Sebelas

1603 Words
“Ma, tadi aku pup di sekolah, dibantu miss,” bisik Bella yang duduk di pangkuan Anggita, karena kursi belakang mobil Raiz sudah penuh. Mobil Raiz merupakan mobil jenis sedan yang hanya berisi empat kursi saja. “Kamu sakit perut?” tanya Anggita terkejut. “Sedikit,” ucap Bella. Mendengar kata sakit selalu membuat Anggita risau, karena memang Bella tidak seperti anak kebanyakan lainnya. Kondisi tubuhnya sangat rentan. “Kenapa?” tanya Raiz sambil mengemudikan mobilnya. “Bella bilang tadi sakit perut, apa karena kemarin dia main pasir ya?” tanya Anggita lebih pada dirinya sendiri. “Cuci tangan dengan sabun kan?” tanya Raiz. “Iya, tapi tetap saja saya khawatir,” ucap Anggita, mengecup kening Bella seolah merasakan suhu tubuh putrinya. Agak sedikit hangat. “Nanti di apartmen kita cek ya,” ucap Raiz menenangkan Anggita. Memiliki teman seorang dokter tentu saja membuat Anggita lebih tenang. Sesampai di basement, Raiz memarkirkan kendaraannya. Dia membantu membawa paper bag Anggita, juga dia membawa snelli miliknya, di mana terdapat stetoskop di saku jas khas kedokteran tersebut. Mereka naik lift bertiga menuju lantai apartmen Anggita. Anggita menekan password kunci rumahnya, lalu pintu itu terbuka. Anggita mempersilakan Raiz masuk. Raiz meminta izin mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia dan Anggita ke kamar Bella. Bella diminta berbaring di ranjangnya. Raiz membungkuk, memeriksa suara dari perut Bella, lalu ke paru-parunya. Dia melihat jam tangannya lalu melepaskan stetoskop dari telinganya. Kembali memasukkan ke saku snellinya. “Bagaimana dokter?” tanya Anggita khawatir, Raiz hanya tersenyum geli. Panggilannya langsung berubah ketika dia memakai jas dokter itu. “Maaf, maksudnya Mas Raiz,” ralat Anggita. Dari segi usia jelas Raiz lebih tua beberapa tahun darinya. “Kondisinya harus benar-benar dijaga, Anggita. Terlebih dia masih proses recovery, dia juga terlihat kecapekan. Besok dia harus istirahat dulu di rumah, obatnya di minum ya,” ucap Raiz. “Aku sakit lagi?” tanya Bella. “Enggak, Bella hanya kelelahan dan harus istirahat, jadi besok mainnya di rumah dulu ya,” tutur Raiz. “Siap pak Dokter,” tutur Bella sambil tersenyum tipis. Raiz mengusap kepala Bella dengan lembut. “Anggita, saya pamit dulu ya,” ucap Raiz. Anggita mengangguk dan mengantar Raiz sampai depan pintu. “Terima kasih ya Mas, atas hari ini. Sudah mengantar saya, mengajak makan di rumah nenek, bahkan mengecek kondisi Bella,” tutur Anggita tulus. “Sama-sama, kalau boleh saya ingin lebih dekat dengan kamu. Tapi saya enggak memaksa, itu hak kamu,” ucap Raiz dengan senyum manisnya. “Boleh, tentu saja,” ucap Anggita, “apa kita sudah boleh pakai kata aku – kamu?” kekeh Anggita. Karena sejujurnya sejak kenal dengan Raiz dia sangat bingung, terkadang Raiz menggunakan kata ganti aku. Terkadang menggunakan saya. Sehingga Anggita harus selalu menyesuaikan dengannya. Mungkin memang dia se-canggung itu? Anggita berusaha memahami karakternya yang menurutnya sulit ditebak. “Itu terdengar lebih baik, aku pamit ya,” ucap Raiz sambil menahan senyumnya sejurus kemudian. Anggita mengiyakan. “Kalau ada apa-apa dengan Bella, jangan segan telepon aku,” tambahnya. Kemudian Raiz pun pergi, dia menunggu lift, ketika pintu lift terbuka, Melissa keluar dari lift bersama anaknya. “Eh ada dokter, selamat siang Dokter,” ucap Melissa dengan senyum lebarnya. “Siang Bu Melissa, saya naik ya,” ucap Raiz menahan lift itu. “Iya silakan,” tutur Melissa yang kini mengerling misterius penuh tanda tanya. Melissa semakin ingin ke rumah Anggita, dia menuntun anaknya dan terus berjalan ke hunian Anggita. Menekan bel dan seketika pintu itu terbuka. “Ada yang main rahasia-rahasiaan nih?” goda Melissa. Anak perempuan Melissa segera masuk ke kamar Bella untuk bermain bersama Bella. “Mau minum?” tanya Anggita mengalihkan percakapan. “Mau dengar rahasia,” jawab Melissa. “Ish,” ujar Anggita, mengambil minuman botol di kulkas dan memberikan pada Melissa. Melissa membuka botol plastik itu dan meneguk isinya. “Jadi?” tanyanya sejurus kemudian. “Apa?” “Tadi? Aku lihat dokter Raiz jemput Bella di sekolah sama kamu,” tanya Melissa dengan mimik wajah penasaran yang tidak dibuat-buat. “Tadi aku habis wawancara, terus ketemu dokter Raiz yang kebetulan mau pulang, dia menawarkan aku untuk ikut. Jadi sekalian saja jemput Bella. Sudah, enggak ada hal lain kok.” “Ah kecewa aku. Dikira hubungan kalian sudah berlanjut. Dia tampan, keren dan kamu juga kan sudah bercerai cukup lama, memangnya itu kamu enggak berkedut saat dekat laki-laki ganteng gitu?” tanya Melissa. “Itu apa?” “Hati maksudnya, ish, ya barangkali yang lain juga ada yang berkedut-kedut manja,” goda Melissa. “Dasar otak m***m,” sungut Anggita membuat Melissa tertawa. Ada sebuah panggilan masuk ke ponsel Melissa. Nomor itu tidak disimpan, namun Melissa menghapalnya. Dia menarik napas panjang dan membisukan panggilan tersebut. “Kenapa? Kok enggak diangkat?” “Enggak penting,” ucap Melissa, meskipun moodnya langsung berubah menjadi tidak baik. Wajahnya tampak muram. “Erika,” panggil Melissa pada putrinya. Gadis kecil itu keluar dengan menenteng satu boneka milik Bella. “Ayo pulang, kamu harus tidur siang,” ucap Melissa sambil berdiri. Erika, putrinya tampak menunduk sedih. “Kamu baik-baik saja? Kalau kamu butuh waktu, enggak apa-apa biar Erika main sama Bella di sini,” tutur Anggita. “Baik-baik aja kok, Bella kan baru sembuh dan butuh istirahat, aku juga agak pusing,” ucap Melissa. Anggita tahu pasti ada yang disembunyikan Melissa. Terkadang dibalik sifat ramahnya, dan dirinya yang sering tertawa, Anggita merasa ada sesuatu rahasia besar di balik kehidupan Melissa. Bahkan sampai kini pun hampir seluruh penghuni apartmen tak ada yang pernah melihat suaminya. Termasuk Anggita. Erika bersalaman pada Anggita kemudian Melissa pun pamit. Ponselnya kembali berdering. Melissa menerima panggilan itu saat mencapai lift. “Bapak enggak sama saya!” ujarnya menahan geram. “Enggak tahu di mana? Sampai kapan pun Erika akan tetap sama saya!” Anggita kemudian tampak sangat marah mengepalkan tangannya. Erika memegang tangan ibunya. Lalu pintu lift terbuka. Panggilan itu terputus, di dalam lift. Anggita menangis memeluk putrinya. “Bunda,” panggil Erika. “Enggak apa-apa Nak, maafin bunda ya,” ucap Melissa sambil tersenyum terpaksa. Erika mengusap air mata di pipi ibunya. Hanya Erika penguatnya selama ini, dan dia tak tahu jika tanpa Erika, apakah dia masih bisa hidup seperti ini? *** Hari ini, Anggita kembali ke kantor redaksi untuk menyerahkan hasil wawancara yang telah diketiknya. Dia juga memberikan alat perekam itu pada Alexa. Pagi ini dia meminta ibunya datang untuk menemani Bella yang memang tidak sekolah seperti anjuran Raiz kemarin. “Ini hasil rekaman, dan alat perekamnya, tugas saya selesai, begitu pula dengan kontrak saya yang telah diputuskan.” Anggita menatap Alexa yang tersenyum puas melihat hasil wawancara kemarin. “Kamu enggak berniat perpanjang kontrak lagi?” tanya Alexa. Anggita menggeleng. “Tidak, terima kasih,” ucapnya. Dalam hati Anggita berkata, bahkan dia tak mau lagi berurusan dengan perusahaan ini. Royaltinya akan tetap dibayar selama karyanya masih ada di perusahaan ini tentu saja. “Baik, jika itu keputusan kamu. Tapi saya penasaran, kenapa orang sesulit Calvin mau diwawancarai oleh kamu ya? Apa kalian saling mengenal sebelumnya?” tanya Alexa. “Urusan saya sepertinya sudah selesai. Saya pamit ya Bu Alexa,” tutur Anggita seraya tersenyum terpaksa, dia pun berdiri, ingin segera berlari dari tempat itu. Alexa tak bisa menahannya, dia hanya membiarkan Anggita keluar dari ruangannya. Lalu di depan pintu ruang kerja Alexa, Anggita melihat Risma. Wanita itu tersenyum pada Anggita yang dibalas senyum tipis. Risma berjalan di samping Alexa. “Maaf saya sudah keterlaluan pada kamu,” tutur Risma. “Enggak apa-apa, Mbak,” jawab Anggita meskipun dia merasa sangat enggan berbasa basi padanya. “Bagaimana kabar putri kamu?” “Baik.” “Pasti kamu masih sangat kesal dengan saya ya?” tanya Risma tak enak hati. “Biasa saja. Saya duluan ya, Mbak. Terima kasih atas kerja sama kita selama ini. Mulai hari ini saya sudah bukan penulis tetap di perusahan ini.” “Iya, Anggita. Saya merasa sangat bersalah, seharusnya saya tidak membuat kamu seperti ini.” “Jangan terlalu merasa bersalah, Mbak. Saya bisa menerima semuanya kok. Lagi pula saya masih bisa menulis di tempat lain, jadi mbak enggak perlu khawatir,” ucap Anggita sambil menekan tombol pintu lift. Lift terbuka dan dia menunduk sopan pada Risma. Meninggalkan lantai itu. Wajah Anggita tampak judes, tidak ramah seperti sebelumnya. Dia bahkan terlihat muak. Berjalan menuju tempat parkir dan mengendarai mobilnya. Sebaiknya dia singgah ke coffee shop sebelum pulang. Dia harus mendinginkan kepalanya setelah ledakan emosi yang ditahannya itu. Di coffee shop, Anggita membuka laptopnya, dia akan mencoba menulis cerita barunya. Dia sudah mengakhiri cerita sebelumnya dan dia akan mencoba peruntungan di tempat lain. Lagi pula n****+ miliknya hanya stuck di pengikutnya saja, tidak bertambah. Dan dia merasa lebih banyak menulis artikel di perusahaan itu dibanding n****+ yang merupakan hobinya. Tempat ini terasa sangat nyaman, ada beberapa mahasiswa yang juga tampak mengerjakan tugas. Sehingga dia lebih tenang jika berlama di tempat ini. Selain memesan es kopi favoritnya, dia juga memesan cemilan. Mochi cantik berwarna warni dengan varian isi berbeda. Sepertinya ide yang terlintas di otaknya memang harus segera ditumpahkan, dia bahkan mendapatkan dua bab hanya dalam waktu kurang dari tiga jam. Di rumah nanti dia akan membeli cover legal dan merapikan tulisannya untuk di posting. Hingga ketika dia membereskan laptopnya dia mendengar nada notifikasi pesan yang masuk. Dari Raiz. “Malam ini free? Ada film horror terbaru, mau temani nonton?” Anggita menorehkan senyum di bibirnya. Sudah lama dia tidak menonton film horor, mungkin dia harus memacu adrenalinenya lagi. “Free, jam berapa?” balas Anggita, dan percakapan berlangsung sampai Anggita memasuki mobilnya. Dia akan bersiap untuk dating malam ini. Boleh kan jika dia mengatakan ajakan nonton dari Raiz, serupa dengan ajakan dating? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD