BARU masuk minggu ketiga Kinanti berjualan mi ayam di teras rumah seperti sebelumnya—sebelum berjualan berkeliling—dia kembali dilanda kebingungan yang dalam. Para tetangga yang kesulitan uang, acap berhutang padanya. Bukan hanya mi ayam yang dihutangi tetapi juga uang dagangan. Sekali dua kali, Kinanti memberinya, tetapi setelah ketiga kali dan yang berhutang bukan satu dua orang, Kinanti jadi cemas. Lama-lama, usahanya dirongrong terus sana-sini. Ketika Kinanti menolak dihutangi uang dan mi ayam, mereka seperti kompak memusuhinya. Bahkan, tak mau datang lagi ke ruamh Kinanti. Saat bersua, malah membuang muka. Tak mau bicara sepatah kata pun, sapaan kinanti pun tak dibalasnya. Di belakang, para tetangga yang memiliki masalah hutang dengan Kinanti, suka berghibah. Menceritakan hal buruk yang menimpa Kinanti. Kinanti yang janda dan mantan suaminya yang tak mau merawat ketiga anak karena marah pada Kinanti. Katanya—perceraian itu terjadi karena kesalahan Kinanti yang sering mengatur-ngatur suami. Seseorang yang baik menuturkan kembali pada Kinanti. Sungguh, Kinan merasakan sakit hati. Meski dia tahu watak para tetangga yang kebanyakan begitu, tetapi dulu dia tak pernah menggubris. Para tetangga itu pun dulu tak pernah bersikap tak baik padanya karena Kinanti yang tak banyak tingkah. Namun setelah Kinanti kembali berjualan di teras rumah, mereka semua tampak antipati. Hal itu karena hutang.
“Sudah, ikhlaskan saja hutang mereka, Kinan. Toh ada akibatnya bagi orang yang tak mau bayar hutang. Kau yang akan mendapat pahala karena merelakan uangmu yang dipinjam dan tak dibayar. Juga mi ayam yang dihutangi. Maklumlah, suami mereka kini pengangguran setelah kena PHK,” ucap Siti selepas magrib ketika berkunjung ke rumah Kinanti. Kinanti menuturkan masalahnya pada Siti. Hanya pada Siti, dia berani berkeluh kesah. Menceritakan apa yang menimpanya terlebih ihwal yang menyangkut usahanya.
“Kinan sudah ikhlaskan, Mbak. Kalau tak Kinan ikhlaskan, pasti Kinan akan berusaha menagih karena Kinan juga butuh uang. Tapi buktinya tidak. Kinan biarkan saja. Kinan relakan. Hanya persoalannya, kuping Kinan terasa merah terbakar karena ucapan mereka yang sangat menusuk hati Kinan. Kinan dikata-katain hal yang tak benar. Kinan tak merasa begitu tapi kenapa mereka berucap begitu? Apa salah Kinan? Kinan meminjamkan uang, Kinan mengutangi mi ayam... hanya karena Kinan membatasi lagi untuk meminjamkan, mereka balik menyerang Kinan dan di belakang bicara yang tidak-tidak, bahkan mengarah ke fitnah,” tutur Kinan dengan lancar. Albani tengah tak berada di rumah pada jam segitu. Mengaji di Masjid Jami bersama teman-teman sepermainannya. Baginda pun ikut seperti biasa. Sedangkan Satria terkantuk-kantuk ketika azan magrib berkumandang hingga anak itu terlelap dengan sendirinya di atas pembaringan di dalam kamar.
“Mulut orang itu tak bisa dibendung, Kinan. Terkadang meski kita berusaha menasihatinya, mereka akan tetap ngoceh semaunya. Biar saja... yang penting kita tak seperti mereka. Karakter tiap orang beda-beda. Di situ kita harus bisa membedakan mana yang membuat kita nyaman, mana yang tak membuat kita nyaman, orang yang membuat kita tak nyaman, ya... sebaiknya kita batasi pergaulan dengannya. Sama tetangga, kita harus tetap rukun meski tidak harus selalu bergaul. Ada batas-batas tertentu. Kebetulan posisimu sekarang sebagai pedagang, yang tentu butuh pembeli... mau tak mau, suka tak suka kau harus berusaha ramah pada tiap orang untuk memikat calon pembeli. Istilahnya gini, Kinan... penjual yang aslinya judes sekali pun, jika dinasibkan jadi pedagang, ya harus merobah judesnya menjadi ramah. Banyak senyum... jangan mahal senyum biar tak ditinggal pembeli. Kalau kau ya sudah dari sebelumnya ramah, tentu akan menarik banyak pembali. Kan sudah terbukti, ya? Jualanmu laris...” Siti berhenti bicara.
“Awal kembali membuka dagangan di teras, ya terasa... laris, tetapi ke sininya karena dirongrong terus sama mereka, penghasilan menurun tentunya. Malah, Mbak... setelah mereka tak muncul lagi dan di belakang suka ghibahin Kinan, mereka pun melarang orang-orang yang dikenalnya agar tak beli mi ayam di sini. Pantas, dari RT sebelah yang biasanya suka beli... kini tidak lagi. Bukan tak punya uang, tapi Imas yang melihat mereka lagi beli baso atau mi ayam di tempat lain.”
“Imas ya yang suka laporan sama kau?”
“Ya.”
“Kau percaya pada Imas?”
“Percaya, Mbak.”
“Imas niatnya hanya untuk laporan agar kau tahu... apa ada bniat di belakang?”
“Niat di belakang gimana, Mbak... Kinan tak paham.”
“Ya, maksudnya, siapa tahu... obrolan kau dia sampaikan ke orang-orang itu.”
“Kinan tak berghibah pada Imas. Menerima laporan tanpa berkomentar dengan kata-kata. Kinan juga tahu diri dan perlu waswas, kadang orang bermuka mans di depan dan di belakang berhianat.”
“Nah, itu kau perlu hati-hati!” Siti mengingatkan.
“Siap, Mbak.”
“Jadi, apa langkahmu selanjutnya, akan tetap berjualan di teras rumahmu kan?”
“Ya, meski pembeli berkurang.”
“Sabar.”
“Sabar... sabar... Kinan terus sabar. Kalau tak sabar, Kinan sudah berhenti lagi berjualan.”
“Jangan menyerah, Kinan. Mbak Siti selalu mendukungmu,” Siti menyentuh bahu Kinanti sembari mengulas senyum. Mencoba menenangkan hati Kinan yang gundah.
Minggu-minggu berlalu. Tak ada perkembangan dalam usaha jualan mi ayam di teras rumah. Dalam sehari, hanya beberapa porsi yang terjual. Kinanti hampir putus asa kalau saja Siti dan Mirna yang tak berhenti menyemangatinya meski suatu hari, pada akhirnya Kinanti pun tidak berjualan. Bahkan dia memeutuskan untuk tak berjualan lagi di teras rumah.
“Mau coba berjualan berkeliling lagi?” tanya Siti.
Kinanti menggeleng.
“Lalu?”
Kinanti tak menjawab.
Suatu siang, ketika Mirna tiba di rumah dengan Baginda dan Satria, Kinanti sedang tak ada di rumah. Mirna mencoba meneleponnya dan tak lama kemudian, Kinanti muncul. Wajahnya muram. Kinanti menuturkan telah menjadi asisten rumah tangga di rumah tetangganya yang rumahnya besar. Adik dari Pak Kades. Hati Mirna tertusuk. Sakit rasanya. Mirna tak bisa menerima kenyataan bila anaknya sampai berprofesi seperti itu. Menjadi asisten rumah tangga bukan pekerjaan hina tetapi buat Kinanti tidak pantas. Ada pekerjaan yang lebih baik dari itu. Mirna tak tega mendengarnya.
“Bagaimana kalau kau kembali berjualan mi ayam tetapi bukan di sini...”
“Di mana, Ma?”
“Di rumah Mama.”
“Banyak orang yang lewat?”
“Banyak, lho. Malah kalau pagi-pagi sampai jam sebelas itu, ibu-ibu yang tak punya pekerjaan, suka berkumpul sekitar rumah Mama, menunggu tukang sayur langganan lewat. Tapi bukan ibu-ibu yang suka gosip. Yang ini ibu-ibunya rajin pergi ke pengajian, suka melakukan kegiatan sosial... dan pokoknya, ibu-ibu baik deh, mereka teman baik Mama apalagi Bu Hamidah.” Mirna mencoba mengarahkan Kinanti. Bila putrinya bisa berjualan di teras rumah, bukan tak mungkin akan banyak pengunjung yang hendak membeli mi ayam. Mirna pun akan senang hati membantunya. Selain itu, Mirna pun bisa melanjutkan rencananya bersama Hamidah, untuk menjodohkan Kinanti dengan Rama Aditya Pratama, saudara sepupu Hamidah.
***
“Nak Kinan mau berjualan mi ayam di teras rumah Bu Mirna?” tanya Mirna di telepon pagi itu.
“Ya, alhamdulillah, Bu Hamidah. Saya membujuknya berulang kali, awalnya dia tak mau, lalu banyak pertimbangan, setelah itu akhirnya mau juga. Mungkin dia juga berpikir ke depan, kesulitan keuangan yang acap melandanya. Jadi, dia ingin ada perubahan. Ketimbang menjadi asisten rumah tangga dirumah tetangganya itu, Bu...”
“Iya, Bu duh... saya sampai merenung ketika Ibu cerita Nak Kinan yang bekerja di rumah tetangganya. Saya pun tak tega mendengarnya. Jualan mi ayam itu lebih baik... tentunya untuk saat sekarang, semoga setelah Nak Kinan sering berada di rumah Bu Mirna, dia banyak terhibur, bergaul dengan orang-orang baru. Kalau sekitar situ sih... tak ada orang yang hobi berhutang apalagi berhutang makanan. Jadi Nak Kinan dijamin aman dan tenang...”
“Doakan putri saya, ya Bu... selama ini, dia banyak menderita.”
“Doa terbaik buat Nak Kinan yang cantik dan baik. Oh ya, Bu Mirna masih di sekolah cucu?”
“Betul. Saya langsung pulang ke rumah, tidak ke rumah Kinan dulu.”
“Kalau cucu yang gede bagaimana pulangnya?”
“Dia diantar ojeg langsung ke rumah saya.”
“Oh, Nak Kinan dan ketiga anaknya mau menginap?”
“Ya, Bu. Sesekali menginap. Di lain waktu mungkin tidak. Karena dia pun ingi tetap menjaga rumahnya meski kecil.”
“Jadi hari ini, Nak Kinan sudah mulai berjualan?”
“Sudah tiga hari, Bu.”
“Lho, kenapa Bu Mirna tak bilang saya? Kebetulan sayanya juga tak ke tempat ibu saban pagi seperti biasa menunggu tukang sayur. Saya punya stok makanan yang bisa dimasak. Saya juga tak pergi ke pengajian kemarin sore karena ada tamu di rumah Rama.”
“Kalau hari ini, Bu Hamidah bisa mampir kan?”
“Bukan mampir, Bu karena sekarang saay lagi di rumah saya. Saya mau sengaja singgah sekalian beli mi ayam buatan Nak Kinan.”
“Siiip, saya tunggu, ya?”
“Oke, Bu.”
“Eh, Bu...”
“Kenapa?”
“Bagaiamana rencana kita yang ituuu... hampir terlupakan.”
“Oh soal Rama, saudara sepupu saya?”
“Betul.”
“Saya bujuk dia untuk bertamu ke rumah Bu Mirna, dia masih banyak pertimbangan makanya masih menolak terus dengan berbagai pertimbangan. Tapi akan saay coba terus, Bu. Kalau Nak Kinan sendiri bagaimana tanggapannya?”
“Hemmm, sama seperti Nak Rama. Tapi putri saya lebih tegas menolak, Bu... saya jadi bingung, tapi saya pun tak akan kalah dengan Bu Hamidah, akan terus membujuk anak saya,” ucap Mirna semangat.
“Moment yang tepat sekali kalau Nak Kinan berjualan di rumah Bu Mirna. Dengan begitu bisa memancing Rama untuk mengenal Nak Kinan. Siapa tahu dia penasaranbanget dengan mi ayam termasuk... dengan pelanggannya, bukan begitu, Bu Mir?”
“Kita atur-atur saja, ya Bu...”
“Ya, toh niat kita baik... jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kita sebagai manusia tak bisa lepas dari usaha. Semoga niat kita dikabulkan oleh Allah, Sang Pencipta Langit dan Bumi, amiiiiin...”
“Amiiiin yaaa rabbal’alamiiin...”
Kedua sahabat itu pun mengakhiri perbincangan dengan senyum di bibir dan harapan yang besar agar antara Rama dan Kinanti bisa bersua.***