Bab 8 - Anak Siapa?
Kirana menghentikan gerakannya mendorong kursi roda, karena kebetulan sudah sampai di samping tempat tidur.
“Tentu saya tidak mau! Mana mungkin saya mau sama Anda.” Kirana geleng-geleng kepala.
Ragendra memberengut, raut wajahnya berubah muram. Dan, bibirnya tersenyum masam.
“Apa karena saya cacat?” dengan lirih Ragendra bertanya.
Kirana merasa tak enak hati, plus merasa bersalah juga. “Bukan begitu Tuan, tapi saya sudah punya kekasih,” ucap Kirana berbohong. Karena, dia tak tahu harus berkata apa.
Ragendra menatapnya dalam. Bibirnya menyunggingkan senyuman penuh kesedihan, itulah yang Kirana tangkap. Tapi, masa iya dia sedih karena ucapannya barusan? Ah, Kirana jadi gelisah.
“Tuan apa Anda baik-baik saja?” tanya Kirana, cemas.
Tak ada senyuman dari bibir Ragendra. Dia hanya menatapnya sekilas, kemudian memalingkan wajah. “Tolong ambilkan laptop saya di sana!” menunjuk sebuah meja yang ada di sudut kamar ini.
Kirana bergegas mengambilnya, dan segera menyerahkan kepada Ragendra.
Ragendra menerima dan mendekapnya.
“Emh, baju Anda di mana?” Kirana celingukan.
Ragendra menunjuk sebuah pintu. “Di sana! Ambilkan!” nada bicaranya terdengar ketus dan dingin.
Kirana bergegas menuju pintu itu dan membukanya. Ternyata ruangan itu adalah sebuah wardrobe pribadi. Dia begitu terpukau dengan deretan baju dari brand ternama dan limited edition.
Mulai dari baju formal, semi formal, kasual, sampai pakaian dalam semuanya tertata rapi. Sepatu dan sandal pun, tampak berjejer di sebuah lemari kaca.
“Ish, ini toko baju apa bukan sih?” kekehnya penuh keheranan, jiwa miskinnya meronta. Apalagi di lemarinya di rumah kontrakan, dia hanya memiliki beberapa baju andalan yang biasa digunakan untuk bepergian dan bekerja. Sisanya adalah baju rumahan yang bahkan sudah bertahun-tahun lamanya, hingga warnanya saja sudah memudar dan gambar motifnya sudah hampir tak terlihat.
Kirana tertawa mengingat semua itu. Namun, sesaat kemudian tawanya hilang lenyap entah kemana. Raut wajahnya berubah muram dan tampak sedih, beberapa kali ia tampak mengembuskan napas pelan. Dia seperti menggumamkan sesuatu, tapi entah apa karena sangat lah pelan.
Kembali mengerjakan tugasnya. Dia mengambil satu set pakaian kerja, karena menurut jadwal harian yang didapat dari Deri, hari ini Ragendra akan pergi ke kantor. Dia mendesah, ketika harus memilih celana dalam untuk Ragendra. Bibirnya manyun, “harus Aku juga kah yang memilihnya? Seperti mengurus suami sendiri saja,” gumamnya dengan jengkel.
Dia berjongkok, karena memang pakaian dalam berada di deretan paling bawah.
Dengan terpaksa, Dia mengambil sebuah celana dalam berwarna kuning cerah. Padahal masih banyak yang warnanya gelap. Kirana terkikik sendiri melihat celana itu. “Siapa suruh harus Aku yang ngambil ini,” kekehnya, lalu segera keluar dari ruangan itu.
Kirana bisa melihat, Ragendra yang malah sibuk memangku laptop dan dengan lincah jemarinya bermain di atas tuts laptop. Saat sedang serius bekerja lelaki itu tampak begitu berkali-kali lipat tampan mempesona dan auranya berbeda.
Kirana jadi berkhayal kalau Ragendra menjadi suaminya, bibirnya menyunggingkan senyuman dengan kedua tangan memeluk pakaian milik bosnya itu.
Merasa ada yang memerhatikan, Ragendra mendongak dan menoleh ke arah tempat Kirana mematung, di depan pintu ruang gantinya. Sepertinya, Kirana belum sadar kalau sang majikan tengah menatapnya saking terpesonanya dia.
Ragendra tersenyum tipis. “Hem,” dehamnya cukup keras.
“ Eh, hehehe.” Kirana mengerjapkan mata. Dia tampak gugup dan salah tingkah. Kemudian menyengir kuda. Tapi melihat raut datar dari Tuannya, dia jadi malu sendiri dan mengatupkan bibir dengan segera.
“Aku kedinginan mana bajuku,” ucap Ragendra ketus, dia mulai memanggil Aku lagi.
Ucapan Ragendra membuat hati Kirana tak enak saat mendengar nada ketus dari majikannya itu. Padahal, bukan baru sekali ini dia berkata seperti itu. Tapi, Dia selalu seperti itu. Mungkin hanya karena sempat berbicara dengan lembut beberapa kali kepada dirinya, Kirana jadi merasa nyaman.
“Iya, ini,” ujarnya sambil melangkah dengan cepat dan segera menyerahkan kepadanya.
“Ragendra menyodorkan laptop kepada Kirana.”Simpan!”
Dengan sigap Kirana menerima laptop dan menyimpannya dulu di atas tempat tidur.
“Pakai kan!” masih saja Ragendra dengan nada ketus saat berbicara.
“Hah,” seperti ayam kena tetelo, Kirana malah bengong mendengar perkataan Ragendra.
“Pakai kan!” ulang Ragendra dengan pipi memerah, entah karena apa.
Glek
Glek
Kirana meneguk saliva, dengan raut wajah yang tegang. Dia mengembuskan napas sepelan mungkin, secara mendadak paru-parunya seolah kehabisan oksigen mendengar perkataan Ragendra.
“Ta tapi Tuan, sa saya…” suaranya terbata dan tak selesai berucap saking gugupnya.
“Bukan kah dalam surat kontrak sudah dijelaskan, apa saja tugasmu!” Ragendra mengembuskan napas gusar.
“Em, i iya. Tapi…” Kirana sungguh merasa tak nyaman saat ini.
“Kamu lihat kan bagaimana kondisiku? Aku pun tak mau seperti ini,” suara Ragendra terdengar penuh emosi, rasa sedih dan kecewa pada diri sendiri.
Mendengar perkataan Ragendra, sungguh Kirana merasa bersalah dan tak enak hati. Tanpa berkata lagi, dia langsung memakaikan kemeja ke tubuh polos yang hanya berbalut handuk untuk menutupi area pentingnya itu.
Tangannya gemetar, apalagi saat tanpa sengaja menyentuh d**a bidang dan berbulu halus milik sang Tuan.
Tapi, otaknya sungguh sudah konslet sepertinya karena merasa sangat penasaran ingin sekali meraba d**a itu. ‘ Dulu, rasanya tak berbulu seperti ini?’ Dia jadi mengingat masa lalu ketika mereka malah melakukan hal itu.
Sekuat tenaga, Dia menepis pikiran kotornya. Dia sampai memaki diri sendiri dalam hati, dan berusaha menasehatinya.
Mukanya sampai memerah dan sebisa mungkin dia tenang, untung saja dia punya pengendalian diri yang lumayan baik meski masih agak kentara kalau saat ini dia tengah menahan sesuatu.
Tangannya mulai mengancingkan kemeja Ragendra.
Ragendra menatapnya intens dan lekat dengan tatapan yang dalam.
Merasa ada yang memerhatikan, Kirana mendongak dan tatapan mereka sontak bertemu.
“Ehem, ehem.” Kirana langsung salah tingkah, pipinya semakin merona. Apalagi sepertinya, Ragendra enggan mengalihkan pandangan.
“Kenapa anda menatapku?” ceplos Kirana.
“Kepedean,” cibir Ragendra dengan santai tanpa terlihat salah tingkah.
Kirana jadi malu sendiri mendengar perkataan sang Tuan. Dia jadi menyesal sudah mengatakan hal itu. “Aaa, maluuu!” pekiknya dalam hati.
“Anak kecil itu anakmu?” tanya Ragendra tiba-tiba.
Hah, Kirana terkejut mendengar perkataan Ragendra, Dia menatapnya dengan cemas. “Darimana anda tahu saya sudah punya anak? Apa anda menguntit saya?” Kirana merasa kesal.
“Menguntit? Kamu tak sepenting itu sehingga Aku harus menguntitmu,” dengan ejekan Ragendra berkata, satu sudut bibirnya terangkat ke atas.
“Kenapa mulut anda pedas sekali ya Tuan? Saya juga manusia bisa sakit hati loh,” cibir Kirana sangat pelan, tapi masih bisa didengar oleh Ragendra.
“Apa kamu mengatakan sesuatu?” sinis Ragendra.
“Eh, heheh.” Kirana menyengir kesal.
Kedua alis Ragendra tertaut, menatap Kirana dengan tajam.
“Saya hanya mengatakan kalau anda berbicara terlalu pedas, tapi ini kenyataan loh,” ucap Kirana dengan senyuman yang ia paksakan.
Ragendra mendesis. “Dari semua orang yang pernah menjadi pelayanku, kamulah yang paling menyebalkan dan tak tau diri. Suka memarahi Aku, padahal Aku majikanmu,” ucap Ragendra sepedas cabe setan.
Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia merasa benar juga sih apa yang dikatakan Ragendra. Dirinya memang sungguh babu tak tau diri yang seenaknya suka mencibir majikan. Tapi, kenapa pria itu tak memecatnya saja? Padahal dengan begitu, dia akan senang karena tak perlu mengganti rugi. Dan, dia bisa terlepas dari berdekatan dengan pria yang pernah hadir di masa lalunya.
Masa lalu yang membekas seumur hidupnya, meski hanya sekali mereka bertemu saat itu. Ah kenapa sekarang mereka harus dipertemukan lagi sih? Dalam hati, dia mendesah panjang.
“Kenapa melamun. hem? Katakan, dia anakmu bukan? Atau malah anak kita?”
Kirana menegakan punggung mendengar perkataan Ragendra. Dia menatap Ragendra dengan terkejut.
Rupanya, Ragendra benar-benar masih mengingat dirinya.
“Jadi dia…? Ragendra menatap penuh tanya.