Sebuah makan malam yang romantis, membuat Nidya termenung sesaat. Hanya mereka berdua tidak ada pengunjung lain yang datang ke restoran tersebut.
"Apa kamu menyewa restoran ini?" tanya Nidya.
"Tidak, memang jarang ada yang makan disini. Meraka harus merogoh kocek lebih dalam untuk makan di restoran ini," jawab Mat."
Nidya hanya mengangguk tak berniat menimpali ucapan Mat, Ia menikmati hidangan yang baru saja di sediakan oleh pramusaji serta alunan biola yang mengiringi acara makan malam mereka. Dering ponsel menjadi pusat perhatian mereka berdua, Nidya melihat layar ponselnya tetapi tidak ada panggilan di sana lalu menatap saku jas milik Mat.
"Kenapa kamu tidak mengangkatnya?"
"Aku tidak suka ada yang mengganggu acara makan malamku."
Nidya hanya mengangguk, tak memperdulikan si penelepon yang sedari tadi menunggu panggilannya di angkat oleh sang pemilik.
Setelah makan malam selesai Nidya kembali ke apartemennya diantar Mat. Bukannya pergi, atasannya itu malah membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya.
"Kamu tidak pulang?"
"Ini apartemenku untuk apa aku pulang, aku biasa tidur di sini," ucapnya.
Nidya mengedikkan bahunya, lalu membuka lemari pakaian untuk menggantinya. Betapa terkejutnya Nidya ketika melihat banyak sekali pakaian wanita di sana.
"Apa ini pakaian Sabrina, lalu dimana pakaianku?"
Mat memiringkan tubuhnya menatap wanita yang sedang berdiri di sana. "Itu pakaianmu, bukan pakaian Sabrina atau wanita lain."
"Apa?"
Mat berjalan mendekatinya kemudian memilihkan salah satu lingerie berwarna merah ke arahnya. "Pakailah ini, aku ingin melihatmu memakai ini," bisiknya.
Bulu kuduknya meremang seketika mendengar bisikan Mat. Tanpa pikir panjang Nidya mengambil pakaian yang lebih tertutup lalu meninggalkan Mat yang masih berdiri di sana.
"Dasar pria m***m," batin Nidya. Sudut bibirnya terangkat ketika mengingat Mat merengkuh tubuhnya dari belakang, seperti apa yang dilakukannya dulu. "Lalu dimana Sabrina, apa pernikahan mereka memang tidak baik-baik saja," gumam Nidya sembari menatap wajahnya di depan cermin.
Lima belas menit berlalu Nidya keluar dari kamar mandi, tidak ada Mat di sana. Ia pun keluar dari kamarnya mencari sosok pria yang membuatnya salah tingkah. Namun, Nidya tidak menemukan Mat di manapun. Akhirnya ia membaringkan tubuhnya sembari mengecek ponselnya.
Mat : Aku pergi sebentar. Kamu beristirahatlah.
Nidya tak berniat membalas pesan Mat kemudian memejamkan matanya, untuk menjemput mimpi.
***
Sabrina hanya diam menatap layar ponselnya. Ia terkejut ketika salah satu orang suruhannya memberikan laporan kepadanya jika ada seorang wanita cantik yang datang bersama Mat ke kantornya.
"Siapa wanita itu, apa mereka memiliki?" gumam Sabrina.
Penasaran, Sabrina berniat menghubungi Dimas. Namun, ia urungkan karena terakhir kali ia menghubungi Dimas, Mat memarahinya karena Mat tidak suka dirinya terlalu ikut campur dengan urusannya. Sabrina hanya menatap layar ponselnya, menunggu suaminya itu pulang atau sekedar membalas pesan darinya.
Tak berapa lama Sabrina mendengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya, ia tahu jika pria yang baru saja datang adalah Mat. Sudah beberapa minggu tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah mereka dan kali ini ia datang hanya karena pesan yang dia kirim.
"Sayang, kamu datang. Mau mandi atau makan malam dulu?" tanya Sabrina menyambut suaminya dengan baik.
"Aku mau mandi," jawabnya ketus.
Sabrina tetap menyunggingkan senyum, dan memperlakukan Mat dengan baik meski tidak pernah di anggap. Ia mengikuti langkah Mat yang berjalan ke kamarnya.
"Akan aku siapkan air hangat untukmu."
"Tidak usah. Pergilah!"
Sabrina tersentak mendengar ucapan Mat, meski ia sering mengatakan hal itu, tapi kali ini ia benar-benar merasa sakit hati atas apa yang di lakukan Mat. Apa lagi sebelumnya ia mengetahui jika Mat membawa wanita lain ke kantornya sementara ia sama sekali tidak pernah di perkenalkan sebagai Nyonya Dimitri.
Sabrina pun mengeluarkan benda pipih yang ada di sakunya lalu menghubungi seseorang. Terdengar sambungan telepon yang terhubung.
"Selidiki wanita yang datang bersama Mat."
"Baik, Bu."
Sabrina kemudian mengeluarkan satu setel pakaian tidur untuk Mat, lalu menunggunya keluar dari kamar mandi. Tak lama Mat keluar dari kamar mandi mengabaikan Sabrina yang ada di sana menunggunya.
"Ini pakaiannya sudah aku siapkan," ucapnya. Mat tak mempedulikan Sabrina dan malah memilih pakaiannya sendiri. "Apa kamu akan pergi lagi?"
Mat menghentikan aktifitasnya lalu menoleh ke arah Sabrina. "Apa pedulimu, sejak kapan kamu jadi mengurusi kehidupanku. Bukankah sudah jelas aku katakan, jangan pernah ikut campur urusan masing-masing."
"Aku istrimu, Mat. Tak bisakah kamu memperlakukan aku sebagai istri. Pernikahan kita sudah berjalan 3 tahun tapi kamu sedikit pun tidak pernah menyentuhku, bahkan kamu selalu mengabaikan aku."
"Istri!" Mat berdecak, kemudian melangkah mendekati Sabrina. "Perlu kamu ingat, pernikahan kita hanya pernikahan bisnis. Apa kamu lupa dengan apa yang kamu katakan dulu. Tidak ada kontak fisik selama pernikahan, aku melakukan apa yang kamu inginkan. Lagi pula kamu sendiri yang tidak ingin bercerai dariku, bukan?Padahal perjanjian kita sudah lama berakhir."
"Aku mencintaimu, Mat. Aku sangat mencintaimu. Tak bisakah kamu melihat aku sebagai istrimu dan mencintaiku?"
Mat mendekati Sabrina, menarik tengkuknya mendaratkan kecupan di sana. Perlahan ciuman itu semakin dalam saat Sabrina menyambutnya. Tangan Sabrina mulai menyusuri tubuh suaminya, tanpa rasa jijik meski ia tahu jika Mat sering menyewa wanita penghibur untuk memuaskan hasratnya.
"Aku menginginkanmu, Mat," lirih Sabrina mantap kedua mata Mat dan meminta di puaskan.
Mat menyeringai, ia mendorong tubuh Sabrina ke atas ranjangnya. Ia bisa melihat wajah Sabrina yang sudah di penuhi gairah dan menginginkan segera di puaskan. Sabrina membuka sendiri pakaiannya hingga tak sehelai benang pun menutupinya. Ia mulai menggoda Mat, menyentuh daerah sensitifnya. Tangannya mulai membuka celana yang ia gunakan, mengeluarkan miliknya yang selama ini Sabrina inginkan.
Mat mengeratkan giginya ketika miliknya memenuhi mulut Sabrina. Matanya terpejam merasakan desir aneh di seluruh tubuhnya. Ia memegang kepala wanita yang ada di bawahnya, merasakan sentuhan yang membuat miliknya ingin segera mengeluarkan cairannya.
Tubuh Mat bergetar ketika meraih pelepasannya yang memenuhi mulut Sabrina. Setelah puas ia lalu mendorong tubuh Sabrina lalu bermain di intinya. Tangannya menari indah membuat sang pemilik merintih merasakan kenikmatan. Namun, ia menyeringai lalu melihat jemarinya yang sudah basah oleh cairan Sabrina.
"Ternyata, kamu sudah tidak virgin meski aku tidak menyentuhmu."
Mat beranjak dari ranjang, kemudian merapikan pakaiannya. "Bukankah kamu juga melakukan itu dengan wanita lain. Lalu apa salahku?"
Mat menghentikan langkahnya, lalu mendekati Sabrina yang berdiri seolah menantangnya. "Aku tidak suka wanita yang di jamah lebih dulu oleh pria lain."
"Ap-apa! Lalu apa bedanya dengan wanita yang kamu sewa?"
"Kamu sama seperti mereka dan aku melakukan hal yang sama. Aku tidak akan membiarkan millikku memenuhi inti yang sudah dijajaki pria lain."
Sabrina mengangkat tangannya berniat menampar Mat. Namun, dengan cepat Mat menahan tangannya kemudian menepis hingga tubuh Sabrina terhuyung.
"Jangan menggangguku dan jangan menghubungiku lagi."
Sabrina meneteskan air mata mendapat perlakukan kejam dari Mat. Selama ini ia hanya bersikap romantis dan terlihat bahagia di hadapan semua orang hanya untuk menutupi keretakan dalam rumah tangganya. Egois memang saat dulu ia yang meminta sendiri Mat untuk tidak menyentuhnya dan mengurus urusan masing-masing.
Awalnya Sabrina pikir ia tidak akan terjerat dengan pesona Matheo. Namun, nyatanya ia tergila-gila dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.
"Mat, kamu mau kemana. Mat ... dasar b******k!" teriak Sabrina melihat Mat pergi tak mempedulikannya.
Sabrina memukul kasurnya lalu beranjak dari ranjang, memakai kembali pakaiannya yang tergeletak di lantai. Sedangkan Mat, mengemudikan mobilnya dengan kencang menuju apartemen yang selama ini ia tinggali dan kini Nidya pun tinggal di sana. Tak lama ponselnya berdering terlihat nama Leo di sana.
"Ada apa?"
"Berapa lama kamu akan menahan Nidya di sana?"
"Sampai di mau kembali menjadi kekasihku," ucap Mat santai.
"Apa kamu gila. Sabrina baru saja menghubungiku, ia menanyakan wanita yang kamu bawa ke kantor."
"Katakan padanya jangan ikut campuri urusanku."
Sejenak tak terdengar suara Leo. Mat melirik ke layar ponselnya yang masih terhubung dengan panggilan Leo. "Jangan bertindak gegabah, Mat. Kamu akan menyakiti dua wanita sekaligus dan kamu tau pasti jika selamanya kamu tidak akan bisa mendapatkan Nidya. Tembok kalian terlalu tinggi untuk dihancurkan."
"Kali ini aku tidak akan melepaskan Nidya."
"Mat ka--"
Belum selesai bicara, Mat sudah mematikan panggilannya. Ia yang tak bisa mendengar penolakan, tak akan mendengarkan perkataan siapa pun selama menurutnya benar. Mat menghentikan mobilnya di sebuah toko yang menjual wine. Ia memilih beberapa wine yang akan ia minum bersama Nidya.
"Malam ini, akan menjadi malam yang panjang bagi kita, Nidya," batinnya.
Mat membeli 5 botol wine dan 2 botol wiski yang disukai Nidya. Ia lalu kembali ke apartemennya, 10 menit berlalu mobil yang ia kemudikan sampai di basemen apartemen. Mat terus menyunggingkan senyum membayangkan minum wine bersama Nidya, lalu melewati malam panjang yang melelahkan.
Ia menyimpan wine diatas meja, kemudian masuk ke dalam kamar. Namun, seketika raut wajahnya berubah ketika melihat Nidya.
"Dia benar-benar menghancurkan imajinasiku." Dengan langkah yang lemas Mat berjalan ke ranjangnya, merebahkan tubuhnya di samping Nidya yang sudah lebih dulu pergi ke alam mimpi. Diusapnya surai yang menutupi wajah cantik wanita yang begitu ia cintai.
Perlahan ia mengangkat kepala Nidya, menjadikan lengannya sebagai bantalan. Tak lupa ia mencium dahi Nidya, memeluknya dengan erat. Tanpa Mat sadari Nidya membuka matanya, ia menyamankan tubuhnya dipelukan Mat.
"Selamat tidur, Sayang."