18 - Dilamar

1755 Words
Bab 18 - Dilamar Pagi itu suasana terasa berbeda, itulah yang Kirana rasakan. Ayahnya terlihat sering menatapnya dengan tatapan kecewa dan marah, namun tak mengatakan sepatah kata pun. Dan ibunya, sering tertangkap menatapnya dengan tatapan sedih dan iba. Selesai sarapan, Ragendra tampak asyik bermain dengan Arsha, meski kakinya sakit, namun tak membuatnya terganggu untuk bermain dengan anak itu. Sementara itu, Deri sibuk bekerja dengan laptopnya di saung. Ya, meski tidak berada di kantor dia harus tetap bekerja keras dan memantau semua pekerjaan. Dimas memang sudah pulang ke rumahnya, karena dia ada pekerjaan, dan tidak bisa seenaknya meninggalkan pekerjaan begitu saja. Kecuali kalau memang mau dipecat. “Arsha mmu punya ayah tidak?” tanya Ragendra, yang membuat Kirana dan kedua orang tuanya menatap ke arah Ragendra dan juga Arsha. Mereka memang berada dalam satu ruangan yang sama. Arsha tampak menatap Ragendra dengan bingung, namun tetap menjawab. “Mau, tapi ayahku kan lagi kerja di luar negeri,” katanya dengan polos. Ragendra terkekeh mendengar jawaban polos anak itu, kemudian menoleh ke arh Kirana. Kirana tampak salah tingkah, dia menatap Ragendra dengan raut malu, kedua tangannya tampak saling tertaut dan meremas, dengan diiringi menyengir salah tingkah. Sementara, kedua orang tuanya tampak menghembuskan napas pelan. Tadi selepas subuh, Ragendra memang sudah menceritakan kejadian sebenarnya kepada Ayah Kirana, dan Ayah Kirana sudah menceritakan kepada istrinya. Kirana belum tahu kalau kedua orang tuanya sudah tahu. “Siapa yang bilang?” tanya Ragendra, dengan lembut kepada Arsha. “Ibu, ibu yang bilang. Kata Ibu, ayahku tampan banget seperti pangeran dan orangnya lucu seperti Aku. Ibu juga bilang Ayah orangnya hebat dan baik banget, itulah sebabnya Aku juga hebat dan baik,” celoteh Arsha. Mendengar semua celotehan Arsha, Ragendra jadi sangat senang bercampur terharu. Artinya itulah penilaian Kirana untuk dirinya. Ada rasa sedih juga dalam hati, karena selama ini tidak bisa menemani Kirana dalam merawat Arsha. Dia yakin, Arsha adalah anaknya, dia seratus persen yakin. “Maafkan ayah ya,” gumam Ragendra dengan mata yang menatap sedih Arsha. Ibu Kirana tiba-tiba saja pergi dari ruangan itu dan terisak di dalam kamar, disusul suaminya. Mereka berpelukkan di sana. “Kasihan Kirana dan Arsha selama ini, dia pasti kesulitan dan sedih sendirian. Belum lagi harus menghadapi tetangga julid,” isakkan semakin kencang dari Ibu Kirana. “Semuanya akan baik-baik saja Bu,” dengan lembut berusaha menenangkan Istrinya. Sementara itu di ruang depan. Kirana memperhatikan interaksi Arsha dengan Ragendra, dengan perasaan haru dan sedih. Mengingat bagaimana sulitnya hidup mengandung anak sampai melahirkan tanpa seorang suami, sungguh ini diluar harapan dan dugaannya. Siapa yang mau seperti itu? Bahkan setiap malam, dia melakukan shalat taubat untuk memohon ampun atas dosanya. Air mata tiba-tiba saja jatuh berderai, meleleh begitu saja tanpa bisa dicegah ya. Dia menyeka pipinya yang basah, kemudian terisak cukup keras. Membuat Arsha dan Ragendra menoleh bersamaan. “Ibu kenapa menangis?” Arsha berlari menghampiri ibunya. Ragendra mengikuti dengan memutar roda kursinya. Arsha memeluk Kirana. “Kenapa menangis? Apa ingat Ayah? Om Dimas bilang, kalau Ayah tak pulang-pulang, Om Dimas mau menjadi Ayahku. Jadi Ibu tak usah sedih,” ujar Arsha. Kirana meneguk ludah susah payah mendengar perkataan Arsha, dia menatap Ragendra lekat. Ragendra begitu terkejut mendengar perkataan Arsha. “Laki-laki itu pasti sudah menghasutnya,” dalam hati, Ragendra begitu kesal. “Memangnya kamu mau Om Dimas menjadi ayahmu?” tanya Kirana sambil mengelus lembut kepala putranya itu. “Boleh, kan Om Dimas baik banget.” Arsha menjawab tanpa banyak berpikir. “Huuh, kenapa bilang begitu? Ayahmu bisa sedih mendengarnya,” ujar Ragendra dengan kesal. Kesal kepada Dimas sebenarnya. “Tapi sepertinya Ayah sudah melupakan Aku,” suara Arsha terdengar pelan bercampur kesedihan. “Om Dimas yang selama ini mengaku bermain, jalan-jalan, dan makan bersama,” ujar Arsha mengenang semua kejadian yang pernah dilewati. Ragendra mengembuskan napas gusar mendengar pengakuan Arsha, sepertinya Dimas sudah berhasil merebut hati Arsha, dan mungkin juga hati Kirana. “Kalau Om Arsha yang menjadi ayahmu bagaimana?” tanya Ragendra serius. Arsha menatap lekat Ragendra, dan mengubah posisinya menjadi berdiri tegak menatap Ragendra. “Om tampan, baik juga, aku suka Om. Tapi, Aku lebih suka Om Dimas,” jawab yang jujur. Ragendra mendengus, dia menatap Kirana kesal. “Ini gara-gara ibunya,” gerutu Ragendra dalam hati. “Tapi Aku ayahmu yang sebenarnya, tanya saja ibu,” ujar Ragendra santai dengan senyuman terbit dari sudut bibirnya. “Hah, benarkah?” Arsha beralih menatap sang ibu lekat. Kirana tampak bingung mendapat pertanyaan dari Arsha, dia menghela napas dalam dan panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Masa ini ayah?” Arsha menatap Ragendra. “Kenapa tak mengenaliku?” lanjut Arsha bertanya. “Karena kita sudah lama berpisah,” jawab Ragendra. “Kenapa ayah pergi lama? Kenapa meninggalkan Aku dan ibu?” ada kekecewaan dari raut wajah Arsha, matanya berkaca-kaca. “Maaf, ayah bekerja terlalu lama dan jauh,” bohong Ragendra. Dia tak mungkin mengatakan kalau ibunya merahasiakan semuanya. “Apa dia Ayahku Bu? Benar Bu?” Arsha menatap ibunya kembali. Tenggorokan Kirana tercekat, dia jadi sulit mengeluarkan kata-kata. Mulutnya bergerak, tapi tak keluar sepatah kata pun. Disaat bersamaan terdengar suara pintu diketuk dari luar. Tok tok tok Kirana dengan cepat berdiri dan menuju pintu utama, lalu membuka pintu. Tampak, seorang pria dan wanita paruh baya, serta seorang pria berusia kisaran empat puluh tahunan berdiri di depan pintu. Pria itu menatapnya dan tersenyum simpul. Kirana membalas senyumannya untuk beramah tamah. “Maaf ada perlu sama siapa ya?” tanya Kirana yang tak mengenali mereka semua. “Ibu dan bapakmu ada Nak Kirana?” ujar Pria paruh baya yang ternyata mengenalinya. Kirana mengangguk sopan, lalu mempersilahkan masuk dan mempersilahkan duduk. Kirana merasa risih dengan pria yang terus saja meliriknya dari tadi. Kemudian, dia mempersilahkan masuk. Arsha yang sudah terbiasa bertemu banyak orang, dia segera mencium tangan mereka satu persatu, kemudian keluar untuk bermain dengan teman yang kebetulan mengajaknya bermain. “Jangan terlalu lama mainnya, terus jangan capek-capek, kan badannya masih lecet-lecet,” ujar Ragendra khawatir. “Iya,” sahut Arsha, dia tak memperdulikan lecet bekas jatuh dari motor kemarin. Padahal lukanya lumayan banyak. Tapi, beruntung ada adik Kirana yang sudah menikah, dan rumahnya tidak jauh dari rumah orangtuanya, datang dan membawa Arsha ke rumahnya, agar main di rumahnya saja. Agar dia bisa memperhatikannya. Kirana, memang sudah izin kepada gurunya untuk tidak masuk sekolah selama dua mingguan atau lebih, dengan alasan pergi ke luar kota untuk pulang kampung. Sedangkan, Ragendra yang berada di sana pun mengangguk sopan tanpa banyak berbicara. Tidak lama kemudian kedua orang tua Kirana datang, pun dengan Kirana yang menyuguhkan minuman dan camilan seadanya. “Eh Pak Ade rupanya jadi datang, saya pikir hanya bercanda saja,” ujar Ayah Kirana dengan ramah. Kemudian bersalaman dengan mereka bertiga. “Masa hal serius bercanda, heheh. Ini kenalkan istri saya Herni dan ini anak sulung saya yang pernah saya ceritakan dua minggu yang lalu, namanya Dani,” ujar Pria yang merupakan teman Ayah Kirana, sesama pedagang di pasar. Ayah Kirana memang sedang tak jualan dulu di pasar sudah beberapa hari ini, karena kurang sehat. Ditambah, kecelakaan kemarin. “Oh iya,” dengan sopan Pak Hadi, yaitu ayah Kirana pun mengangguk. Mereka terlibat obrolan lumayan lama, hingga perkataan Bu Herni yang terus saja membanggakan anak sulungnya membuat Kirana dan juga Ragendra merasa eneg. “Dani ini orangnya baik lo, rajin bekerja, rajin bantuin pekerjaan wanita juga. Terus uang tabungannya di bank juga banyak loh, selain itu banyak sekali wanita yang datang ingin diperistrinya. Tapi, dia tolak semua,” ujarnya penuh kebanggaan. Kirana hanya memutar bola mata malas, lagian manfaatnya apa coba membangga banggakan anaknya seperti itu? Di dunia ini yang baik banyak, yang banyak uang banyak, yang rajin juga banyak, misalnya Ragendra, dia paket komplit! Eh, dia melirik Ragendra malu-malu, karena jadi memikirkan lelaki tampan mantan bosnya itu, yang dulu semasa masih muda pernah dia ehem, ah Kirana jadi malu sendiri mengingat kejadian masa lalu yang memalukan itu! Pipinya sampai merah merona. Secara kebetulan, Ragendra pun menatapnya. Jadilah mata mereka bertemu dengan intens. Kirana segera mengalihkan pandangan ke arah lai, sialnya malah tatapan matanya bersirobok dengan mata Dani. Dani tersenyum kepadanya, ya Kirana balas senyum juga, meski terpaksa. Hal itu tak luput dari pandangan kedua orang tua Dani yang salah mengartikan. “Tuh sepertinya Dani dan Kirana saling suka juga,” ujarnya kesenangan. “Eh, apa?” Kirana terkejut, dia menunjukkan raut bingung dengan celingukan. Menatap semua yang ada di sana dengan dahi berkerut. “Apa bapakmu belum bilang, kalau kami akan datang melamarmu Nak Kirana?” seketika, kepala Kirana mendadak pusing mendengar perkataannya. “Apa!” pekik Ragendra yang ikut terkejut, tangannya mengepal kuat, dia tak terima. “Loh kok pada terkejut begitu? Pak Hadi belum bilang?” tanya Pak Ade kepada Ayah Kirana. “Belum, karena saya tak menyangka kalau Pak Ade serius,” jawab Ayah Kirana. “Ya sudah, kalau begitu kita bicarakan sekarang. Jadi niat kami untuk melamar Kirana, Dani siap menerima Kirana dan anaknya,” ujar Pak Ade dengan serius dan tho the point, tidak mau bertele-tele. Kirana membulatkan mulut, Dia menelan saliva susah payah. Ragendra mengembuskan napas gusar, rasanya tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Dia meremas kepalanya kuat-kuat. “Saya menyukaimu Kirana, saya bersedia menerimamu yang janda itu, juga mau menerima anakmu. Nanti setelah menikah,kita beli rumah dan tinggal denganku saja. Kamu bisa membantuku berjualan di pasar sampai kamu mengandung anakku, oh ya kamu juga bisa mengasuh anakku. Aku punya anak dua dari mantan istriku dulu,” ucap Dani panjang lebar. Mendengar perkataan Dani membuat Kirana semakin tak suka saja dengan pria itu, sok akrab sekali. Mana mengungkit kata janda lagi! Seperti dirinya akan mau menikah dengannya saja, idih ogah. “Saya ini punya sawah yang luasnya setengah hektar, dua punya sepuluh kambing. Kamu akan senang hidup sama saya, ditambah saya ini punya dua jongko di pasar, dan keduanya jualan daging sapi dan kambing, kamu dijamin senang kalau hidup sama saya. Ya boleh dibilang saya ini orang kaya lah,” lanjut Dani dengan angkuh. Kirana mendengus dalam hati, rasanya mual mendengar perkataan orang yang suka menyombongkan dan memamerkan kekayaan! Lihat saja Ragendra, dia pengusaha kaya dengan bisnis yang omsetnya lebih dari ratusan triliun. Tapi, dia tak pernah mendengarnya membicarakan harta kekayaannya! Lagi-lagi, Kirana membuat perumpamaan dengan Ragendra sebagai perbandingannya. Ish, Kirana menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ragendra lagi, Ragendra lagi! Dia melirik Ragendra yang tampak diam dengan muka masam. “Kenapa dia?” pikir Kirana, yang bertanya dalam hati. Kedua orang tua Kirana saling tatap mendengar semua yang dikatakan Dani dan Ibunya. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan menikah dengan Dani?” Ayah Dani bertanya. Jemari tangan Kirana saling meremas. “Tidak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD