Calvin terjaga setelah beberapa jam terlelap, dia melihat tangannya yang berada di atas tangan Anggita, memeluk putri mereka. Mata Calvin tampak redup, memandang wajah Anggita yang tertidur sangat pulas. Wajah yang dirindukan di setiap malam panjangnya. Sayangnya wanita keras kepala itu jika sudah membuat keputusan sangat susah menggoyahkannya.
Calvin sudah mencoba menyibukkan diri beberapa tahun ini, fokus pada perusahaan yang kian sukses, namun dia sering merasa hatinya yang kosong. Tubuh Anggita bergerak, dia menarik tangannya dan berbaring terlentang. Calvin hanya mampu memandangnya di bawah lampu temaram.
Sebentar lagi pagi menjelang, Calvin memutuskan turun dari kasur. Sebaiknya dia renang agar otaknya jernih. Bella tertidur sangat lelap dan nyaman. Calvin pun keluar dari kamar dengan membawa handuknya.
Di halaman belakang rumah terdapat kolam renang, airnya tentu saja sangat jernih. Dia menganti celananya dengan celana renang, membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka. Dia melakukan pemanasan sebelum menceburkan diri ke kolam, jika tidak dia bisa kram.
Setelah pemanasan, dia pun bersiap melompat. Tangannya mengerucut, dia pun melompat ke kolam dan berenang dengan gaya bebas. Air dingin seolah tak menghambat gerakannya. Dia mendapat beberapa kali putaran, hingga saat dia mengangkat wajahnya, dia melihat Anggita berjongkok di pinggir kolam, dia memegang air itu. Matahari bahkan belum terbit, langit masih tampak gelap.
Anggita memegang air yang dingin itu, dia bergidik. Bagaimana bisa Calvin berenang santai di dalam air yang sangat dingin? Anggita pun berdiri, rupanya saat Calvin melompat tadi, mengakibatkan adanya genangan air di tepian kolam. Anggita yang berniat kembali itu pun terpeleset, dia tercebut ke dalam kolam dengan ketinggian dua meter. Anggita tidak siap, jelas saja! Meskipun dia bisa berenang, namun terjatuh tiba-tiba membuatnya panik.
Calvin bergegas menghampirinya dengan berenang, memacu tubuhnya. Lalu dia menarik Anggita yang semakin turun ke bawah. Dia memeluk pinggang Anggita dan membawanya ke kolam yang lebih dangkal. Anggita berhasil berdiri dan mengeluarkan kepalanya dari dinginnya air kolam renang. Dia mengisi paru-parunya dengan udara.
“Kamu kan bisa renang?” tanya Calvin seraya memegang pinggang Anggita.
“Bisa, tapi enggak siap kalau tiba-tiba,” ujar Anggita terengah. Dia bersandar di dinding kolam renang seraya menyeka wajahnya. Rambutnya jelas saja basah dan berantakan. Calvin menatap wajah Anggita, tubuhnya yang masih berada di kolam. Dan Calvin menelan salivanya ketika menyadari bahwa gunung kembar sang mantan istri itu tercetak jelas dibalik kaosnya. Calvin melangkah maju menepis jarak di antara mereka.
“Mau apa?” tanya Anggita. Calvin menelusupkan tangannya ke balik punggung Anggita dan memeluknya, dia mengecup ceruk leher Anggita.
“Please, stop,” ujar Anggita, namun kecupan Calvin menimbulkan gelenyar menggelitik ke sekujur tubuhnya. Tangannya yang kekar memeluknya, dan satu tangannya kini menelusup dibalik kaosnya, berusaha meraih benda yang membuatnya berhasrat.
“Euhm,” lenguhan lolos dari bibir Anggita ketika jemari itu berhasil memilin puncak gunung kembarnya. Calvin mengecup leher Anggita dengan sangat rakus. Anggita bisa merasakan kejantanan sang suami menegang dibalik celana renangnya, yang berada tepat di depan miliknya, tubuh Calvin terus mendesaknya hingga dia merasa benar-benar menempel. Anggita memejamkan mata, dia terbuai dengan gerakan Calvin, namun sejenak kemudian dia seolah tersadar. Dia mendorong Calvin menjauh. Calvin mundur satu langkah.
“Jangan lakukan itu lagi!” ancam Anggita.
“Kenapa? Aku yakin kamu juga membutuhkannya kan?Apa kamu enggak merindukannya?” tanya Calvin dengan tatapan protes.
“Enggak!” ujar Anggita seraya membalikkan tubuh, bersiap naik ke atas kolam.
“Demi Bella Git, ayo kita mulai hubungan ini sekali lagi, kali ini dengan lebih baik,” ucap Calvin memelas. Anggita mengabaikan ucapannya dan naik ke atas, dia menarik handuk yang semula dibawa Calvin dan diletakkan di kursi itu.
“Aku mau pulang,” ujarnya, lalu dia meninggalkan Calvin yang memukul air dengan kasar!
Anggita merasa degup jantungnya berpacu dengan cepat, dia yakin itu hanya respon alami dari tubuhnya karena sudah lama tidak terjamah. Bukan cinta! Karena Anggita yakin dia sudah mematikan rasa itu sejak lama!
Anggita menemui Ria, wanita itu terkejut melihat Anggita yang tampak basah, hanya berbalut handuk menutupi kaosnya.
“Bu?” tanya Ria.
“Baju saya yang kemarin sudah bisa dipakai kan?” tanya Anggita tanpa berbasa – basi.
“Sudah Bu, saya ambilkan ya,” tutur Ria. Anggita menunggu dengan tubuh gemetar kedinginan. Tak lama Ria memberikan baju yang kemarin sempat dia cuci dan keringkan.
“Bapak butuh handuk, tolong bawakan ya. Terima kasih bajunya,” tutur Anggita yang langsung meninggalkan Ria menuju kamar Calvin.
Di kamar Calvin dia segera mandi, Bella masih tertidur pulas seolah berada dalam pelukan hangat. Setelah berganti pakaian, Anggita membereskan barangnya. Dengan perlahan dia naik ke ranjang dan memeluk Bella berusaha membangunkannya. Gadis mungil itu mengulet dan menatap Anggita.
“Pagi, Ma.” Dia menoleh, mengedarkan pandangan ke sekitar, “Papa mana?” tanyanya.
“Papa sedang renang, kita pulang ya, mama harus pergi ke kantor, papa juga harus kerja,” ucap Anggita. Bella tampak mengerucutkan bibirnya, Anggita menatapnya penuh permohonan. Bella kemudian mengangguk meski bibirnya masih mengerucut sebal sekaligus kecewa. Dia pikir dia akan tetap tinggal di sini bersama ibu dan ayahnya. Namun dia salah.
Bella kemudian dimandikan Anggita dengan air hangat, dia merapikan Anggita bertepatan dengan Calvin yang masuk ke kamar, dia membelit pinggang dengan handuk. Tatapan Anggita mengarah ke tubuh Calvin. Dia kemudian mengalihkan pandangan ke rambut Bella yang disisirnya.
“Aku dan Bella akan pulang,” tutur Anggita.
“Ya,” jawab Calvin dengan nada lemah, “sarapan dulu,” ujarnya sejurus kemudian. Bella menatap kedua orang tuanya bergantian. Anggita mengiyakan hingga Calvin kemudian masuk ke kamar mandi.
Anggita dan Bella sudah turun dan menuju meja makan, rupanya makanan sudah tersedia di pagi hari ini. Mereka menunggu Calvin yang sedang mandi.
Tak berapa lama Calvin pun menuju ruang makan, duduk di kursi yang biasa dia gunakan. Dia tidak sendiri kali ini, namun bersama dengan putri dan mantan istrinya.
Calvin tampak tampan dengan kemeja kerjanya, dia sudah mengenakan dasinya dengan sangat rapih. Sementara jasnya disampirkan di sandaran kursi.
“Ayo Bella makan, kamu juga,” tutur Calvin tanpa melirik sedikit pun ke Anggita yang menatapnya. Anggita mengangkat bahunya acuh. Setelah sarapan, Calvin menyempatkan diri mengantar Anggita dan Bella, dia duduk di belakang, di mobil mewah multi purpose vehiclenya yang berwarna hitam.
Anggita tahu Calvin memang kekanakkan jika merajuk, lihat saja dia duduk bersebelahan dengan Bella, sementara Anggita duduk di belakang.
Di bagian depan samping sopir pribadinya sudah duduk asistennya yang ikut mengantar mereka.
Calvin bahkan menggendong Bella sampai ke depan pintu apartmen Anggita, dia hanya berdiri di depan pintu ketika menurunkan Bella dari gendongannya. Calvin berjongkok, mensejajari tinggi dengan putrinya.
“Papa kerja dulu ya, hari sabtu nanti kita main bersama lagi. Oke?”
“Sama mama?” tanya Bella, mendongak, melihat ke arah sang ibu yang berdiri di belakangnya, tangan Anggita berada di kedua bahu Bella. Anggita mengatupkan bibirnya. Calvin melirik Anggita dan mengalihkan pandangan ke putrinya.
“Kamu pikirkan dulu ya kita mau main ke mana? Papa siap ke mana pun itu,” tutur Calvin yang kemudian mengecup kening putrinya. Bella bersandar di tubuh ibunya dan mengangguk dengan mata sendu. Calvin pun berdiri, dia melambaikan tangan pada Bella dan meninggalkan tempat itu. Bella kemudian dihela masuk oleh Anggita, Anggita masih melihat punggung Calvin yang kemudian menghilang di balik dinding. Dia kini harus bersiap untuk ke kantor redaksi.
***
Calvin melihat tab miliknya, bersandar di sandaran kursi mobil sambil melihat agendanya. Sementara mobil melaju membawa ke perusahaan yang dia pimpin.
“Pak, ini permintaan ketiga dari redaksi yang ingin meliput bapak dan menjadikan bapak sebagai cover dari majalah bisnisnya,” tutur Hendra, asisten Calvin.
“Siapa pemimpin redaksinya?” tanya Calvin.
“Namanya Alexandria, sepertinya kali ini bapak harus menerimanya karena progress untuk perusahaan akan sangat baik jika bapak bisa lebih menunjukkan diri,” ucap Hendra percaya diri.
“Alexandria? Nanti saya pikirkan dulu,” ucap Calvin malas, dia melupakan nama itu padahal belum lama dia bertemu dengannya. Dia memang paling malas jika harus melakukan wawancara, atau disorot oleh kamera. Jika tidak sangat terpaksa dia sangat enggan berfoto.
***
Di siang hari ini, Anggita berada di kantor redaksi, dia harus menyelesaikan urusannya, biarlah dia pakai tabungan milik Bella dahulu untuk menutupinya, nanti dia akan menggantinya.
Anggita menghampiri meja resepsionist, wanita cantik itu menyapanya dengan sopan.
“Mbak Anggita ya?” tanyanya.
“Iya Mbak, saya mau bertemu dengan mbak Risma,” ucap Anggita. Resepsionist itu membuka bukunya, lalu dia menatap Anggita.
“Maaf mbak, tapi bu Risma bilang mbak harus bertemu dengan pemimpin redaksi yang juga merupakan pemimpin perusahaan ini,” tutur resepsionist itu seraya menggigit bibirnya.
“Apa? Bertemu pemimpin?” Anggita terhenyak, apa separah itu masalahnya sampai dia harus bertemu pemimpin?
“Iya dengan ibu Alexandria. Kebetulan bu Alexa sedang ada di ruangannya saat ini, beliau baru akan keluar satu jam lagi.”
“Baiklah, tolong atur ya Mbak,” ucap Anggita pasrah. Resepsionist itu tampak menelepon asisten dari Alexandria, kemudian dia mengiyakan dan memberi tahu pada Anggita untuk langsung ke ruangan atasan tersebut.
Anggita pun menuju ruangan yang dimaksud, sekeluar dari lift dia menarik napas panjang. Dia tak menyangka masalahnya bisa serunyam ini.
Anggita dipersilakan masuk ke ruangan orang nomor satu di perusahaan ini, selama ini dia hanya tahu namanya tanpa tahu rupanya, lagi pula dia memang sangat jarang ke kantor ini. Toh semua pekerjaannya bisa dilakukan dari rumah.
Tampak seorang wanita cantik memakai baju terusan berwarna putih dengan lengan terbuka itu duduk di kursi kebesarannya.
“Silakan duduk,” tutur wanita bernama Alexandria itu, Anggita duduk di sofa, kemudian Alexandria pindah duduk ke sofa di seberang Anggita.
“Anggita, salah satu penulis yang diunggulkan di perusahaan ini,” tuturnya, entah mengapa Anggita merasa terintimidasi dengan nada bicaranya? “Sayangnya, saya mendengar penulis ini membuat perusahaan merugi,” imbuhnya dengan senyum sinis.
“Maaf, Bu, saya tidak menyangka akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan,” ucap Anggita seraya menunduk, merasa bersalah.
“Pantas saja jika Risma sangat kecewa, dia telah kehilangan wajahnya karena menurutnya kamu adalah penulis unggulannya, namun kamu sudah mencoreng wajahnya dengan membatalkan artikel di last minute. Kamu sudah tahu nominal yang harus kamu bayar kan?”
“Ya, saya tahu dan saya siap menanggung kerugian,” ucap Anggita seraya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat senyum miring dari wajah Alexandria.
“Kerugiannya cukup besar, tapi saya bisa memutihkannya. Kamu tidak perlu membayar apa pun lagi.”
“Saya yakin ada syarat dan ketentuannya kan?” tutur Anggita, mulai mengikuti permainan kata dari Alexandria.
“Ya kamu memang pintar. Tidak sulit, saya hanya ingin kamu mewawancarai salah satu pengusaha bernama Calvin Dimitri Ghofar,” ucap Alexandria, Anggita tentu mengenal nama itu. Bahkan semalam dia tidur bersamanya. Dia yakin orang yang dimaksud adalah mantan suaminya, ayah dari putrinya.
“Jika kamu tidak mengenalnya, saya akan mengirim profil singkat tentangnya. Dapatkan wawancara darinya, draft pertanyaan akan dikirimkan ke kamu via email, jika kamu mendapatkannya kamu akan terbebas dari ganti rugi, kamu tidak akan terikat kontrak lagi di sini, kamu bisa menulis sesukamu dan memilih topik yang kamu mau. Mudah kan?” ucap Alexandria tersenyum miring, dia hanya ingin menghukum Anggita atas perbuatannya yang semena-mena, seolah menggampangkan urusan.
Anggita tampak berpikir sejenak, lalu dia mengangguk. Dia hanya harus merayu Calvin untuk melakukan wawancara dengannya kan? Daripada dia memakai uang putrinya. Tak akan sulit baginya, pikir Anggita.
“Baik, saya bersedia,” tutur Anggita yakin. Alexandria tersenyum miring dan mengangkat sebelah alisnya.
“Oke deal, saya tunggu kabar baiknya, bicaralah tentang teknis dengan asisten saya,” tutur Alexandria. Anggita berdiri dan mengangguk.
“Permisi,” ucapnya seraya meninggalkan ruang Alexandria. Dia kini harus merendahkan egonya, demi membayar kerugian yang dia timbulkan. Dia yakin dia bisa.
***