23 - Sah-sah, Ada yang Mengamuk

1385 Words
Bab 23- Sah-sah, Ada yang Mengamuk “Sebenarnya, waktu itu, aku…” Ragendra kembali menjeda perkataannya, sesekali dia mengembuskan napas gusar. “Ah bertele-tele,” kesal Ibunya, suaminya hanya geleng-geleng kepala. Heran bisa begitu sabar menghadapi sikap istrinya yang seperti itu. “Tujuh tahun yang lalu, aku sudah kehilangan kewarasan. Karena, jatuh cinta kepada wanita yang lebih dewasa dariku, sehingga aku nekad memperkaosnya, dan jadilah Arsha. Kirana bahkan, bersembunyi dan tak pernah menghubungiku untuk meminta pertanggungjawaban, padahal aku sangat ingin bertanggung jawab, karena niatku memperkaosnya…ehem, ya itu untuk bisa diterima dia,” ucap Ragendra dengan yakin dan serius, dia berkata lantang tanpa jeda dan tak terlihat sedang berbohong. Rupanya, dia sudah berlatih untuk mengatakan hal ini sejak semalam, andai kedua orang tuanya bertanya. Dan benar saja, ternyata hal ini dipertanyakan. Tujuannya hanya satu, menjaga nama baik Kirana di depan kedua orang tuanya. “Apa!” kedua orang tuanya sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan Ragendra. Rasanya tak percaya, tapi ini pengakuan putra mereka. “Maafkan Aku Kiran, karena membiarkanmu sendirian selama ini. Aku janji untuk selanjutnya hal ini tak akan terjadi lagi,” ujar Ragendra dengan tatapan lekat ke arah Kirana. Ibu Ragendra sampai memukuli lengan anaknya karena marah dan kecewa. “Maafkan Aku Bu, Yah,” cicit Ragendra. Sementara itu, Kirana sendiri merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ragendra. Kenapa dia malah mencoreng namanya sendiri, dan menolongnya. Mata Kirana berkaca-kaca. Tok tok tok Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk dari luar, diiringi suara Deri. “Tuan Gen, Non Kirana, penghulu sudah tiba,” ujarnya. Ibu Ragendra menatap Kirana dan Ragendra bergantian, menghembuskan napas kasar, lalu mengatakan sesuatu. “Walau bagaimanapun, saya harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan Gendra. Baiklah, menikahlah kalian, ya meski saya kurang setuju sih,” ucapnya terpaksa. Kirana mengangkat wajah, menatap sang calon mertua. “Saya juga minta maaf atas kelakuan Ragendra di masa lalu. Kamu pasti mengalami banyak hal, hal yang sulit, saya akan memberikan yang terbaik untuk cucu saya itu. Kamu tenang saja, kami akan mengakuinya,” lanjutnya. Seandainya, Arsha tak mirip Ragendra, sebenarnya belum tentu percaya kalau dia anak Ragendra. Untung saja, bagaikan pinang dibelah dua, sehingga tak bisa mengelak lagi. “Terima kasih,” cicit Kirana. Ragendra dan Ayahnya keluar terlebih dahulu untuk menuju ke tempat ijab qobul, yang akan dilaksanakan di ruang depan. Meski tidaklah luas, tapi cukup kalau hanya untuk menampung penghulu, sepasang pengantin, dan para saksi nikah. Setelah mereka pergi, MUA datang untuk memperbaiki riasan. Ibu Ragendra meminta para MUA itu keluar, dan dirinya yang akan membetulkan riasan Kirana. Ibu Ragendra adalah pemilik salon ternama dan terbesar di kota tempat tinggalnya, juga seorang penata rias yang terkenal sampai ke berbagai kota di negeri ini. Jadi, tentu saja hasil riasannya sangat bagus dan berkelas. “Sini, biar Ibu benerin riasannya,” lalu membantu Kirana membetulkan riasan, dan tak membiarkan para perias itu menyentuh Kirana. “Kamu punya kulit yang bagus, sehat dan cantik seperti Mama waktu muda, bener kata Papa,” sambil membetulkan riasan Kirana. Kirana tersipu mendengar perkataan Mama mertuanya, eh masih calon. “Apakah saat dia memaksamu melakukan itu, kamu hanya diam saja? Atau kamu memberikan perlawanan?” sambil menginterogasi rupanya. Kirana bingung mau menjawab apa, dia berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “Saya berusaha melawan Bu, tapi tenaga saya mana cukup untuk melawan seorang pria berjiwa muda yang sedang menggebu-gebu,” dengan terpaksa, Kirana berbohong. “Maafkan Aku Tuan Gen. Nanti Aku harus minta maaf sepertinya,” itulah yang ada dalam hati Kirana. “Hem, ya sudah. Maafkan dia ya, maafkan kami juga. Nanti kita bicara lagi yang banyak, sekarang sudah saatnya kamu keluar,” lalu berdiri, menggamit tangan Kirana dan membawanya keluar dari kamar. “Calon Ibu Mertua tak buruk juga, ya meski cerewet dan julid juga sih,” itu yang ada dalam pikiran Kirana. Saat melangkah keluar dari kamar, tidak tahu kenapa dia merasa gelisah. “Semoga semuanya berjalan lancar,” ucapnya. Saat sampai ke lokasi, semua saksi sudah mengucapkan sah. Sah sah sah Semua merasa lega dan bahagia. Kirana melangkah dengan hati berdebar keras. Kemudian duduk di samping Ragendra dengan wajah menunduk menatap lantai. Kirana mencium tangan pria yang baru saja sah menjadi suaminya, pun dengan Ragendra yang mengecup puncak kepala istrinya. “Nak Gendra, tolong jaga anak kami. Kami sangat menyayanginya, seandainya suatu hari nanti kamu sudah tak menginginkan lagi anak kami, tolong jangan sakiti dia. Cukup kembalikan saja dia kepada Kami, kami akan menerimanya dengan tangan terbuka,” tutur Ayah Kirana, dengan setitik air mata yang jatuh. Kirana terisak memeluk kedua orang tuanya. Tujuh tahun sengaja tak pulang, demi untuk menyembunyikan kehamilannya. Dan saat pulang, dia malah menikah yang pastinya harus ikut dengan sang suami. Arsha pun meneteskan air mata, meski usianya kecil tapi dia cukup peka dan sedikit paham dengan apa yang terjadi. Dia hidup ditempa dengan banyak kesulitan, lahir tanpa bertemu dengan sang ayah kandung dan hidup sehari-hari dengan pengasuh, karena ibunya harus mencari nafkah. Awalnya, Arsha tak mau menerima Ragendra begitu saja. Apalagi, pria yang mengaku ayahnya itu datang secara tiba-tiba, dia tak begitu mengenalnya. Namun, tadi pagi, saat Kirana masih terlelap, dan dia sudah terbangun, Ragendra mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Perkataan Ragendra membuat hati Arsha luluh, bisa meyakinkannya. “Aku ayahmu yang sebenarnya, cukup lama Aku mencari kalian, tapi tak ketemu juga. Ayah bahagia saat berhasil menemukan kalian. Setelah kami bersama, Ayah tak akan membiarkan Ibumu bekerja. Dia harus bahagia dan hanya fokus menjagamu dan Ayah saja, kita akan membahagiakan Ibu bersama ya. Ayah dan kamu, kita sama-sama jaga Ibu, okey.” Kata-kata Ragendra mampu meluluhkan hati Arsha. Ya, harapan Arsha adalah agar Ibunya bisa bahagia, dia bercita-cita membahagiakan ibunya tercinta. Arsha memeluk Ibunya dengan erat, dia berjanji akan selalu membahagiakan sang ibu. Ibu Ragendra yang memang cerewet dan agak cengeng itu, tak kuasa menahan air mata melihat semua itu. Suaminya memeluk dan menyemangatinya. Ragendra pun turut terharu, dia berusaha menahan diri agar air mata tak sampai tumpah. Namun, tetap saja, buliran bening ada yang luruh. Dengan cepat dia menyekanya. Beberapa orang yang hadir, yang merupakan kerabat dekat keluarga Kirana pun turut menangis haru. Disaat suasana hening, penuh keharuan, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang berhenti di sekitaran area rumah orang tua Kirana. “Mas Dani datang!” ucap adik Kirana yang kebetulan, tadi baru dari luar. Kirana terperanjat, lelaki sinting itu rupanya benar-benar datang. Untung saja pernikahan benar-benar terjadi, kalau tidak, bisa-bisa terjadi nikah paksa antara dirinya dengan lelaki songong itu, hiih. Kirana bergidik. “Dani siapa?” tanya Ibu Ragendra yang kepo, melihat gelagat anggota keluarga Kirana yang terlihat tak nyaman. “Bukan siapa-siapa, hanya teman di pasar,” sahut Ayah Kirana. “Oh,” respons Ibu Ragendra. Tapi tak disangka-sangka, Dani langsung masuk dan berkata julid. “Bagaimana pernikahannya? Lancar? Apa mas kawinnya? Hah, palingan cuma seperangkat alat sholat saja kan?” ucapnya penuh ejekan. Kirana sudah mangap mau menyahuti karena kesal dan jengkel kepada manusia satu ini. Tapi urung, karena keburu didahului oleh Ibu Ragendra. Ibu Ragendra berdiri “Siapa bilang cuma seperangkat alat sholat saja heh? Saya sudah menyiapkan bulan madu ke paris untuk satu bulan, sebuah rumah mewah di perumahan elit Matahari Gemilang, Bahkan saya juga sudah menyiapkan uang 1 milyar untuk maharnya, kamu mau apa? Mau pamer? Ayo pamer, mau pamer apa? Kamu nggak kenal siapa anak saya! Dia itu…” perkataannya terjeda oleh seruan Ragendra, yang tak mau ibunya mengumbar statusnya hanya karena emosi. “Bu! Sudahlah tak perlu diladeni,” timpal Ragendra. Semua yang ada di ruangan itu tercengang mendengar perkataan Ibu Ragendra. Banyak yang berpikir keras apakah benar atau bohong apa yang dikatakannya. Karena tadi saat ijab qobul hanya menyebutkan seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan emas yang tidak disebutkan beratnya. Dani terkejut mendengar perkataan Ibu Ragendra,tapi sesaat kemudian dia tertawa renyah. “Dasar pembual, hahahah kalian pasti berbohong!” “Kami tidak bohong, mau bukti apa kamu hah? Kamu punya hape kan? Cari di internet nama Rian Prakasa, dan kamu akan menemukan buktinya!” sahut Ibu Ragendra. Dengan raut kesal, Dani merogoh ponsel dan mengetikan nama itu di pencarian. Bukan hanya Dani, beberapa orang yang ada di ruangan ini, yang memiliki ponsel pun melakukan hal sama. Sedangkan yang tak punya ponsel, tampak ikut melihat kepada orang lainnya. Dan terereng… Di pencarian pun muncul nama Rian Prakasa, setelah di klik, muncullah profilnya, dan terereng...

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD