1 ; Hari yang Kacau

2374 Words
Bruk .... “Ehm ....” Yena menyipitkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya matahari yang masuk menerobos celah jendela. Menggeram pelan, merasakan pegal di bagian leher dan lengan. Beberapa kertas berserakan di meja dengan sebuah buku sketsa yang terjatuh, membangunkannya dari kegiatan tidur yang sangat tidak nyaman. Baiklah. Yena tidak akan mengulangi lagi. Tidur dengan posisi duduk, dengan lengan kanan yang dijadikan bantal ternyata bukan kegiatan yang menyenangkan. Salahnya, tidak cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Mau tidak mau Yena harus membawanya turut serta ke rumah. Yang jelas saja mengganggu kegiatan tidurnya. “Astaga!” pekiknya keras. Sudah pukul setengah tujuh. Itu artinya Yena terlambat bangun dan segala kegiatan paginya harus kembali digeser ke sore hari. Padahal sore nanti tidak bisa menjamin Yena akan pulang tepat waktu. Bagaimana dengan nasib cuciannya yang menggunung? Atau mainan anak-anak yang berserakan di ruang tengah? Bekal makan Ivy yang belum dibuat? Dan deadline sketsa gaun yang harus diselesaikan hari ini? Hah. Calm down, Yena. Anggap semua itu tidak penting. Masih ada satu kegiatan yang paling penting dari deretan kegiatan yang disebut tadi. Ivy? Ya Ivy. “Ivy ... ya ampun.” Yena berlari cepat menuju ruangan di samping kamarnya. Mendorong pintunya kasar, menimbulkan suara gebrakan tidak sengaja. Menyajikan pemandangan yang jauh berbeda dengan kondisi Yena saat ini. Si gadis kecil yang masih meringkuk di balik selimutnya, memeluk boneka beruang seukuran badan, dengan napas tenang. Seolah pagi ini adalah hari libur yang membebaskan bangun terlambat. Yena menghela napas lelah. Berjalan mendekati gadis kecil itu. Menggoyangkan badannya pelan. “Ivy ... Sayang bangun!” Ya, memang harus seperti ini. Yena tidak pernah tega membangunkan tidur nyenyak putrinya. Wajahnya begitu polos, tanpa dosa. Yena tidak sejahat itu mengganggu tidur Ivy dengan kegiatan ekstrem seperti menarik selimut bergambar hello kitty dengan kasar, atau menggoyangkan tubuh mungil itu dengan brutal. “Sayang udah siang, ayo bangun. Ivy harus sekolah," ucapnya lagi sembari menepuk pipi Ivy lembut. Ivy menggeliat pelan, mengedipkan matanya beberapa kali. Setelah melihat sang mama, senyumannya mengembang dengan mata menyipit. “Morning, Mama.” Yena tersenyum, “Morning, Ivy.” Ivy merangkak mendekati sang mama. Mengalungkan lengan kecilnya di leher Yena, sempat memberikan kecupan singkat di sebelah pipi. “Ivy langsung mandi ya.” Berjalan cepat ke arah kamar mandi. Masih dengan menggendong Ivy. Gadis kecil itu mengerutkan keningnya, menatap heran ke arah sang mama. “Ivy nonton kartun dulu, Mama," ucapnya dengan nada merengek. “Nggak, Sayang!” “Ivy belum minum susu.” “Iya nanti Mama buatin.” “Roti coklat yang biasa Ivy makan di pagi hari?” “Iya Sayang iya, nanti Mama buat setelah Ivy mandi.” Ivy mengangguk patuh. Menuruti saat sang mama menurunkannya dan mendorongnya memasuki kamar mandi. Menyerahkan sikat gigi yang sudah dioles pasta gigi rasa strawberry kesukaannya. Memulai kegiatan memandikan Ivy yang terkesan buru-buru. “Nah, ini s**u coklat Ivy, ini rotinya. Ivy makan, ingat jangan belepotan. Mama siap-siap dulu,” ucapnya setelah menempatkan Ivy di kursi makannya. Ivy mengangguk patuh. Yena langsung berlari secepat kilat ke arah kamarnya. Waktunya mengurusi dirinya sendiri. Pukul tujuh tepat. Baiklah, masih ada setengah jam agar tidak terlambat sampai sekolah Ivy. Tidak perlu mandi karena terlalu lama, cukup menggosok gigi dan mencuci wajah. Yena mengakui kecantikan alaminya, tidak akan luntur jika tidak mandi. Jadi tidak masalah. Yena memperhatikan tampilan dirinya di cermin full body. Belted top berwarna krem dengan desain simpel, dipadukan celana lurus panjang berwarna hitam. Rambut panjang sedikit bergelombang dibiarkan tergerai. Heels berwarna hitam dengan tinggi lima sentimeter. Tas sudah menggantung di bahu kirinya. Oke sepertinya semua sudah siap. Waktunya mengantar Ivy ke sekolah. Ya begitu rencananya. Jika tidak ada satu masalah lain yang datang pagi ini. Nyatanya deringan ponsel itu seakan mengembalikan Yena ke kehidupan. Dunia tidak sebaik itu untuk diajak bekerja sama. Dreett … dreett …. “Hallo.” “Mbak masih di mana?” Suara Ayeesha terdengar panik. Ada pekikan di nada suaranya, yang terkesan terburu. “Di rumah, Cha. Kenapa?” “Astaga udah aku duga. Aku udah ada di gedung resepsinya Kak Shanin. Gaunnya masih belum selesai, kita butuh beberapa tambahan payet untuk hiasan akhirnya, dan stok yang aku bawa habis. Mbak bisa buruan ke sini? Acaranya dimulai jam delapan!” Yena menepuk keningnya. Menarik napasnya sejenak. “Kamu bawa gaun lain, Cha?” “Bawa Mbak, tapi ya ampun ... Kak Shanin rewel banget. Dia nggak mau pakai gaun cadangan yang aku bawa. Mbak tolong buruan ke sini! Mungkin bisa kalau Mbak yang bujuk.” Yena bisa mendengar erangan panik dari balik telepon. Suara Ayeesha yang tercekat hampir menangis. “Oke, Cha, aku langsung jalan.” Yena berjalan gusar. Bagaimana bisa Yena melupakan hari pernikahan salah satu pelanggannya? Ini benar-benar di luar dugaan. Yena tidak pernah begini sebelumnya. Yena bisa saja langsung menuju tempat pernikahan Shanin. Membawa mobilnya dengan kecepatan maksimal. Tapi jangan lupakan satu makhluk yang sedang menikmati sarapan paginya dengan tenang. “Ivy ... Sayang ayo buruan dihabiskan! Mama udah telat.” Ivy menoleh, menatap mamanya dengan tatapan polos. “Kata Ayah nggak boleh makan cepet-cepet, nanti kasihan lambung Ivy kesusahan nyernanya. Terus kata Ayah ....” “Iya Sayang iya, terserah. Buruan dimakan,” sela Yena sembari menggerakkan jemarinya pada layar ponsel. “Hallo.” Suara dari seberang sana menyahut setelah terdengar beberapa kali nada sambung. “Vigo, bisa bantuin aku nganter Ivy ke sekolah? Aku harus ke acara resepsi pelanggan pagi ini, ada sedikit masalah di gaun pernikahannya. Ayah Ivy lagi di luar kota nemenin istrinya. Go, please! Bisa bantuin aku, 'kan?” “Maaf, Na. Aku di luar kota. Berangkat semalem, ada seminar yang harus aku isi pagi ini. Kamis aku baru pulang.” Ya Tuhan. Yena mendesah frustasi. Ke mana lagi ia harus minta tolong? Seandainya Ayah Ivy tidak sibuk dengan istrinya itu. Seandainya wanita berambut panjang yang memiliki sifat sangat-sangat bertentangan bisa meluangkan sedikit kasih sayang sang suami untuk Ivy. Seandainya wanita menyebalkan itu tidak hadir di kehidupan Ayah Ivy. Dan ... hah. Bukan waktunya menyalahkan orang lain, Yena! Waktu terus bergerak, dan akan semakin banyak yang terbuang jika terus menyalahkan orang lain. “Na, hallo? Kamu masih di sana, 'kan?” “Iya, Go,” sahutnya lirih bernada putus asa. “Maaf, Na.” Vigo kembali bersuara. Ada desahan penyesalan di sana. “Iya, nggak masalah.” “Sekali lagi maaf, Na. Kalau aja aku di rumah pasti aku anterin Ivy tanpa kamu minta. Sekali lagi aku ....” “Iya Go iya, nggak masalah. Aku tutup. Bye!” Menutup telepon sepihak. Tidak sopan memang. Tapi Yena tidak ambil pusing. Vigo pasti memaklumi itu. Di tengah kebingungannya. Yena merasakan bajunya di tarik. Menoleh pada Ivy yang sedang menampilkan senyuman manisnya. “Ivy udah selesai makan? Ayo kita langsung berangkat.” Menarik sebelah tangan Ivy dan buru-buru membawanya ke luar apartemen. Masih ada setengah jam. Ya semoga saja Yena masih bisa mengejar waktu sampai tempat Shanin. Bisa membujuk perempuan itu untuk memakai gaun cadangan yang dibawa Ayeesha. “Mama sebentar.” “Kenapa, Sayang?” Yena menoleh sambil lalu. Tidak menghentikan langkahnya karena saat ini waktunya benar-benar berharga. Mengantar Ivy ke sekolah, langsung menuju tempat pernikahan Shanin, membujuk calon pengantin itu untuk mengenakan gaun cadangannya. Ya, jam delapan tepat Yena bisa menyelesaikan itu semua. Semoga. Jika tidak macet dan si calon pengantin tidak menuntut lebih mungkin Yena bisa tepat waktu. Ya tentu saja, bukan semoga. Yena memang bisa menyelesaikan masalah pagi ini. Harus bisa! “Mama, hari ini Ivy disuruh bawa tanaman hias untuk sekolah.” Yena menghentikan langkahnya, menatap tidak percaya pada gadis kecil yang sedang menatap ke arahnya dengan senyuman polosnya. Giginya berjejer membuat kedua matanya menyipit cantik. Ya sangat cantik, jika saja permintaannya tidak diajukan saat kondisi genting seperti ini. Ya Tuhan. Di mana Yena harus mencari tanaman hias di waktu sepagi ini? Dan jangan lupakan Ayeesha yang pasti sedang dimarahi habis-habisan oleh pihak keluarga pengantin karena kesalahan gaunnya. Bolehkah untuk saat ini Yena menghilang saja? *** “Hah ….” Yena menghela napas lelah. Bersandar nyaman pada kepala kursi. Melemaskan punggungnya. Mencoba menghilangkan segala macam hal menyebalkan hari ini. “Sumpah ya, Mbak, aku nggak nyangka sama mulut cerewet Kak Shanin. Kalau aja ini bukan hari spesialnya udah aku tarik mulutnya itu. Emang dia kira kita nggak kerja keras buat persiapan hari pernikahannya. Dia nggak tahu istilah human error? Dasar perempuan nyebelin, aku sumpahin suaminya nyesel nikah sama dia.” Yena memijat pelipisnya yang berdenyut. Ayolah, Yena ingin melupakan kejadian buruk hari ini. Tapi kenapa Ayeesha justru mengingatkannya. Menyerocos tidak jelas sembari menampilkan raut wajah kesalnya. Lengkap dengan meremas-remas gaun pengantin yang sudah diusahakan semaksimal mungkin tapi tidak jadi digunakan. Sampai beberapa payetnya jatuh berserakan di lantai. Menimbulkan dentingan suara pelan yang menarik perhatian Yena. Tunggu dulu! Gaun pengantin, ya? “Astaga Echa kamu lagi ngapain?” pekiknya heboh. Yena langsung menarik paksa gaun itu. Mengeceknya ulang. Ya tidak terlalu banyak kerusakan. Tapi tetap saja, akan memakan waktu untuk memperbaikinya. “Ya Tuhan, Mbak. Gimana bisa payetnya jatuh begini?” Yena melotot tajam. Ayeesha hanya mampu meringis, menyadari kesalahannya. “Maaf, Mbak. Calm down oke. Aku bakalan benerin ini tanpa Mbak minta. Oke sip, nggak usah marah-marah.” Ayeesha menunjukkan gesture menenangkan sembari mengambil alih gaun itu. Segera berbalik untuk menyelesaikan masalah ini sebelum semakin melebar ke masalah yang lain. Tarik napas Yena. Lepaskan pelan-pelan. Baiklah, sekarang kembali duduk. Cari posisi ternyaman. Lemaskan punggung dan otot yang menegang seharian ini. Lemaskan otot wajah yang tertarik kuat. Jangan sampai wajah cantiknya cepat menua karena terlalu banyak marah-marah. Oh ya, sepertinya mendengarkan musik-musik klasik akan membuat waktu relaksasi lebih efektif. Yena memejamkan matanya erat. Meluruhkan segala beban yang memenuhi pundak. Lemaskan itu semua. Hari ini sudah selesai. Yena sudah bekerja keras menurut kemampuannya sendiri. Tidak ada waktu untuk menyesali segala kekacauan hari ini. Walaupun ya, benar-benar menyebalkan. Ingatkan Yena untuk membalaskan dendam pada perempuan sok kaya bernama Shanin itu. Semoga saja saat Ayeesha meruntuk sebal tadi, ada malaikat yang tidak sengaja lewat dan mendengar ucapannya. “Mama!” Suara itu. Yena membuka matanya. Menatap terkejut pada kehadiran Ivy yang masih mengenakan seragam sekolahnya, sedikit lusuh, dengan wajah cemberut. Di belakangnya ada sosok lelaki yang mengenakan setelan kerjanya. Hanya menampilkan senyuman sembari menggelengkan kepalanya melihat respon Yena. “Ivy? Vigo bukannya kamu di luar kota. Terus ini, kenapa bisa sama Ivy?” Pertanyaan beruntun yang berganti-ganti fokus. Yena sedang benar-benar kacau hari ini. “Aku memang baru pulang. Langsung ke sekolah Ivy karena guru Ivy udah menghubungi aku berulang-ulang. Ponsel kamu dan Ayeesha nggak bisa dihubungi. Kabar buruknya, Ivy udah nunggu jemputan berjam-jam lamanya. Jadi jangan salahin aku kalau malam ini dia nggak bakalan mau ikut pulang bareng kamu.” Yena menganga dengan penjelasan Vigo. Satu kesalahan terakhir, ya mungkin karena hari ini belum usai dan Yena belum tahu ada kesalahan apalagi yang akan dibuatnya sampai malam nanti. Menatap penuh penyesalan pada Ivy dan Vigo bergantian. “Sayang maafin Mama, ya?” Yena berjongkok. Menyesuaikan tinggi badannya dengan Ivy. Gadis kecil itu hanya menatapnya cemberut dengan sebelah tangan yang masih menggandeng erat tangan Vigo. “Ivy mau tidur di rumah Om Vigo. Ivy marah sama Mama!” “Iya Mama tahu, Sayang. Mama salah. Mama minta maaf, janji nggak diulangi.” Yena menunjukkan jari kelingkingnya. Ivy masih menatapnya dengan wajah kesal. Melirik Vigo yang sedang tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. Vigo mengangguk, merespon permintaan tolong Ivy lewat tatapan matanya. “Mama janji nggak ulangi lagi?” “Iya, Sayang. Mama janji.” “Tapi Ivy mau es krim sepuasnya.” “Iya nanti Mama beliin.” “Mau boneka beruang lagi untuk temen Cera di rumah?” “Iya.” “Oke, Ivy maafin Mama.” Gadis kecil itu mengaitkan kelingking kecilnya dengan sang mama. Tersenyum manis yang membuat dua orang dewasa ikut tersenyum. Ivy langsung memeluk mamanya erat. Usapan kepala langsung didapat membuat senyuman Ivy semakin lebar. Figur keluarga idaman, bukan? Ayah yang masih muda, mapan, dan jangan lupakan wajah menawannya. Sang mama yang cantik dan seorang wanita karir yang sangat menyayangi keluarganya. Serta putri kecil mereka yang polos dan menggemaskan. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang saat melihat ketiganya. Tapi pada kenyataannya tidak seindah itu. Hubungan mereka tidak semulus yang terlihat. Dan pada kehidupan sebenarnya, mereka bukanlah sepasang suami istri yang memiliki seorang putri. Lebih ke hubungan orang dewasa dengan seorang putri di antara keduanya. “Maaf, lagi-lagi aku ngerepotin kamu.” Ketiganya sedang duduk bersisian, dengan Ivy yang sibuk dengan cup es krimnya. Menikmati sensasi lembut dan dingin rasa coklat kesukaannya. Tidak memedulikan dua orang dewasa yang sedang berbincang, dengan Ivy sebagai batas tengahnya. “Nggak masalah, Yena. Udah aku bilang 'kan, selagi aku bisa akan aku bantu. Dan kamu jangan selalu merasa nggak enak begini. Kamu nggak sendirian.” Vigo mengusap kepala Yena lembut, menunjukkan senyumannya. Yena membalas itu. Merasa sangat-sangat bersyukur karena masih ada orang baik seperti Vigo yang setia berada di sisinya. Menerima segala kekurangannya. “Kamu bahkan lebih peduli sama Ivy dibanding ayahnya sendiri,” ucap Yena lirih. Enggan mengganggu kegiatan Ivy dengan es krimnya. Mengusap kepala gadis kecil itu dengan sayang. Tatapannya menyiratkan kasih sayang yang begitu besar dari seorang ibu untuk anaknya. “Nggak peduli soal Ayah Ivy. Om Vigo bisa gantiin posisi itu, Yena. Ya 'kan, Ivy?” Ivy yang tidak mendengarkan hanya menunjukkan jempolnya pada Vigo saat lelaki itu mencubit pipinya lembut. “Om Vigo yang terbaik, Ivy sayang sekali," ucap Ivy, memeluk Vigo sekilas kemudian kembali sibuk dengan cup es krimnya. “Makasih banyak.” Yena sudah berkaca-kaca, hampir saja meneteskan air matanya jika saja tidak ingat ada Ivy di sini. Ivy sangat menyayangi mamanya. Gadis kecil itu akan ikut menangis jika melihat sang mama menangis. “Nggak perlu seperti itu. Ivy juga tanggung jawab aku.” Kalimat yang begitu menenangkan. Mengusap rambut Yena lembut. Tahu betul bagaimana rapuhnya Yena. Perempuan berhati baik yang bahkan merelakan banyak waktunya, tenaga, dan curahan kasih sayangnya untuk Ivy. Yang pada kenyataannya bukan sepenuhnya tanggung jawab Yena. “Seminar kamu gimana?” “Udah nggak masalah. Aku bisa handle itu.” “Katanya baru pulang Kamis?” “Ya rencananya, sekalian ngecek cabang yang ada di sana. Tapi udah nggak apa-apa. Aku udah suruh Erin buat gantiin. Lagi pula aku bosnya, 'kan?” Yena refleks memukul d**a bidang Vigo menimbulkan suara tawa renyah dari lelaki itu. “Suka seenaknya memang.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD