Seraut Wajah di Masa Lalu

1164 Words
RAMA Aditya Pratama masih berada di dalam kamarnya. Tubuhnya yang tinggi tegap telentang. Kepalanya masih dirasa sedikit pening. Tubuhnya pun agak lemas. Sudah tiga hari, dia sakit. Tak ada yang dilakukannya selain berbaring, sesekali bangkit dari tempat tidur untuk ke kamar mandi yang letaknya berada dalam kamar juga, mandi, wudlu lalu solat. Pintu bercat putih yang sebelumnya tertutup rapat, ada yang mengetuk perlahan. “Ya, masuk,” ucap lelaki berusia empat puluh tahun itu tanpa bangit dari tempat tidur. Dia pun tak pernah mengunci pintu kamar dari dalam. Pintu pun ada yang mendorong. Terkuak. Lalu sesosok perempuan setengah baya bertubuh agak gemuk pendek, masuk dengan sebuah nampan berwarna hijau muda di tangan kiri. Di atas nampan itu ada semangkuk bubur ayam, segelas teh manis, dan air putih. Hamidah menghampiri tempat tidur. Lalu menaruh sesaat nampan itu di atas meja kecil yang letaknya di samping tempat tidur. “Sudah mandi?” tanya Hamidah. “Tadi Subuh, Mbak. Sekalian solat langsung solat Subuh,” jawab Rama sembari matanya melirik ke dinding bercat putih--sebuah jam yang menempel di sana. Jarum pendek mengarah ke angka tujuh, jarum panjang ke angka dua. Hamidah sosok yang terbaring. Wajah lelaki itu yang tampan di usia empat puluh tahun, usia yang tak bisa dibilang muda tetapi juga tak bisa dibilang suah tua. Lelaki itu sudah lima tahun hidup sendiri, tanpa istri. Anak semata wayangnya dari hasil pernikahan dengan istri pertama pun tinggal bersama ibunya. Di rumah ini, Rama hidup sendiri. Hamidah adalah kakak sepupunya yang sudah seperti kakak kandung bagi Rama lantaran Rama yang anak tunggal, tak memiliki saudara hingga Hamidah dianggapnya sebagai sosok kakak sendiri, terlebih hubungan mereka berdua sangat akrab sedari kecil. Sesekali Hamidah berkunjuk ke rumah Rama untuk membantu pekerjaan di rumah ini. Terutama ketika Rama perg ike bengkel yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Bengkel yang dalam dua tahun dikelola Rama dengan bantuan seorang temanlama. Dia memliki beberapa karyawan di sana. Kala Rama sakit, Hamidah pula yang menemani dan melayaninya. Meski Hamidah tidak bisa menginap lantaran dia memilik keluarag di rumahnya yang tak bisa ditinggalkan. Rumah Hamidah tidak begitu jauh dari rumah Rama. Masih satu komplek tetapi beda blok. “Sarapan dulu, ya Rama?” Hamidah menatap Rama. Lalu tatapannya beralih pada bubur ayam yang tadi ditaruhnya di atas meja kecil. Di samping dua gelas yang berisi air putih dan satunya berisi air teh manis. Untuk s**u, sudah dua hari Rama merasa enek dikerongkongan hingga dia pun melarang saudara sepupunya membuat s**u untuknya. “Ya, sebentar lagi, Mbak.” “Mbak suapin?” Hamidah berseloroh. Rama menggeleng perlahan, senyumnya terulas di bibir. “Rama kan sudah agak baikan, bisa makan sendiri, tetapi masih ingin di tempat tidur.” “Ya, kau perlu istrirahat beberpa hari lagi ke depan. Jangan dulu ke bengkel, ya?”” “Tapi Rama suntuk di dalam kamar sebenarnya, Mbak. Pinginnya jalan-jalan ke luar.” “Jangan dulu!” sergah Hamidah. “Mbak lihat tubuhmu masih lemas!” Rama diam. Tubuhnya memang masih dirasanya lemas. Bahkan pening di kepalanya masih terasa meski tak seperti hari lalu. Dia tak mau merepotkan terus Hamidah. Meski Hamidah menunjukkan perhatian yang terkadang dirasanya terlalu berlebihan. Bila Rama sakit, perempuan itu akan memperlakkan adik sepupunya seperti halnya pada anak kecil. “Kau tetap di kamar, ya?” ucap Hamidah lembut. “Tapi, Mbak...” “Tidak ada tapi-tapian, lakukan apa yang Mbak bilang.” “Baik, Mbak,” kata Rama akhirnya mengiyakan. Terkadang Hamidah menjadi sosok yang sangat berarti baginya. Rama nyaris tak punya saudara di sini selain Hamidah, saudara sepupu yang telaten, peduli, dan tentu saja menyayanginya. “Mbak tinggal dulu, ya? Mbak mau menunggu tukang sayur di dekat rumah Bu Mirna.” “Bu Mirna itu siapa, Mbak?” tanya Rama penasaran. Beberapa kali Hamidah mencetuskan nama itu depan Rama. Hamidah menyebutkan sebuah blok dimana rumah Mirna tinggal. Lalu menegaskan bila Mirna itu teman baiknya dan acap bersua di tempat pengajian yang ada di sekitar komplek. Pengajian yang dihadiri ibu-ibu sekitar komplek juga. Bahkan tak jarang Mirna berkunjung ke rumahnya. Begitu pun sebaliknya, Hamidah yang suka bertandang ke rumah Mirna. Mereka belum kenal lama. Mirna pun penghuni baru di komplek perumahan ini. Sebelumnya tinggal di komplek perumahan lain. Hubungan Hamidah dan Mirna cukup baik, bisa dibilang dekat. Malah Mirna merasa Hamidah itu sahabatnya dimana bisa diajak berbagi cerita dan persoalan yang sesekali menghingapi kehidupannya. “Oooh,” Rama respons menyimak dan dia menerka-nerka letak rumah perempuan bernama Mirna. “Lain kali Mbak ajak kau berkunjung ke sana...” “Semoga...” “Orangnya menyenangkan. Dia tinggal di situ sendiri.” “Suaminya?” “Sudah meninggal.” “Anak-anaknya di mana?” “Dia hanya memiliki seorang anak perempuan. Tapi tinggal di tempat lain.” “Oh...” “Anak perempuannya...” Hamidah menggantung ucapannya. Melintas di benaknya sosok putri tunggal Mirna. Mereka sempat bersua meski hanya sekali. Hamidah masih teringat dengan wajah dan tubuh Kinanti. Cantik dan menarik tetapi tak memedulikan penampilan juga perawatan wajah. Mirna pun acap cerita kehidupan anak semata wayangnya yang pernah gagal mengarungi bahtera rumah tangga. Mirna merasa bersalah pada anaknya karena dia yang telah menjodohkan dengan lelaki yang ternyata berkarakter tak baik. Tempo hari, Mirna bertutur bila dirinya sangat ingin melihat Kinanti bahagia dengan lelaki baru dalam kehidupannya. Namun entah dengan siapa lantaran Kinanti tak dekat dengan lelaki mana pun. Kinanti masih kecewa dengan nasib rumah tangganya. “Kenapa, Mbak?” Rama menautkan alis. Hamidah mendadak mengatupkan mulut dan dilihatnya seperti tengah ada yang dipikirkan. “Oh, tidak.” “Kata Mbak, anak perempuan... maksudnya?” Rama jadi penasaran. Ditatapnya Hamidah. “Hmmm, kau harus segera pulih, nanti Mbak lanjut ceritanya, ya?” Hamidah mengulas senyum. “Jangan lupa habis sarapan, obatnya diminum.” “Duh, Mbak ko jadi bikin teka-teki sih pada Rama?” “Teki-teki bagaimana?” “Soal anak perempuan Bu Mirna.” “Sudah, nanti kita cerita di lain waktu,” ucap Hamidah lalu membalikkan tubuhnya. Berjalan ke arah pintu. Hendak keluar rumah Rama. Dan menuju depan rumah Mirna. Meski dia tak bisa berbincang dengan Mirna karena teman baiknya itu pasti sudah tak ada di rumahnya. Pergi menjemput cucu-cucunya dan mengantar mereka ke sekolah. Sepeninggal Hamiah, Rama bukannya makan bubur ayam yang sudah tersaji melainkan tercenung. Memikirkan hidupnya. Kesendiriannya. Bukan tidak mau dia hidup berkeluarga lagi bersama seorang perempuan. Namun kegagalan bersama istri pertamnya, membuatnya tak punya nyali untuk mencoba lagi. Mantan istrinya tidak menikah lagi. Anak semata wayang dari pernikahan mereka mengingniak kedua orang tuanya kembali. Namun, Rama tidak berkehendak. Dia sadar diri dengan kehidupan perekonomiannya. Sementara mantan istrinay seorang wanita karier dan kehidupannya lebih dari sekadar mapan. Meski perempuan itu tak sedang memiliki suami, tetapi Rama tidak berniat hidup bersama ibu anaknya itu. rasa sakit masih bersarang dalam hatinya. Pasca perceraian, Rama menutup hati untuk semua perempuan. Terkecuali.... Mengapa ucapan Hamidah yang menggantung membuat Rama penasaran? Lalu sempat berkelebat seraut wajah di masa lalunya. Seraut wajah yang tak pernah dilihatnya lagi. Mata Rama terpejam. Namun wajah itu terus berkelebat. Seolah enggan beranjak meski sejenak.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD