aku mendongak seketika, menatap matanya lurus-lurus. "Aku nggak bohong! Kalau kakak tidak percaya, ikut aku ke depan Dome sana!" Dia membuatku marah, karena telah meragukan kejujuranku. Kebohongan adalah kata terakhir yang masuk dalam kamusku. Sebab, aku tahu rasanya dibohongi, dan itu sangat menyakitkan. Entah berapa lama kami saling berpandangan dalam diam. Sampai akhirnya Kak Yo memutuskan kontak mata. Dia membuang pandangan jauh ke belakangku. "Oke, ayo kita ambil bukumu. Sekaligus kuantar kau balik, ini sudah hampir jam sembilan malam," katanya sambil melihat jam di tangan kirinya. Aku mendelik. Gawat juga kalau sampai terkunci di luar. "Eh, iya." Aku mengikuti Kak Yo dari belakang. Mulanya jarak kami lebih dari satu meter, tapi begitu mendekati dome, aku buru-buru mendekat. Asli, suasana di depan dome seperti di depan rumah kuno angker. Remang-remang, dan agak menyeramkan. Krosak .... Haduh! Tanpa sadar aku memegangi lengan jumper yang dikenakan kak Yo, sambil menoleh kiri kanan. Nggak ada apa-apa, tapi tetep saja serem. Krosak krosak! Aku mempercepat langkah, dan ... brukk! Orang di depanku berhenti mendadak, sehingga aku menabrak punggungnya. "Eh, maaf, Kak," kataku takut-takut. Dia tidak mengindahkan permintaan maaf dariku. "Itu bukumu bukan?" tanyanya sambil menunjuk ke satu arah. Aku mengintip dari sebelah lengan kanannya. Iya benar, itu bukuku tergeletak tanpa dosa. "Iya Kak, itu bukuku." Aku mengenali sampul coklat dengan motif batiknya yang khas. Perlahan melangkah ke depan, lantas kupungut buku itu. Pulpenku tidak terlihat di mana pun. Ah biar saja, yang penting buku ini selamat. Isinya sangat penting, perjuanganku semalam di asrama putra. Kak Yo ngeloyor pergi duluan ke arah asrama putri. Dengan langkah sedikit cepat aku menyusulnya. Krosak! "Huwaaaa!" Aku berlari mendengar suara itu sampai di sebelah Kak Yongkie. "Kamu penakut juga ternyata," katanya sambil berjalan. "Nggak! Aku cuma kaget aja," elakku. "Huh, mana ada! Mukamu pucet banget gitu," ledeknya. Serah deh serah. Aku hanya memandangnya sekilas lalu fokus ke depan. Lampu teras asrama putri sudah kelihatan. Setengah bebanku rasanya terangkat. Lega. "Emm, Kak Yo bisa langsung balik. Itu asramanya udah kelihatan," kataku dengan setengah maksud mengusir. Nggak enak juga rasanya jalan berdua sama dia. Ntar kalo ada yang lihat bisa salah paham. Dia tidak menjawab dan masih saja berjalan di sisiku. "Kak, Kakak bisa balik seka ...." Aku belum menyelesaikan kalimat, ketika dia tiba-tiba berlari mendahuluiku menuju pintu asrama. Sementara itu, aku tertegun di tempat. Namun beberapa detik kemudian aku sadar, lantas berlari menyusulnya. Aku masih terengah-engah ketika sampai di depan pintu asrama putri. Sementara Kak Yo, hanya diam mematung sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jumper. "Buruan masuk, bentar lagi jam sembilan. Nanti kamu terkunci," katanya. "Eh, eh, I-iya, kak. Makasih," kataku sambil membuka pintu kaca. Bersamaan dengan itu, Mbak Rani masuk ke ruang tamu dari pintu tengah. Dia tidak mendekat, hanya berdiri di ambang pintu. "Dek Nora? Baru pulang?" tanyanya. "Iya, Mbak, ini sudah dapat banyak tanda tangan," jawabku sambil menunjukkan buku. "Oh yaudah, kamu kunci sekalian pintunya ya," katanya. "Oke Mbak." Setelah mendapat jawaban dariku, dia masuk kembali. Berbalik ke pintu kaca, kulihat Kak Yo masih berdiri di luar. "Kak, makasih ya. Nora tutup dulu pintunya," kataku. "Tunggu!" "Eh, kenapa Kak?" "Sudah tahu namaku?" Aku mengangguk. "Siapa?" "Gavin Yusuf Akbar," ucapku lancar, padahal baru tadi aku membaca nama itu. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, lantas ia berjalan mendekat. Tanpa bicara diambilnya buku dari tanganku. Kemudian tangan kanannya keluar dari saku, sekaligus membawa pulpen. Ah, itu kan pulpenku. Dibukanya beberapa halaman, kemudian dia menuliskan sesuatu. Ah, tidak. Dia pasti memberikan tanda tangannya, sesuai perjanjian. Aku sudah tahu nama aslinya Kak Yo. Hehehehe. Aku menang. "Nih!" Dia menyerahkan buku dan ballpoint padaku. "Aku balik dulu." "Makasih. Hati-hati Kak." Ekspresi datarnya tidak berubah. Lantas dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah punggungnya tak terlihat lagi. Aku menutup pintu kaca dan menguncinya. Kemudian kutarik tirai besar agar menutupi pintu kaca berteralis itu dengan sempurna. Dengan senang hati aku berjalan masuk, sambil memeluk buku OWB. Yeah! Tinggal minta tanda tangan kakak asrama putri. Masuk pintu tengah, mataku menyisir sekitar. Ruang TV di seberang taman masih terlihat ramai. Maklum jendela-jendela kacanya sangat besar, jadi dari tempatku berdiri terlihat jelas semua orang di dalamnya. Sekalian saja aku ke sana, menuntaskan misi meminta tanda tangan. Namun sebelum itu, aku membuka buku dan melihat tulisan tangan yang dibuat Kak Yo. Aku terbelalak, saat membaca tulisan kecil di sebelah tanda tangannya. Gadis nakal! Jangan suka keluyuran malam-malam sendirian! Ke asrama putra sekalipun! Cari teman, atau WA ke 081333xxx nanti aku temani. Nb: Yoseph my middle name is Yoseph. Its my grand father's name. Tertanda Gavin Yoseph Akbar
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD