Satu

1665 Words
Suasana gedung pertunjukan di sebuah taman kanak-kanak swasta bertaraf internasional itu telah sangat ramai, hari ini adalah hari acara pertunjukkan bakat, di mana seluruh murid taman kanak-kanak maupun play group menampilkan bakat mereka. Ada yang menari, menyanyi atau berakting. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang duduk gelisah di kursinya. Wanita bernama Anggita atau biasa disapa Gita itu terus melihat ke pintu keluar seolah menunggu seseorang. Usianya tahun ini dua puluh enam tahun. Dia bekerja sebagai penulis n****+ dan juga mengisi berbagai artikel, baik di blog dalam maupun luar negeri. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, “Mas Ex,” tertulis kontaknya. “Kamu di sebelah mana?” tanya seorang di seberang sana setelah Anggita menerima panggilannya. Anggita melihat ke pintu masuk, tampak sesosok pria menjulang tinggi dengan setelan jasnya. “Arah jam sembilan,” tutur Anggita seraya mengangkat tangannya, dan pria itu melihat ke arahnya. Panggilan pun di putuskan. Anggita terus menatap pria yang pernah menikah dengannya lima tahun lalu, namun hubungan mereka berakhir dua tahun lalu. Pria tersebut adalah pemimpin sebuah perusahaan ternama. Ada faktor yang membuat mereka berpisah. Pria itu masih terlihat tampan dan menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada. Berbeda dengan penampilan Anggita yang sederhana. Anggita mengambil tasnya di kursi sampingnya, dia sengaja meletakkan tas di sana agar tidak ada yang menempati kursi itu. “Sudah tampil Bella?” tanya pria tersebut. Putri mereka berusia empat tahun dan sekolah di tempat ini. Meskipun Bella diasuh oleh Anggita, namun untuk segala biayanya masih dipenuhi oleh Calvin. Sama seperti namanya yang berarti bersinar, Calvin memang tampak bersinar di mana pun dia berada. Calvin berbeda usia empat tahun di atas Anggita. Dia mewarisi perusahaan ayahnya. Ayahnya telah meninggal tak lama setelah dia menikah. “Sebentar lagi,” ucap Anggita. “Good,” tutur Calvin, mengeluarkan kamera digital untuk merekam putri semata wayangnya itu. Kemudian pembawa acara memanggilkan nama kelompok taman bermain. Lima orang murid memasuki panggung dengan berpakaian ala princess. Satu gadis kecil cantik dengan rambut panjang dan mata besar mengedarkan pandangan dan Anggita mengangkat tangannya. Dia lah Bella, tersenyum lebar ketika menyadari kedua orang tuanya hadir di acara hari ini. Dia bahkan melonjak senang, membuat para penonton tertawa akan tingkahnya. Lagu baby shark kemudian diputar, dan kelima anak bergaya princess itu menarikan lagu baby shark, dilanjutkan dengan theme song Frozen. Calvin terus tersenyum dibalik kameranya, putrinya tampak sangat cantik dan lincah. Tidak akan ada yang menyangka putrinya itu menderita penyakit imunitas jika melihatnya sekilas. Ya Bella tidak bisa makan dan minum sembarangan atau hal itu akan memicu penyakitnya. Setelah pertunjukkan kelompok Bella berakhir, Bella tak kuasa untuk tak melompat ke kursi penonton dan mencari orang tuanya, dia segera mendekap erat ayahnya yang memang sangat jarang bertemu dengannya karena kesibukan. “Papa datang?” tanyanya dengan suara cadel. Calvin mengecup pipi putrinya itu dan mengangguk. “Papa datang langsung dari Singapore lho, untuk putri papa tercinta,” tutur Calvin dengan senyum lebar. Bella memeluk leher Calvin erat. “Papa, itu apa?” tanya Bella melihat kamera digital ayahnya. “Ini kamera untuk mengambil gambar dan video,” ucap Calvin. “Papa bisa foto kita, aku mau punya foto mama dan papa untuk di kamar,” ucap Bella memelas. Calvin menoleh pada mantan istrinya, Anggita hanya mengangguk meski tampaknya agak berat. Perebutan hak asuh dua tahun lalu membuat hubungan mereka memburuk. Hingga akhirnya Calvin menyerahkan hak asuh Bella padanya dengan syarat Anggita harus tinggal di apartmen pemberiannya, menerima mobil dan tunjangan untuk Bella dan segala hal tentang sekolah dan kesehatan Bella harus dirundingkan bersama. Barulah setelah itu sidang putusan berakhir setelah perdebatan yang alot. Calvin mengarahkan posisi kamera ke arah mereka, Bella yang duduk di pangkuannya memeluk leher Calvin dan Anggita meminta mereka menempelkan pipi mereka ke pipi Bella dan tersenyum lebar. Beberapa foto di ambil, setelahnya Anggita menjauh. Calvin hanya melirik dari sudut matanya saja. Wanita itu memang keras kepala. Dia sangat mengetahuinya. “Papa kapan kita tinggal bersama lagi?” tanya Bella. Selalu pertanyaan itu yang dikeluarkan ketika bertemu Calvin. Memang sampai saat ini Anggita dan Calvin tidak mengatakan bahwa mereka telah berpisah. Bella masih terlalu kecil untuk menerima arti perceraian. “Nanti ya, sekarang papa masih sibuk,” ucap Calvin berbohong. Anggita selalu tak suka dengan pembahasan ini, acara berakhir satu jam kemudian, Calvin mengajak Bella dan Anggita makan siang di hotel ternama. Bella sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Sejujurnya Calvin tidak suka dengan gaya pakaian yang dipilih Anggita, celana jeans dengan kaos sama seperti pakaian Anggita. Dia lebih suka Bella memakai pakaian perempuan seperti tadi. Namun dia tak mau merusak suasana. Tidak mudah mengajak keduanya makan bersama seperti ini, karena biasanya Anggita selalu menolak dan hanya mengirim Bella saja. Calvin duduk di samping Bella, membantu memotong makanan untuk putrinya itu, sementara Anggita di hadapannya, makan dalam diam. Sesekali Calvin meliriknya namun Anggita acuh. “Bagaimana sekolahnya seru?” tanya Calvin memecah kesunyian. “Seru papa, aku belajar english sama miss, katanya kalau aku bisa english nanti aku bisa ikut papa kalau papa ke luar negeri,” tutur Bella dengan suaranya yang lucu. “Iya dong pasti, sudah bisa kata-kata apa saja?” “Banyak, aku tahu A for Apple, B for Boy,” ucap Bella cadel. “Great, sekarang makan makanan kamu, makanan di sini sudah pasti bersih dan sehat,” ucap Calvin. “Jadi maksud kamu makanan yang aku siapkan setiap hari itu enggak bersih dan enggak sehat?” timpal Anggita. “Aku enggak bicara seperti itu ya?” ucap Calvin santai. Anggita mendengus. “Makannya jangan lama-lama Bella, mama ada deadline sore ini,” tukas Anggita. “Mama, aku mau ikut papa boleh?” tanya Bella takut-takut. “Papa harus kembali ke kantor. Enggak bisa,” seloroh Anggita. Calvin tidak bisa mengatakan iya atau tidak, dia tidak mau berdebat di depan putrinya. “Nanti saat papa libur, papa akan ajak Bella main ya, sekarang papa harus kembali ke Singapore untuk bekerja lagi,” ucap Calvin dan memang benar. Meskipun bisa saja dia tak perlu kembali lagi ke negara itu. “Jadi papa enggak bisa main sama Bella hari ini?” tanya Bella dengan sorot mata sendunya. Calvin sangat sedih melihatnya, dia mengambil Bella dan mendudukan di pangkuannya, menyuapi Bella. “Papa sayang sama Bella, papa pasti akan luangkan waktu untuk Bella, tapi tidak sekarang ya, papa ada pekerjaan penting. Bella main sama mama dulu,” tutur Calvin. Bella hanya mengangguk menuruti meski air matanya sebentar lagi jatuh. Bahkan saat Anggita mengambil mobilnya, Bella tetap tak mau melepas pelukan Calvin. Tadi mereka ke tempat ini naik mobil Bella yang dibelikan oleh Calvin. Selain tidak bisa makan dan minum sembarangan, Bella juga tidak bisa terkena air hujan atau renang di kolam renang umum, karena bisa membuatnya sakit. Makanya Calvin berkeras agar Anggita mengikuti kursus menyetir dan hanya boleh membawa Bella dengan kendaraan pribadinya. Anggita menghentikan mobil di depan lobby tepat di hadapan Calvin, seorang petugas keamanan membantu membuka pintu penumpang di belakang, ada car seat untuk Bella. Saat Calvin meletakkan Bella di car seat, Bella tak mau melepas pegangannya. “Bella, papa harus kembali kerja!” sentak Anggita. “Pelan-pelan bicaranya kan bisa Git,” tutur Calvin. “Aku mau papa!” tangis Bella yang sejak tadi ditahan kian pecah. “Bella lihat papa, papa janji hari minggu ini papa ajak Bella jalan-jalan. Setuju? Kalau sekarang Bella enggak lepas papa, papa enggak akan ajak Bella jalan nanti,” ucap Calvin. Perlahan Bella melepas pegangannya, Calvin mengaitkan sabuk pengaman car seat itu. “Anak pintar,” ucap Calvin seraya mengusap air mata Bella. Anggita melengos, tak mau menatap pemandangan itu. Bella masih sesekali terisak, Calvin sangat tidak tega namun dia tahu Anggita sangat keras kepala dan tak bisa dibantah. Dia pun menutup pintu itu, membiarkan mobil Anggita melaju meninggalkannya. Calvin kemudian menelepon sopir pribadinya untuk meminta dijemput. Bella terus saja menangis di dalam mobil, dia meneriakkan nama papa. “Bella stop!! Atau kamu bisa muntah jika terus menangis!!” sentak Anggita. Bukannya berhenti, tangis Bella kian keras. “Bella enggak dengar mama!!” ujar Anggita lagi. Bella menahan tangisnya mendengar suara ibunya yang meninggi. Dia menutup mulutnya ketakutan. Anggita selalu tidak suka dengan hal berulang seperti ini. Sesampai di parkiran apartmennya, Anggita membuka car seat Bella. Dan gadis kecil itu meluncur turun, berlari menuju pintu masuk. Anggita sangat sebal. “Hati-hati Bella!” Bella acuh, dia berdiri di depan pintu masuk di basement itu, petugas keamanan membuka kan pintu dan menahan pintu tersebut ketika Anggita memasukinya dan berterima kasih. Bella sudah menekan lift ke lantai atas. Berdiri berjauhan dari ibunya ketika lift tersebut terbuka. Tangannya masih terlipat kesal. Bahkan dia terus berlari ketika lift kembali terbuka saat mencapai lantai yang dituju, menuju apartmennya. Anggita yang membawa tas besar berisi perlengkapan Bella itu hanya mengurut pelipisnya. Bella mencoba menekan password pintunya namun pintu tersebut terbuka sebelum selesai menekannya seorang wanita usia paruh baya membukanya dan tersenyum lebar. “Nenek!!!” teriak Bella, memeluk ibu dari Anggita itu dan kembali menangis. “Ada apa ini, cucu nenek kok pulang langsung nangis?” tanya ibu Anggita seraya menggendong cucunya, Anggita memasuki apartmennya dan menggeleng. “Biasa tiap habis ketemu papanya juga seperti itu,” seloroh Anggita. “Memangnya kalian tidak bisa berdamai Git? Bersatu lagi? Kalian juga masih sama-sama sendiri,” tutur ibunya. “Bu, cukup!” ujar Anggita kesal. Ibunya adalah ibu tunggal yang merawatnya seorang diri dari kecil. Dia sudah memiliki rumah sederhana yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit dengan mobil. Tahun ini ibunya pensiun dari tempat kerjanya yang membuatnya lebih sering main dengan Bella sekaligus menemani Bella jika Anggita perlu keluar. “Aku mau papa, Nek,” isak Bella. “Cup cup nanti nenek telepon papa ya, ayo Bella tidur dulu pasti capek,” tutur ibu Anggita seraya membawa Bella ke kamarnya. Ibu Anggita membuatkan s**u di botol untuk Bella dan membawanya ke kamar, dia melihat Anggita yang sudah berkutat dengan laptop di depan ruang televisi. Dia hanya menarik napas panjang. Menyesalkan mengapa pasangan suami istri itu harus berpisah di usia pernikahan yang masih seumur jagung itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD