Bagian 8

792 Words
Pov Naya Aku selalu mengatakan pada orang lain bila suamiku kerja di pertambangan, jauh dari Jakarta sehingga tidak bisa pulang tiap hari. Mereka percaya, karena kehidupan mapan yang Mas Arya berikan, aku diberi tempat berlindung yang nyaman, anak-anak bersekolah di tempat terbaik, seluruh kehidupanku terpenuhi dengan sangat baik. Tak bisa ku pungkiri, dengan bantuan Mas Arya aku bisa menjadi tumpuan keluarga, menyekolahkan kedua adikku. Hanya cintanya yang kini rasanya sulit untuk diraih. Aku bangun dengan mata sembap setelah semalaman tak kuasa menghentikan tangis pilu, Mas Arya hanya menatap samar, tak ada satu pun kalimat atau sekadar bertanya mengapa mataku bengkak. Namun, semua luka dan sakit ini seolah mereda ketika aku melihat ia main dengan anak-anak, mereka terlihat begitu bahagia. Aku membawakan sepiring berisi cemilan, juga minuman kesukaan Mas Arya. "Mas mau aku masakin apa hari ini?" "Tidak perlu masak, Nanti sore aku pergi lagi." "Mas belum ada sehari pun di sini, anak-anak masih rindu." "Nanti juga aku datang lagi." "Apa aku harus pergi sebentar agar kamu betah dengan anak-anak?" "Kamu jangan memulai drama, Naya!" Ia sedikit menghardik, Mas Arya selalu begitu ketika aku berbicara hal yang menyinggungnya. Setelahnya aku hanya diam, tak berani sedikitpun membantahnya, aku tak ingin membuatnya marah. Aku harus berdamai dengan keadaan, ada anak-anak yang tak boleh melihatku menekuk wajah, apalagi kini sedang ada ayahnya, aku tak ingin mengganggu kebahagiaan mereka. "Bun, badan Kakak gak enak," ucap si sulung menghampiriku dengan suara yang lemas. "Sini bunda pegang keningnya." Ia mendekat, suhu tubuhnya hangat. "Kakak tidur dulu, ya. Nanti Bunda buatkan bubur, kalau masih hangat nanti minum obat ya, Nak." "Iya, Bun," jawabnya sambil mengangguk. Ku lihat dengan lemah ia menyeret langkah menuju kamar. Sementara si bungsu pun mulai lelah dan tidur pulas di sofa. Aku mengikuti Mas Arya yang masuk ke dalam kamar, ia terlihat bersiap mengenakan pakaian terbaik dan sangat wangi. "Mas, si Kakak hangat badannya." "Beri Paracetamol saja, nanti juga membaik." Aku menghela napas panjang. "Mau pergi sekarang?" Mas Arya hanya mengangguk. "Kabari aku selalu, Mas." Mas Arya diam. Ia sama sekali tak pernah membalas pesanku ketika aku menanyakan hal yang basa basi sekadar menanyakan ia sedang apa Dan dimana. Ia hanya akan mengirimkan ku pesan bila menanyakan tentang anak-anak, atau membalas pesan dariku bila berhubungan dengan anak. Selebihnya tidak ada komunikasi intens di antara kami. "Aku pergi sekarang!" Jujur saja aku berat melepasnya pergi, aku ingin lebih lama bersamanya. Tanpa banyak kata, aku mengantarnya sampai ke mobil, kemudian ia berlalu pergi begitu saja, bahkan memandangku pun tidak. Aku kembali masuk ke dalam, memindahkan si bungsu ke kamarnya, memeriksa kondisi si Kakak yang kini terlihat menggigil. Aku bergegas pergi ke dapur, lalu kembali ke kamar anak sulungku untuk mengompresnya. Tubuhnya panas sekali. Sampai menjelang malam, panas masih belum reda. Aku mengirimkan pesan pada Mas Arya berharap ia akan membacanya. "Mas, mengapa memaksa pulang. Bahkan di sulung sedang panas, ia sedang rindu-rindunya padamu. Tak bisakah pulang esok lagi? Betapa setiap hari kami sabar menantimu dan kamu hanya datang dalam sekejap!" Namun ... Kepanikan ku tak berarah ketika si sulung kejang, segera ku telepon Mas Arya setelah pesan sebelumnya tidak dibalas. "Ada apa?" Ia menjawab telepon dengan tidak nyaman, seperti aku sedang mengganggunya. "Si Kakak dibawa ke rumah sakit, tadi ia sempat kejang." "Kirim alamat rumah sakitnya sekarang." Dengan tangan gemetar aku menutup telepon dan mengirimkan sebuah pesan. **** . . Ku kira semalam Mas Arya akan menginap, tapi ia pulang malam itu juga setelah si kakak dinyatakan membaik. Rasanya nyaris tak sanggup, tubuh ini begitu ringkih, sedangkan hati ini sudah berserakan. Sampai sebuah suara terdengar menyapa, ternyata dia Ranisa. Senang rasanya kembali bertemu dengannya. "Eh, Ranisa? Sedang apa di sini?" "Aku habis tengok teman, Mba sedang apa di sini?" "Anakku sakit," jawabku tersenyum. Setelahnya kami terlibat obrolan dari mulai sekadar basa-basi sampai aku berbicara hal yang sedikit dalam. Entah kenapa aku merasa nyaman berbicara dengan Ranisa, mungkin karena aku sendiri sedang berada di titik paling rendah dan butuh seseorang untuk berbagi. Sayang sekali, pertemuan kami harus berakhir, Ranisa izin untuk pulang. Dan tak lama setelahnya Mas Arya datang, ia penuh kemarahan sambil menunjuk, matanya membulat tajam. Aku hanya menunduk ketika ia mengeluarkan seluruh amarahnya. Bahkan si bungsu terlihat takut dan hanya memelukku, beruntung si sulung tidak mendengar. "Aku warning sekali lagi sama kamu! Jangan pernah posting foto kita di sosial media mana pun." Aku tak tahu apa yang menyebabkan Mas Arya begitu marah, aku pun terakhir memposting foto kami sekitar dua bulan lalu di i********:, kenapa baru dipermasalahkan sekarang. "Kenapa, Mas? Ada hati wanita lain kah yang sedang kamu jaga?" jawabku seraya menahan rasa sakit yang tercekat di tenggorokan. Ku lihat Mas Arya hanya menatapku, napasnya terengah-engah. Siapa, Mas? Siapa yang sedang kau jaga? Sehingga dengan teganya kamu menyimpan telunjuk di wajahku dengan tatapan tajam yang begitu menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD