Saudara Tiri

1014 Words
Sinar matahari yang menembus celah tirai membangunkan Nidya kala mengenai matanya. Perlahan ia membuka mata dan mendapati sebuah tangan melingkar di perutnya. Bayangan kejadian semalam pun berputar di pikirannya, ketika ia melakukan hubungan yang tak seharusnya terjadi. "Apa kamu mencintaiku?" tanya Nidya saat tubuhnya berada di kungkungan pria yang berada diatasnya. Sesaat mata keduanya saling memandang sebelum akhirnya dengan lantang Mat mengatakan, "Aku mencintaimu, Nidya." Ia mendekatkan wajahnya mencium bibir ranum milik wanita yang berada di bawahnya dengan posesif. Kali ini Nidya pun membalas ciuman Mat, mengikuti pergerakan yang dia buat. Perlahan ciuman itu semakin menuntut, membuat tangan keduanya melakukan pergerakan yang tak semestinya. Terdengar helaan napas yang keluar dari mulut Nidya dan juga Mat, ketika mereka melepaskan pagutannya. "Aku menginginkanmu," ucap Mat. Nidya menatap tubuh pria yang begitu polos tanpa sehelai benang pun. Mat membuka semua pakaian yang menempel ditubuhnya. Seolah mendapat lampu hijau, ia pun menikmati milik Mat yang sedari tadi sudah berdiri tegak dan siap memenuhi intinya. Nidya tak memikirkan apa yang akan terjadi nanti, yang pati saat ini pria yang ada di hadapannya itu membuat libidonya naik. "Kamu terlihat berbeda Nidya," ucap Mat memandangi lekuk tubuh wanita yang tengah mempermainkan Milik pria di mulutnya. Ia mengusap wajah Nidya, lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kini giliran dirinya yang mulai menikmati setiap inci tubuh wanita yang selama ini ia rindukan. Mempermainkan dua gundukan kembar dan berakhir di inti yang sudah mulai basah karena perbuatannya. Satu hentakan saja, miliknya sudah memenuhi inti Nidya. Terdengar rintihan kecil yang malah membuatnya bersemangat. "Kamu benar-benar membuatku gila, Nidya," gumam Mat sembari menghujam intinya. Tak ingin Mat mendominasi, Nidya pun membalikan posisi mereka. Ia mulai bergerak diatasnya, mencari g-sport yang bisa membuatnya melayang. Meski ini kali pertama setelah 3 tahun lamanya, namun Nidya paham betul apa yang Mat inginkan. Hingga akhirnya pria itu mengerang, menyemprotkan benihnya membasahi rahim Nidya. Ia bergegas melepaskan tubuhnya, berharap cairan itu segera keluar dari intinya. Iya, Nidya tidak mau hamil dari pria yang berada di bawahnya. Ia tak ingin terikat dengan Mat yang nantinya bisa merusak semua rencana yang sudah ia buat. "Sayang," ucapan Mat menyadarkan Nidya dari lamunannya. Nidya menyingkirkan tangan Mat yang berada di atas perutnya lalu beranjak dari ranjang. Ia lalu pergi ke kamar mandi yang berada di samping ranjangnya. Nidya memutar kran air membiarkan suaranya gemercik air menghilangkan ucapan Mat. "Sayang, dia pikir dia siapa," gumam Nidya. Ia membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya. Menghilangkan jejak tubuh pria yang menempel di tubuhnya. Dua puluh menit berlalu Nidya keluar dari kamar mandi, ia tak mendapati Mat di atas ranjang. Pakaiannya pun sudah tidak ada di lantai. "Kemana dia pergi," batinnya. Nidya memakai pakaiannya lalu membuat kopi untuknya. Ia memeriksa semua pesan yang masuk di ponselnya terutama dari Leo. Leo : Apa Mat bersamamu? Leo : Jika dia mencarimu, tolong suruh dia untuk kembali ke ballroom semua orang sedang mencarinya termasuk istrinya. Ia terus membaca setiap pesan yang masuk di ponselnya kemudian mengambil ponsel yang lainnya. Ia membaca pesan dari Alex serta panggilan dari Liona. Tak lama terdengar seseorang mengetuk pintu apartemennya. Nidya beranjak dari sofa dan mendapati seorang kurir yang berdiri di sana. "Selamat pagi, Bu. Dengan Ibu Nidya?" tanya kurir. "Iya saya sendiri," jawab Nidya. "Ini pesanan anda," ucapnya. "Saya tidak memesan makanan." Kurir itu lalu mengecek ponselnya dan mendapati nama si pengirim makanan. "Ini nama pengirimnya Pak Matheo untuk Ibu Nidya." "Ah, oke. Makasih ya." Nidya menutup kembali pintu apartemennya lalu membuka makanan yang Mat pesan. Ia tersenyum ketika mendapati nasi goreng kesukaannya dan sengaja di pesan dari restoran yang dulu sering mereka datangi. "Dasar, dia pikir bisa mengambil hatiku," gerutu Nidya. Namun, sudut bibirnya terangkat ketika mendapatkan perlakuan manis dari Mat. Tak hanya makanan, Mat juga menyelipkan pil pencegah kehamilan yang dulu ia sering konsumsi. "Dia memang tidak ingin memiliki anak denganku." Sedikit kecewa ketika Nidya menatap pil yang ada di tangannya. Tak ingin berlarut dengan pikirannya, ia pun langsung meminum pil tersebut, kemudian membuang makanan yang di belikan oleh Mat. Ia lalu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Halo, Li. Tolong, kirim teknisi untuk mengganti password apartemenku." "Apartemen yang mana?" tanya Liona. "Haruskah aku jelaskan?" "Oke-oke aku tahu." Nidya mematikan panggilannya sepihak. Ia bergegas mengambil kunci mobil serta ponsel pribadinya, lalu keluar dari apartemen. *** Disinilah Nidya sekarang, ia menikmati secangkir kopi kesukaannya yang baru saja di sajikan oleh seorang pramusaji. "Hai, maaf membuatmu menunggu lama," ucap Alex yang baru saja datang. "Tidak apa-apa, silahkan duduk." Alex duduk di depan kursi Nidya, sudut bibirnya terangkat ketika memandangi wajah wanita yang ada di hadapannya. Nidya mengangkat tangannya memanggil pramusaji. "Kamu mau pesan apa?" tanya Nidya. Alex melihat menu lalu memilih minuman untuknya serta beberapa cemilan. "Aku ingin ice latte, french fries, tiramisu. Apa kamu mau cheese cake?" tanya Alex kepada Nidya. "Boleh," jawabnya. "Baiklah, cheese cake satu," ucap Alex kepada pramusaji yang tengah mencatat pesanannya. "Ada pesanan lain?" "Tidak." Pramusaji itu pun berlalu meninggalkan mereka berdua. Nidya menikmati minumannya sembari menikmati pemandangan di sana. "Maaf, malam itu aku tidak bisa mengantarmu pulang. Apa keadaanmu baik-baik saja?" "Hm ... aku baik-baik saja, seperti yang kamu lihat. Oh iya, kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan?" Alex terdiam sesaat sebelum akhirnya ia berkata, "Apa kamu memiliki seseorang?" Nidya mengerutkan dahinya mencoba mencerna ucapan pria yang sedang menatapnya itu. "Aku hanya ingin memastikan tidak ada pria yang akan memarahiku jika aku dekat denganmu." Nidya tertawa mendengar ucapan Mat, baru kali ini dia bertemu dengan pria yang terang-terangan mengatakan ingin mendekatinya. Sesaat Nidya ingat akan pertemuan mereka dengan Mat, Alex dengan lantang mengatakan jika dirinya merupakan kekasihnya. "Bukankah kamu mengatakan jika aku kekasihmu?" Alex berdecak. "Maaf, aku lancang mengatakan jika kamu kekasihku waktu pertemuan dengan Mat. Aku hanya tidak ingin dia khawatir jika aku tidak memiliki kekasih." "Maksudmu?" "Iya, Mat sering mendekatkan aku dengan wanita yang dia temui, pilihannya sama sekali tidak cocok denganku." "Sedekat itukah mereka berdua?" batin Nidya. Seolah mengerti dengan apa yang ada di pikiran Nidya, Alex pun mulai membuka suara. "Aku dan Mat saudara tiri. Dari awal hubungan kita baik, bahkan banyak orang yang tak percaya jika kita saudara tiri," jelasnya membuat Nidya termangu. "A-adik, jadi mereka-"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD