“Kenapa harus Sena?” tanya sosok itu dengan tatapan mata yang terluka karenanya, suaranya tersendat atas perintah dari sang Ibu yang terlontar sebelumnya.
“Gak usah banyak tanya, udah jelas jelas alesannya karena kamu itu anak gak guna! Sekarang saatnya kamu berguna buat keluarga!” teriak sosok yang menyandang status sebagai ibu dari Sena. Bukan Ibu kandung, hanya status hukum saja. “Kalau kamu tanya lagi kenapa harus kamu yang nikah! Ibu bakalan ambil motor kamu! Ibu bakalan ambil semua fasilitas yang Ibu kasih sama kamu!"
"Kenapa enggak Kak Tiara aja? Dia anak pertama dan sudah seharusnya dia yang menikah, bukan Sena."
"Tiara itu harus menuntaskan cita-citanya dulu!"
Sebelum Sena menjawab kalimat yang dikatakan oleh sang Ibu, satu-satunya orang yang menyayangi Sena itu masuk ke kamarnya. “Udah, Tesa. Kamu gak boleh terlalu keras sama Sena. Kasih Kakek waktu sama cucu kesayangan ini.”
"Tuh, Kakek kamu sendiri yang bilang kalau kamu cucu kesayangannya. Jadi kamu yang harus ikutin perjodohan itu," ucap Tesa sebelum dia keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan pria tua renta bersama dengan Sena, Kakek Wira duduk di samping Sena yang cemberut. “Dulu Kakek punya perjanjian sama temen Kakek, kita bakalan jodohin anak kita."
"Nah, terus kenapa sekarang malah lompat generasi? anak kakek kan Ayah, kenapa dulu Ayah gak dijodohin?"
“Kan dulu Kakek sama temen kakek LDR-an, ketemu-ketemu sepuluh taun yang lalu. Kita juga sempet hilang kontak, jadinya baru bisa terealisasikan sekarang perjodohan itu. Mau ya? Kakek udah janji sama temen Kakek, temen Kakek juga gitu.” Tangan sang Kakek menggenggam milik Sena.
Membuat Sena menunduk melihat tangan keriput, satu satunya orang yang menyayanginya. Jika sudah seperti ini, Sena tidak akan tega. "Kenapa gak Kak Tiara aja?"
"Kamu sendiri tau kalau Kakak kamu kabur, dia gak mau dijodohin."
"Gimana kalau Kakek bilang dulu siapa calonnya, mungkin Kak Tiara bakalan mau."
Hanya senyuman yang diberikan Kakek Wira. "Kamu juga gak akan nyesel kalau nikah sama dia, dia anak laki-laki yang baik kok."
Sena masih merenung. Kakaknya yang merupakan anak kandung dari Ayah dan Ibunya itu memang kabur setelah mendengar kalau Kakek akan menjodohkan salah satu dari mereka. Yang berakhir dengan dirinya dipojokan untuk menyetujuinya. Karena Sena adalah anak diluar nikah dari Ayahnya dan juga seorang wanita penghibur, dirinya selalu menjadi korban dalam hal apapun.
"Kakek sayang sama kamu, Kakek yakin ini yang terbaik juga buat kamu."
"Siapa calonnya? Sena takut dia udah tua."
"Nggak kok, kan sama cucunya temen Kakek. Dia juga masih muda.""
"Kenapa gak ngasih tau sih siapa dia? Atau namanya? Atau dari keluarga mana?" tanya Sena dengan kesal.
Kakek hanya memberikan senyuman terbaiknya. "Mau ya?" tanya Kakek lagi. "Kakek udah janji sama temen Kakek. Mungkin Kakek bisa cari Tiara sekarang, tapi Kakak kamu belum tentu mau. Iya 'kan? Kakek takut kalau gak nepatin janji, apalagi di umur yang tua ini, dimana sebentar lagi Kakek bakalan ketemu Tuhan."
"Kakek," rengek Sena tidak menyukai sang Kakek yang mengatakan hal itu.
"Mau ya?" tanya Kakek Wira untuk yang kesekian kali.
Hingga akhirnya, Sena mengangguk. "Sena gak akan biarin Kakek ketemu Tuhan dengan urusan dunia yang belum selesai," ucapnya mengungkapkan betapa sayangnya dirinya pada sang Kakek.
Keputusannya membawa Sena dalam sebuah pesta pernikahan sekarang. Bahkan yang mengantarnya ke altar adalah sang kakek. Seorang pria tengah menunggunya di altar. Mengucapkan janji suci dimana Sena bahkan baru mengetahui nama pria pagi tadi.
Samudra Surawisesa, seorang jaksa berumur 32 tahun yang akan menjadi suaminya.
Ketika janji suci diucapkan, sang pastor meminta mempersilahkan Samudra untuk mencium istrinya. Sena segera memejamkan mata, dalam hatinya dia berkata, “Gua tadi sikat gigi gak ya?”
Namun ternyata yang diciumnya bukan bibir, melainkan kening. Ketika membuka mata, Sena dihadapkan dengan wajah rupawan milik sang suami yang menatapnya dengan dingin.
Dan sepanjang pesta yang begitu meriah ini, Sena hanya diam. Mengingat sang suami tidak mengajaknya untuk berbicara dan fokus pada tamu undangan yang datang. Yang seringkali mengajak Sena berbicara adalah Mama mertuanya, namanya Mama Dara. Begitu ramah dan menyambut Sena dengan antusias. “Aduh, Sayang. jangan digaruk kayak gitu, sini biar Mama bantu," ucapnya ketika alis Sena terasa gatal.
Mereka baru bertemu sekarang, tapi Sena sudah melihat bagaimana kedua mertuanya memperlakukan dia dengan tulus.
“Nanti sebelum pulang, ngomong dulu sama Mama ya, Nak.”
“Iya, Ma.”
"Mama mau nemenin temen Mama dulu gak papa?" tanya sosok itu pada Sena.
"Gak papa kok, Ma."
"Sekalian Mama mau nyari Samudra. Itu anak lama banget ke toiletnya," ucap Mama Dara dengan wajah yang terlihat menahan kesal.
Sena berakhir sendirian di kursi pengantin, sang suami meninggalkannya beberapa menit yang lalu dengan alasan ke kamar mandi. Jadi sepanjang kepergian Samudra, yang menemaninya adalah sang Mama mertua. Hingga kini dia berakhir sendiri, Sena mengedarkan pandangan pada pesta yang begitu mewah. Di sebuah hotel dengan dekorasi yang elegan, ditambah lagi tamu undangannya terlihat dari kalangan atas semua. Sena tidak menyangka kalau pilihannya membawa dirinya merasa menjadi seorang Cinderella.
Bahkan yang paling mengejutkannya lagi, Sena menikahi salah satu keturunan Surawisesa.
Hingga mata Sena menangkap sosok yang datang ke arahnya. Itu Tiara, Saudara satu Ayah dengannya. Yang datang dengan raut wajah yang ditekuk. “Selamat,” ucapnya mengulurkan tangan pada Sena. Tiara, perempuan 19 tahun yang menjadi kakaknya. Anak kandung Dimas dan Tesa yang selalu menjadi kesayangan keluarga.
Sena menjabat tangan sang kakak dengan senyuman. “Aku pikir Kakak gak akan dateng ke sini.”
Mengingat Tiara kabur dari rumah selama seminggu karena Kakek berkata kalau salah satu dari mereka akan dijodohkan. Saat berjabat tangan, tatapan Sena terpaku pada gelang yang ada di tangan kakaknya.
De javu, Sena mengingat kejadian dimana Tiara menangis menginginkan gelang miliknya dan berakhir dengan Sena yang ditampar oleh Dimas dengan kalimat, “Kalau aja Kakek kamu gak minta Ayah buat buang kamu, kamu gak akan ada di sini! kamu itu cuma kesalahan ayah sama wanita jalang di luar sana! jangan pernah menganggap kamu dari bagian dari keluarga ini kalau kamu gak bisa menyayangi Tiara!”
Kembali pada kenyataan ketika Tiara menarik tangannya dengan cepat. “Semoga mereka nerima kamu yang bukan apa apa.”
Yang dibalas senyuman miring oleh Sena beserta kalimat, “Semoga kakak gak nyesel karena aku nikah sama Jaksa, dan bagian dari keluarga Surawisesa. Bukannya dulu Kakak sering bilang mau kerja di rumah sakit Surawisesa ya?” Untuk yang pertama kalinya, Sena benar benar merasa dirinya ada di atas Tiara, kemenangan ada di tangannya. “Um, suami aku ke sini lagi. Kakak silahkan ke sana kalau gak ada keperluan lagi."
Membuat tangan Tiara mengepal. “Jangan panggil aku dengan sebutan itu, dasar anak wanita murahan.”
***
Dalam perjalanan dalam mobil, Sena mencuri curi pandang pada pria yang kini menjadi suaminya. Tampan, gagah, berwibawa. Bagaimana bisa dirinya mendapatkan suami seperti itu? Sena merasa dirinya tertimpa durian runtuh. Beruntung sekali. Apalagi Samudra Surawisesa adalah anak dari pemilik Rumah Sakit Surawisesa. Merupakan salah satu rumah sakit terbesar di Negara ini, bahkan Kakaknya sendiri ingin bekerja di sana.
“Om Samudra? Kata Mama, Om belum pernah punya pacar ya? kenapa Om jadi jomblo selama itu? emang Om gak laku? Perasaan ganteng deh.” Memulai percakapan, karena Sena tidak tahan dengan keheningan.
Membuat pria bernama Samudra itu mengerutkan kening. Perempuan di sampingnya adalah perempuan yang memiliki jenis mulut berisik, pertanyaan yang tidak sopan juga, dan Samudra tidak suka itu. Apalagi sampai mengganggu konsentrasinya saat sedang menyetir.
“Om sakit gigi ya?” Tanya Sena dengan polosnya. “Ini kita mau ke apartemen Om ya? kenapa kita gak bulan madu dulu aja sih? kenapa harus langsung kerja? Aku males kuliah besok, Om.” Menarik napasnya dalam dan menyandarkan punggung di kursi sambil berkata, “Om harusnya beruntung nikah sama aku yang masih 19 tahun, sedangkan Om udah 32 tahun. Setau aku keluarga Surawisesa itu yang punya rumah sakit 'kan? Banyak hotel juga, jadi kayaknya gak bakalan ngabisin uang kalau kita bulan madu deh.”
Sebagai tanda kalau Samudra tidak ingin bicara, dia menyalakan musik.
“Ya ampun, Om. Kok seleranya musik klasik kayak gini sih? dangdutan dong, biar gak ngantuk.” Tanpa diduga, Sena mengubah lagu menjadi dangdut tanpa mempertinbangkan reaksi Samudra. Dan itu membuat Samudra kesal, dia menepikan mobil dan menghentikannya seketika.
“Aduh, Om! Kepala aku kejedot!”
“Mobil ini punya saya,” ucapnya kembali menyalakan musik klasiknya.
“Tapi biar gak ngantuk gitu, kalau pake lagu ini tar Om ngantuk. Nanti kecelakaan, mana belum malam pertama. Tolong percaya sama rekomendasi aku,” ucap Sena menekan lagi ikon lagu goyang mujaer, kemudian dia tersenyum dengan kepala yang melenggak-lenggok mengikuti irama.
Selama beberapa menit, Samudra melihat tingkah perempuan di sampingnya. Ini spesies langka tapi mengerikan, berisik dan juga keras kepala. Sangat jauh dengan gaya hidupnya yang penuh ketenangan, tanpa ada kekacauan dan juga menyenangkan. Apakah dirinya bisa bertahan hidup dengan perempuan sejenis ini?
“Kenapa diem? Gak nyetir lagi? Aku mau ganti baju ini.”
Bahkan tanpa malunya dia mengangkat gaun pengantin hingga memperlihatkan pahanya, Samudra berpaling seketika dan menyalakan mobil. Membiarkan anak itu menyanyikan lagu dangdut sesukanya. Dia hanya berdoa dalam hati, semoga setan yang merasuki istrinya itu segera keluar.
Jujur saja, Samudra enggan menikah jika saja tidak dipaksa oleh Kakeknya. Terlebih lagi dirinya adalah satu-satunya cucu laki-laki dari sang Kakek. Tidak ada pilihan lain selain menyanggupinya, karena jika Samudra menolaknya, sang Kakek mungkin akan membunuh dirinya sendiri. Memang hal yang mustahil, tapi kedua orangtuanya adalah sosok yang sering mengalami panik berlebih, ketakutan jika bersangkutan dengan orangtua. Jadi, yang mendesak Samudra menikahi perempuan yang tidak dikenalnya itu berjumlah 3 orang. Dan perjodohan itu sudah Samudra ketahui sejak 10 tahun yang lalu, dimana dirinya dilarang pacaran karena sudah memiliki calon istri.
Ketika Samudra menanyakan tentang calon istrinya, sang Kakek tidak memberitahu dan hanya memberikan kalimat, "Nanti kamu tau kalau waktunya tiba. Kalau sekarang, nanti keburu bosen. Fokus aja sama karir kamu. Inget kamu gak boleh pacaran. Soalnya percuma kalau kamu pacaran juga, nanti nikahnya sama cucu dari temen Kakek. Daripada bikin anak orang sakit hati, mendingan kamu jomblo aja dulu." Begitu ucapan sang Kakek 10 tahun yang lalu, saat itu Samudra baru berusia 22 tahun.
"Udah nyampe, Om?" tanya Sena saat mesin mobil berhenti.
Begitu sampai di basement, Samudra keluar dari mobil lebih dulu. Yang langsung diikuti Sena dari belakang, dimana dirinya masih mencoba menyusul Samudra. “Woah, kita punya lift pribadi ya?” Sena terpesona dengan apa yang dilihatnya. “Om tungguin, ini gaun aku ada kurung ayamnya jadi susah jalan.”
“Kan tadi saya udah bilang buat ganti baju di sana.”
“Gak boleh, aku mau ganti baju sendiri di sini. bajunya mau aku museum-kan, sebagai saksi.” Masuk ke dalam lift dan memandangi pria yang 13 tahun lebih tua darinya. Sangat seksi dan matang, membuat Sena menelan salivanya. “Om asli ih seksi banget. Masa iya belum pernah punya pacar. Kenapa sih? cerita sama aku. Biar aku gak kaget gitu kalau aku tau yang sebenarnya. Misalnya gak berdiri.”
“Maksud kamu?”
“Eh enggak,” ucap Sena bertepatan dengan lift terbuka dan langsung melangkah masuk ke dalam unit apartemen. “Wuih, ini juga mewah banget gila.”
“Kamu lama banget gedenya, makannya saya gak nikah nikah,” ucap sosok yang kini menjadi suaminya. Sena menoleh tidak percaya, ya mana dia tau kalau dirinya ditunggu selama ini.
“Om udah tau dari awal ya mau dijodohin? Pantes tadi Mama mertua bilang kalau Om gak pernah punya pacar. Nunggu aku atau emang gak laku? Padahal bisa aja nikah, itukan Cuma perjanjian dua aki aki. Tapi, serius nunggu aku ya?” Tanya Sena yang melangkah kesulitan karena gaun yang dikenakannya.
Tidak ada jawaban dari pria itu, dia melangkah pergi ke kamar mandi mengabaikan pertanyaan wanita yang baru saja menjadi istrinya pagi tadi. Membuat Sena berdecak saat pria itu hilang di balik pintu. “Gue nikah sama kulkas deh kayaknya.”
Menghela napasnya dalam. Sampai bell pintu berbunyi saat Sena hendak duduk. “Haduh, siapa itu yang dateng di malem pengantenan?”
Saat membuka pintu, ternyata itu Dara. “Mama?”
“Ih kamu, Mama kan nyuruh kamu diem dulu di sana. kenapa langsung pulang?”
“Ya… suami Sena udah mau pulang, masa Sena gak ikut?”
“Nih, Mama mau ngasih tau kamu takutnya kamu kaget. Kalau Samudra itu anaknya introvert banget, pendiem sama tertutup. Kamu jangan nyerah ya, tetep semangat. Kamu itu pilihan Kakek Surawisesa! Malam ini kamu juga pasti bisa! Semangat!”
“Semangat!” teriak Sena ikut semangat, ditambah kebingungan dengan tingkah mertuanya.
Sampai Samudra keluar dan kaget melihat keberadaan Dara di sana. “Mama ngapain di sini?”
“Gak sopan kamu sama orangtua. Mama kan sebelumnya ngomong kalau jangan dulu pulang, Mama mau ngomong sama Sena.” Dara berdiri, tapi bahunya malah dipegang oleh Samudra yang kemudian membawanya keluar pintu.
Mengeluarkan Dara dari apartemennya dan berkata, “Nanti Abang nelpon Papa buat jemput Mama.” kemudian menutup pintu yang mana membuat Mama Dara membulatkan matanya. Namun suara protesnya tidak bisa terdengar karena pintu lebih dulu ditutup.
"Om kok gak sopan sama orangtua? Kasian Mama.”
Samudra menarik baju bagian belakang Sena ketika perempuan itu hendak membuka pintu apartemen. “Cepetan mandi, besok kamu kuliah kan?”
“Om jahat banget, kasian itu Mama.”
“Mandi.”
“Iya iya ih, dasar anak durhaka.”
“Mau ke kamar mana?” Tanya Samudra begitu Sena melangkah ke kamar yang berbeda dengan miliknya. “Gak usah drama, kita satu kamar.”
“Asyik! Nanti langsung tempur malam pertama-an, Om?”
Samudra yang memalingkan wajahnya itu membuat Sena berlari masuk ke kamar yang begitu luas. Mencari kamar mandi dan membuka gaunnya di sana. sampai Sena sadar, ada beberapa lebam di tubuhnya yang dia bawa dari keluarganya.
“Duh, gue mesti gimana ini. kan mau malam pertamaan, masa banyak lebam. Belum juga kuda kudaan udah begini, tar si Om nganggap gimana ya?” Sena kebingungan sendiri. Bagaimana cara dirinya menghapus kesakitan-kesakitan yang dia alami di masa lalu?