14 - Teman Baru Ayah

1412 Words
Bab 14 - Teman Baru Ayah “Kakek, kenapa memarahi Ibu?” Tanya Arsha yang tiba-tiba saja nongol dari ambang pintu kamar. Memang, Kirana sedang diinterogasi di dalam kamarnya saat ini. Dengan cepat Kirana menyeka air matanya yang sudah berjatuhan itu. Sementara, orang tua Kirana, mengembuskan napas pelan dan berusaha menetralkan hati yang kesal dan marah kepada Kirana. Mereka tidak mau marah-marah di depan cucu. Arsha berlari menghampiri ibunya dan memeluk serta mengusap pipi sang Ibu penuh sayang dengan mata berkaca-kaca. “Ibu tak apa-apa sayang, kakek sama nenek nggak salah. Ibu yang salah, sama seperti kepada Arsha, saat Arsha nakal, maka ibu akan marah. Tapi marah dengan sayang,” ucap Kirana dengan lembut dan memeluk putra yang sudah susah payah dibesarkan dengan penuh kesulitan selama ini. Bagaimana tidak sulit, saat harus membesarkan seorang anak tanpa ayah dan tanpa adanya pernikahan. Dia jadi merasa bersalah, semoga apa yang terjadi kepada dirinya tak terjadi pula kepada orang lain. Semoga tak ada orang yang segila dirinya, dan menghancurkan masa depan hanya karena emosi sesaat. Kirana berusaha menahan diri agar air matanya tak jatuh berderai saat mengingat kejadian di masa lampau. “Begitu ya Bu? Jadi nenek sama kakek baik? Jadi mama yang nakal?” tanya Arsha dengan polosnya. Kirana tersenyum sambil mengangguk pelan. “Walau mama nakal, Arsha tetap sayang mama,” ucap Arsha sambil mengecupi seluruh wajah ibunya. Kirana begitu terharu dengan sikap penuh kasih sayang yang ditunjukkan anaknya. Melihat interaksi antara Kirana dengan Arsha, kedua orang tua Kirana pun ikut terharu. “Kakek, nenek maafin ibu ya?” rajuk Arsha, dia sudah merubah posisinya, menjadi berdiri tegak dan mendekat kepada nenek kakeknya. “Sini duduk di pangkuan kakek,” ujar Ayah Kirana. Arsha menurut, dia pun duduk di atas paha sang kakek. Kakeknya mengelus lembut kepala Arsha. “Kakek senang bisa punya cucu sebaik dan sepintar kamu. Kakek dan nenek tak akan marah-marah lagi sama Ibu,” ucapnya dengan lembut. Kirana tersenyum dengan air mata berderai, meski dirinya salah. Tapi, orang tuanya tetap mencintai Arsha anaknya. Dia sangat bersyukur sekali, punya orang tua seperti mereka. Kembali atas pertanyaan orang tuanya tadi, sekarang kepalanya terasa pusing. Dia harus mencari cara agar kedua orang tuanya percaya kalau dia punya suami. Arsha, ya Arsha lebih butuh lagi sosok ayah. Dia tak mau di masa depan nanti, anaknya jadi bahan cemoohan, karena dikatai anak hasil…ah sudahlah tak perlu dibahas dan diingat -ingat lagi. Dia mendesah dalam hati. “Hal ini belum selesai Kiran! Ayah sekarang mau pergi dulu, nanti kita lanjutkan membahasnya!” tegas sang Ayah, lalu pergi dengan mengajak Arsha. Tinggalah Ibu dan anak yang sekarang berdua di dalam kamar dengan suasana hening. “Ibu,” ucap Kirana dengan suara tercekat di tenggorokan yang terasa kering. “Kirana, kamu anak yang baik bagi ibu. Tapi, jujurlah apa yang terjadi sebenarnya di kota? Apa kamu melakukan pergaulan bebas dan sampai terperosok dalam sexs bebas?” tanya Ibunya tanpa tedeng aling-aling. Kirana mendongak dan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Tidak bu! Aku tak seperti itu!” ucap Kirana dengan raut penuh kesedihan. “Lalu?” Ibu menarik tangan Kirana agar duduk di sampingnya. “Sudahlah jangan bersimpuh terus, sini duduk di samping Ibu,” lanjutnya. Kirana pun duduk di samping ibunya. Ibu memeluk dan mengusap-usap punggung sang putri dengan penuh sayang. “Nanti jika kamu sudah siap, kamu bisa bicara jujur sama Ibu. Hidupmu pasti berat di luar kota. Hamil sendirian, tanpa ada Ibu yang membantumu. Kenapa kamu tak pulang saat hamil dulu, kalau kamu pulang Ibu bisa membantu merawatmu dan bayimu itu, Nak,” perkataan Ibunya membuat Kirana begitu sedih dan terharu, sampai-sampai dia kembali menangis sesenggukan dan meminta maaf beberapa kali. Selembut itulah hati seorang Ibu. Meski dirinya salah, Ibu tetap berjiwa besar untuk memaafkan anaknya sebesar apapun kesalahan sang anak. Cukup lama mereka berpelukan saling menyalurkan rasa sayang antara Ibu dan Anak. Hingga akhirnya, suara deru mesin motor terdengar dan berhenti di halaman ruma Kirana yang cukup luas dan tanpa pagar itu. Bergegas, Kirana dan Ibu melihat ke depan. Rupanya Dimas yang datang. “Bukankah dia temanmu yang mengantarmu kesini seminggu yang lalu ya?” tanya Ibu kepada Kirana, setelah berada di teras rumah. Kirana mengangguk. “Iya,” sahutnya. Dimas turun dari motor setelah memarkirkan motornya, lalu salim kepada Ibu Kirana dengan senyuman sumringah seperti dapat undian berhadiah saja. “Kamu baru dapat komisi dari hasil affiliate ya Kak?” canda Kirana, dia tahu kalau pekerjaan sampingan Dimas adalah Affiliate di sebuah platform. Dimas terkekeh. “Itu salah satu alasannya,” sahut Dimas. Ibu tersenyum melihat keakraban keduanya. “Ayo masuk, nak Dimas,” ajak Ibu. Dimas mengangguk sopan. Lalu mengikuti Ibu, masuk dan duduk di ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah itu. Sementara Dimas dan Ibu berbincang di ruang depan. Kirana mengambil dulu minuman dan camilan untuk mereka ke dapur. “Nak Dimas jauh-jauh main ke sini, apa tidak mengganggu pekerjaan ya? Apalagi sekarang kan hari Rabu. Bukan hari libur,” tanya Ibu. “Tak masalah Bu, habis saya kangen Arsha. Oh mana anak itu, kok nggak kelihatan?” Dimas mengedarkan pandangan. “Baru saja pergi sama Kakeknya ke ruma teman lama katanya,” ujar Ibu. “Memangnya kerja apa? Kok bisa libur di hari Rabu? Atau sengaja izin dulu?” Ibu makin kepo. “Saya kerja kantoran sih, tapi kebetulan masih punya banyak cuti yang belum diambil. Jadi saya ambil untuk dua hari ke depan,” jawab Dimas santai. Ibu hanya mengangguk paham, kemudian mereka terlibat obrolan hangat dan asyik. Hingga, pertanyaan ibu kepada Dimas membuat suasana mendadak canggung. “Apa kamu tahu dimana suami Kirana sekarang? Bukankah kamu tadi bilang kenal Kirana sejak dia hamil? Pastinya, suaminya datang kan walau cuma sesekali?” tanya Ibu dengan serius, dan penuh harap Dimas akan menjawab pertanyaannya. Wajah Kirana memucat, dia menatap Dimas dengan cemas. Mendengar pertanyaan Ibu, Dimas pun terkejut dan jadi bingung harus menjawab apa. Karena setahunya, Kirana pernah bilang kalau suaminya di luar negeri dan tak pernah pulang sampai sekarang, mungkin dia menikah lagi. Sebanyak itulah Kirana berbohong untuk menutupi masa lalunya, hanya Bu Lia seorang yang tahu tentang masa lalunya yang rumit itu. Wanita yang membantunya semenjak hamil, sampai dia melahirkan. Tetangganya yang baik, yang sudah dia anggap sebagai Ibu keduanya. Kedua tangan Kirana saling tertaut dan saling meremas kuat, keringat dingin mulai memenuhi wajahnya, mengalir dengan deras secara tiba-tiba. Kebetulan sekali saat itu, Adzan Dzuhur berkumandang. Menyelamatkan Dimas dan Kirana, dengan alasan mau shalat dzuhur. “Bu saya mau ke masjid dulu sebentar, mau shalat dzuhur,” ucap Dimas. “Oh iya, iya silahkan. Sudah tahu kam masjidnya?” tanya Ibu. “Sudah Bu, kan waktu itu saya ke masjid bareng bapak,” sahut Dimas. Sementara, Kirana dan Ibu melakukan shalat di rumah. Selesai ibadah dzuhur, Kirana dan Ibu memasak untuk makan siang. “Kok Ayah sama Arsha lama ya?” ujar Kirana yang tak enak hati. “Iya, Ibu telepon aja kali,” dan Ibu langsung menghubungi nomor suaminya. Tut tut tut “Tumben lama ngangkat teleponnya,” ujar Ibu dengan gelisah. “Mungkin lagi dijalan, Bu,” sahut Kirana. “Iya, kali,” sahut Ibu. Akhirnya memutuskan tak jadi menelepon, karena takutnya sedang di jalan, dan bisa mengganggu konsentrasi saat berkendara. Lima menit kemudian, terdengar suara dering masuk ke ponsel ibu. “Dari Ayahmu,” ujar Ibu kepada Kirana. “Bu, Ayah pulangnya mungkin agak malam, soalnya ada banyak hal penting yang harus dibahas,” tutur Ayah dengan suara parau. “Iya, yah. Tapi kenapa suara Ayah agak serak gitu?” tanya Ibu dengan rasa cemas. “Ehm, tak ada. Ayah hanya batuk-batuk saja dari tadi,” sahut Ayah. Tak banyak yang mereka bicarakan, setelahnya panggilan pun berakhir. Malam sekitar jam delapan malam terdengar suara deru mesin mobil dari luar. “Ada suara mobil, ada tamu kah?” Ibu berdiri untuk melihat ke luar. “Yah kenapa?” Ibu panik saat melihat suaminya yang turun dari mobil dengan beberapa perban di tangan dan kakinya. Lebih Syok lagi ketika melihat seorang pria muda keluar dari mobil dengan menggendong Arsha yang juga berbalut perban. Kirana yang baru keluar, langsung heboh dan berderai air mata. Dia, segera merebut Arsha dari gendongan pria itu dan memeluknya erat. “Kamu apakan anak dan Ayahku?” raungnya sambil terisak. Pria itu hanya melongo mendengar kemarahan Kirana. “Kiran, ini hanya sebuah kecelakaan. Dan mereka ini teman baru Ayah,” ucap Ayah meluruskan. Kirana menatap pria itu tajam. “Iya kecelakaan, tapi mereka kan yang menabrak Ayah dan Arsha?” tuduhnya dengan kejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD