Sebuah Solusi

1909 Words
“DI MANA anak-anakmu, Kinan?” tanya Mirna sesaat setelah perempuan berusia lima puluh tahun itu tiba di rumah Kinanti. Sepi. Ketiga anak Kinanti tak ada di rumah padahal hari Minggu. Kinanti mengulas senyum lalu memersilakan ibunya duduk di sofa. Kinanti duduk di sampingnya. Jam yang menempel di dinding bercat biru muda sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit. Di luar, cuaca cerah. Mentari menyinari bumi. Di pagar teras rumah Kinanti, beberapa pakaian tengah dijemur. Rumah ini selain sempit dengan satu kamar saja, juga di luar tanpa halaman. Teras pun terlampau sempit dan langsung menghadap gang. Dan sepanjang gang itu cukup ramai, acap lalu-lalang orang-orang. “Albani main sama anak-anak tetangga di lapangan, Ma. Kalau Baginda dan Satria dibawa Mbak Siti ke tempat ulang tahun anak Pak Lurah.” “Lho, kedua anakmu itu diundang oleh anak Pak Lurah?” Kinanti mengangguk. “Tapi kamu beli kado buat mereka agar bisa diberikan sama anak Pak Lurah?” Kinanti mendesah. Lalu menggelengkan kepala. “Kinan... tidak pegang uang, Ma. Tadinya juga tak ada niat membawa Baginda dan Satria ke tempat ulang tahun itu, karena malu tak bisa bawa kado seperti orang lain, tapi Mbak Siti pagi-pagi sekali datang ke sini... malah membawakan kado dua... sudah dibungkus, katanya... isinya yang satu boneka barbie, yang satunya mainan buat anak perempuan. Anak Pak Lurah yang ulang tahun itu kan perempuan, sebaya Baginda. Tapi sekolahnya berbeda.Tentu di TK favourit yang biayanya tinggi. Mbak Siti sengaja bawa kado itu ya... biar Baginda dan Satria bisa hadir di ulang tahun itu, mumpung hari Minggu,” Kinanti berhenti bicara. Mirna menghela napas panjang, lalu berucap sembari melirik putri semata wayangnya. “Kenapa kamu tak telepon Mama dan minta Mama bawa kado? Kenapa harus Mbak Siti?” Mirna seolah agak menyalahkan Kinanti meski dia tahu Siti itu belum memiliki anak setelah lebih dari sepuluh tahun membina rumah tangga dengan suaminya, dan kerap memperhatikan Satria dan Baginda. Kinanti pun acap bercerita mengenai kebaikan perempuan Jawa berklit sawo matang satu itu. “Kinan tak pernah minta pada Mbak Siti Ma... dia inisiatif sendiri, susah sekali dilarang seperti biasa,” jelas Kinanti. Dia bukannya tak merasa malu pada Siti, perempuan bertubuh tinggi kurus yang berusia dua tahun lebih tua darinya. Siti, penjual jamu keliling. Suaminya penjual baso keliling. Mereka mengontrak rumah di salah satu rumah milik Hamdan, orang yang paling disegani di kampung ini. Yang sudah dua tahu menjabat menjadi lurah. Siti acap datang ke rumah Kinanti dan peduli dengan kehidupan Kinanti setelah Kinanti berpisah dari Andika, dua tahun lalu. Andika lelaki yang tak bertanggung jawab dan tak mau peduli lagi pada anak-anaknya sendiri. Dibiarkannya anak-anaknya itu bersama Kinanti dalam keterbatasan. Sementara Andika hidup dalam kesenangan harta bersama perempuan lain yang lagi-lagi bekas selingkuhan. Andika tipikal lelaki yang hobi berselingkuh. Ketika perceraian pertama, tersebab itu. Lalu Kinanti memberikannya kesempatan. Mereka membangun kembali mahligai rumah tangga. Namun tak lama, Andika kembali pada kebiasaan buruknya. Menduakan hati. Kinanti pun memilih berpisah dari lelaki itu dan memutuskan untuk hidup tanpa suami. Kinanti yang janda dan harus mencari uang untuk merawat dan membesarkan sendiri anak-anaknya. Siti kerap memberikan makanan untuk ketiga anak Kinanti. Bahkan tak jarang memberi Albani uang jajan. Meski Siti perantau yang berasal dari Cilacap dan tinggal di pesisian kota Bandung ini untuk mencari nafkah, tetapi rasa pedulinya pada sesama begitu tinggi. Itulah yang membuat Kinanti kagum. Siti yang hanya tamatan SMP bisa berbuat baik untuk sesama, sementara dirinya sendiri---yang lulusan perguruan tinggi terkenal dan tentu saja mengantongi titel sarjana, tak mampu berbuat lebih. Bahkan untuk membahagiakan anak-anaknya sendiri dalam bentuk materi pun, dia tak mampu. Hatinya dijalari rasa sedih. Mengapa hidupnya tak seindah yang pernah dibayangkan sebelumnya? Acap berteman duka dan luka. Kesedihan. Kekecewaan. Anak-anaklah yang membuatnya tetap bertahan menjalani kehidupan yang pahit. “Kinan... apa tak sebaiknya, kamu ikuti saran Mama...” “Soal apa, Ma?” “Kamu dan ketiga anakmu pindah ke rumah Mama. Kita tinggal bersama. Kau dan anak-anakmu tak akan kesulitan untuk sekadar makan. Mama tak tega bila melihatmu sering kekurangan, Kinan. Kalau kau dan anak-anakmu tinggal di rumah Mama, kalian akan terjamin... meski Mama tak bisa memanjamu seperti saat kamu remaja dulu.” Kinanti tersenyum pahit. Dia tak mau membebani ibunya terlebih setelah ibunya menjadi janda, sepeninggal suaminya-- ayah kandung Kinanti. Mirna hidup dari pensiuan suaminya. Mirna pun tak memiliki penghasilan selain bersumber dari itu. Saat Mirna sudah kembali ke rumahnya, sore hari—setelah ia menghabiskan waktu bersama ketiga cucunya di rumah Kinanti, perempuan itu pun duduk merenung depan jendela kamar yang terbuka lebar. Rasa sesal membaluri hatinya. Betapa kehidupan Kinanti tak segelimang impiannya. Semua lantaran kesalahan besarnya. Mirna tertarik sosok Andika yang selain tampan juga punya kehidupan mapan. Dia berpikir karena ketampanan dan kemapaan hidup lelaki itu akan mampu membuat hidup Kinanti bahagia. Ya, pernikahan yang terkesan buru-buru itu pun tampak manis terlebih ketika dikarunia dua anak laki-laki yang tampan, lucu, sehat, dan montok. Namun di belakang itu, Andika berperilaku tak baik. Kinanti rela menanggalkan cita-citanya menjadi wanita karier demi keluarga, tetapi Andika membalasnya dengan penghianatan yang menyakitkan. Hingga pada akhirnya, rumah tangga kembali menjadi korban. Perpisahan tak dapat dielakkan. Bagaimana pun, Kinanti seperti kebanyakan perempuan lainnya—tak ingin menjadi istri yang diduakan. “Kalau saja dulu aku tak memaksa Kinan menikah dengan laki-laki itu, tentu... putriku tak akan mengalami peristiwa pahit, dihianati lelaki... diabaikan...” celoteh dalam hati Mirna, merasakan pedih. Namun saat melintas di benaknya-- wajah-wajah cucunya. Albani, Baginda, dan Satriu, bibirnya tersenyum.Dia pun tak bisa menyalahkan seratus persen keputusan yang pernah diambil. Bila saja pernikahan putrinya dengan lelaki itu tak terjadi, ketiga cucunya itu tak akan ada. Sedangkan, dia begitu menyayangi ketiga cucunya. Seolah sosok-sosok kecil itu malaikat buatnya. Yang mampu menghiburnya di usia yang sudah muda lagi—saat ini. Kini, Mirna hidup menyendiri di rumahnya, ia pun acap kesepian. Sesekali, cucu-cucunya itu suka dibawanya singgah, tetapi ketiga cucunya itu tak pernah mau menginap. Termasuk Satria yang masih sangat kecil tetapi anak kecil itu seolah paham dan tak mau jauh dari ibu kandungnya sendiri. Tiba-tiba Mirna berpikir bila saja Kinanti dan ketiga cucunya tinggal di rumahnya, tentu dia pun bisa bersua saban hari bersama mereka. Dan cucu-cucunya sudah pasti akan mau tinggal di sini karena Kinanti pun berada di samping mereka. *** “Temanmu yang punya toko baju di pasar itu, kini tak minta kau membantunya lagi?” tanya Siti sore itu ketika perempuan yang sudah dianggap saudara oleh Kinanti itu, berkunjung ke rumahnya. Baginda dan Satria tengah menonton TV, acara keluarga, sebuah film kartun untuk anak-anak. Baginda bermain di luar, saling berkejaran di sepanjang gang dengan anak-anak tetangga. Suaranya terdengar ke dalam rumah ketika teriakannya keluar dari mulut anak itu. Kinanti menggeleng. “Dia sudah punya orang lain, penggantimu?” “Tidak, Mbak. Tokonya tutup. Sepertinya, tak akan berjualan dalam waktu lama. Mungkin temanku itu tengah kesulitan modal. Dia pernah bercerita ada utang yang harus dilunasi hingga kemungkinan mau berhenti dulu berjualan.” “Oooh,” Siti baru tahu. “Kalau saudaramu yang suka minta bantuanmu untuk beres-bers di rumahnya, bagaimana?” “Masih, tapi sekarang mulai jarang. Biasanya dua kali dalam seminggu. Sekarang seminggu sekali, itu pun yang kukerjakan semakin berkurang. Saudaraku mengerjakannya sendiri, suaminya baru saja kehilangan pekerjaan.” Siti merasa prihatin pada Kinanti. “Kau itu cantik, Kinan. Kau pun terpelajar. Sarjana. Tetapi kenapa tak bisa mendapat pekerjaan sesuai ijazahmu?” “Karena aku tak pernah punya pekerjaan sebelumnya hingga aku tak dapat pengalaman kerja. Banyak tempat kerja yang butuh orang yang sudah banyak pengalaman.” “Sabar, ya, Kinan... kau bisa cari kerjaan lain meski mungkin tak sesuai dengan harapanmu.” “Aku tak begitu berharap banyak dapat kerjaan yang sesuai dengan ijazahku, Mbak. Saat ini, aku dan ketiga anakku bisa makan tanpa membebani orang lain pun, itu sudah cukup. Tapi sayangnya, pikiranku terkadang buntu, aku bingung sekarang harus mencari uang dengan cara apa. Kalau cari kerja, jelas tak mungkin.” “Usaha saja, Kinan!” seru Siti. “Usaha apa?” “Berjualan... bagiamana?” “Jualan apa, Mbak?” “Ya, apa saja...” Kinanti agak ragu. “Kalau jualan itu kan perlu modal... sedangkan aku tak punya modal.” “Jualan dengan modal yang tak banyak tapi menghasilkan keuntungan yang lumayan dan bisa menghidupimu juga ketiga anakmu,” Siti tersenyum dan dalam senyumnya tersimpan rasa simpati dan harapan besar pada diri Kinanti. “Apa, ya?” Kinanti lalu berpikir. “Apa aku mampu berjualan?” Siti menggenggam tangan Kinanti. “Selama ini, kau membantu berjualan pakaian di toko temanmu. Berarti kau bisa jualan karena pengalaman itu.” Kinanti mengiyakan. “Ya, Mbak. Tapi kalau jualan pakaian, modalnya jelas besar.” “Jangan jualan pakaian. Kalau makanan, bagaimana?” “Makanan?” “Ya!” Kinanti diam dan berpikir lagi. “Orang-orang butuh makanan saban hari tapi butuh pakaian sesekali. Tentu berjualan makanan lebih bisa diandalkan. Meski mungkin hasilnya tak besar-besar amat, paling tidak... untuk menutupi kebutuhan sehari-hari masih bisa teratasi,” jelas Siti meyakinkan lalu dia pun bertutur mengenai usahanya juga suaminya. Berjualan. Saban hari, tak pernah tak memegang uang. Dan tak harus meminjam uang pada orang lain bila butuh uang. Kinanti percaya dengan kegigihan usaha Siti dan suaminya itu, terbukti Siti bisa menabung dan hasil tabungannya dibelikan tanah di kampungnya, juga ternak. Orang yang memilih jalan usaha dengan cara berdagang, asal mampu menyisihkan uang dari keuntungan yang didapat, tentu bisa juga sukses. Tak harus menjadi sarjana dulu. Kinanti jadi geli sendiri dengan keadaannya. Memiliki ijazah sarjaan tetapi tak punya penghasilan. Bahkan kini dirinya tak lebih dari seorang pengangguran yang terkadang membebani ibunya meski dia tak berniat begitu. “Mbak, kalau semisal... aku jualan mi ayam... bagaimana tuh?” tiba-tiba muncul ide itu begitu saja di benak Kinanti lalu diungkap lewat mulutnya. “Mi ayam?” “Ya, kalau Mbak Siti kan, eh maksudku... suami Mbak Siti jualan baso, nah aku... jualan mi ayam.” Siti mengangguk. “Boleh juga, ide yang bagus! Sekitar sini belum ada yang jualan mi ayam, meskipun pernah ada... tapi rasanya kurang enak... jadinya banyak orang enggan membelinya. Kalau kau berniat jualan mi ayam, aku mau minta resep sama saudaraku yang juga jualan mi ayam di kecamatan lain. Rasanya bukan main super mantap... bikin orang ketagihan!” “Mau Mbak... mintain ya resepnya?” “Siap. Kau mau jualan mi ayam... di teras rumahmu ini? Pakai meja?” tanya Siti lantaran dia tak tega bila melihat Kiannti yang cantik dan sarjana juga cerdas, harus mendorong gerobak mi ayam seperti kebanyakan para penjual mi ayam lainnya. Kinanti tersenyum simpul. “Ya, Mbak. Eh, modal mi ayam... tolong hitungin, ya? Mmmm, aku ada perhiasan, dikit sih... cuma kalung, sengaja kusimpan biar suatu saat ada kebutuhan yang darurat, bisa kujual. Ketimbang kugunakan untuk makan sementara akunya masih pengangguran, mendingan kupakai untuk modal berjualan, ya?” “Betul sekali! Aku senang kini kau semangat! Tadinya wajahmu muram!” Siti tersenyum. “Aku pasti dukung kau! Nanti kuhitungin modal sekaligus... aku antar kau belanja, temanin kau berjualan, karena akau jualan jamu kan pagi, jam sepuluh pun sudah pulang. Kalau si Mas ya santai tak harus kubantu...” “Mbak, aku terima kasih sekali padamu, ya... yang sudah beri aku solusi.” “Sama-sama, Kin. Aku sudah merasa kau itu adikku. Tapi ngomong-ngomong...” Siti berhenti bicara lalu menatap wajah Kinanti. “Apa, Mbak?” “Kalau kau jualan mi ayam... kau... tak merasa gengsi? Kau itu bekas istri orang kaya, kau juga sarjana... kau juga cantik...” Kepala Kinanti menggeleng pelan. “Tidak, Mbak. Semua kulakukan demi anank-anakku.”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD