Aku mengeraskan suara headset ku saat ibu masuk ke dalam kamar. Sembari bermain game di laptop, aku melihat dari sudut mataku, ibu sedang menggelengkan kepalanya prihatin.
"Mel!"
Ibu menarik headset ku sambil menepuk kepalaku lembut.
"Udah mandi?"
"Udah," jawabku irit.
"Udah salat?"
"Kan libur buk," jawabku, masih fokus ke layar laptop.
Setelah kejadian tadi, aku langsung tidak mood untuk melakukan apapun. Termasuk turun untuk makan malam atau bahkan membalas pesan mas Adi yang terus memintaku untuk membalas pesannya. Kata orang, aku cepat sekali berubah moodnya saat sedang datang bulan. Meskipun ada hal-hal yang kusukai, jika moodku buruk karena sesuatu hal, maka semua itu tidak ada artinya. Tidak ada obatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sejam atau dua jam menenangkan diri hingga moodku kembali. Seperti yang kulakukan sekarang ini.
Ibu cengengesan, "Oh iya. Ibu lupa. Terus..nggak ke bawah gitu?"
Aku menoleh ke arah ibu. Mengeryitkan dahi karena bingung dengan pertanyaan ibu barusan.
"Ngapain Mela ke bawah? Tamunya udah pulang?"
"Belom sih. Kamu nggak mau kenalan dulu gitu sama —"
"Iish nggak mau buk. Mau ngapain? Mela masih dongkol sama dia," protesku. Keras.
Ibu menepuk bahuku sambil memijit bahuku. Tumben. Pasti ibu ada maunya nih.
"Ke bawah gih. Nak Aiman mau ngomong. Dia mau minta maaf soal tadi."
Tadi ibu panggil dia pak. Sekarang jadi nak. Memangnya dia berubah jadi Conan apa yah? Kembali menyusut dari om-om menjadi bocah? — gumamku.
Aku semakin curiga, "Nggak mungkin cuma karena itu. Pasti ada hal lain. Iya kan buk?"
Ibu gelagapan. Ia bergeser dari sisiku sambil menyapukan punggungku lembut.
"Nggak ada kok Mel. Ibu disuruh bapakmu ini. Kamu turun yah. Nanti bapak marah, loh."
Tak lama ibu keluar dari kamarku. Meninggalkan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul dibenak ku. Ada apa sampai bapak juga ikut campur? Apa mentang-mentang tamunya polisi jadi bapak mau minta aku kenalan dengan dia?
Karena tidak mau menambah dosa apalagi tak mendapat restu ke Jakarta karena membangkang, akupun menuruti permintaan ibu untuk turun ke ruang tamu. Begitu sampai di sana, aku tak lagi melihat batang hidung pria tadi. Mungkin sedang di luar karena aku bisa mendengar suara ibu dan bapak di teras. Aku melesat ke dapur dan bermaksud pergi ke kamar mandi. Pintu tidak terkunci jadi kuasumsikan bahwa tak ada orang di dalam. Kamar mandi memiliki dua akses, satu lagi adalah pintu menuju wilayah buang air besar. Sedangkan di luarnya area mesin cuci dan bak mandi besar. Sampai di depan bak, aku segera menurunkan celanaku sampai seseorang berdeham di belakang punggungku.
Aku berbalik dengan jantung yang berdebar kencang. Kata ibu, di belakang kamar mandi ini memang angker karena ada sumur tua yang dulu buyut buyutnya buyutku pernah masuk ke dalam sumur dan tewas. Katanya lagi arwahnya sering ada di dalam kamar mandi. Selama ini aku tak mau percaya dengan cerita - cerita legenda seperti itu, tapi kali ini... aku bahkan baru saja mendengar suara air dan dehaman seorang pria di belakang.
Perlahan aku mencoba menoleh.
Begitu aku berbalik, seorang pria tinggi tampak mematung di tempatnya. Aku merasa pernah melihatnya. Dan benar saja..dia si tamu bapak!
"Aaarrrrghhh!"
Pria itu..pria itu ada di dalam WC dan melihatku sedang —
"Tidaaaak!"
#
"Saya minta maaf pak. Itu tadi —"
"Kalau pakai kamar mandi dikunci dong!" tukasku. Memotong penjelasannya pada bapak.
"Mela!"
Ibu mencubit pahaku. Selama kami berkumpul di ruang tamu dan membicarakan hal ini, tak ada siapapun yang membelaku. Semua menyalahkan ku karena main masuk saja ke kamar mandi. Padahal sudah jelas kalau ke kamr mandi harusnya dikunci. Bukan malah sebaliknya. Kenapa sih...semua jadi kacau karena om - om sompret ini?
Mulutnya saja yang bilang maaf dan merasa bersalah. Aku yakin dia tidak semenyesal itu!
"Bapak nggak mau bahas ini lagi deh pokoknya dua-duanya saling minta maaf saja," pesan si bapak yang berharap aku menerima uluran tangan Om m***m itu.
Aku masih mempertahankan tekadku untuk tidak memaafkan. Sampai ibu menyadari sikap anaknya ini. Jadi ibu menarik tanganku agar menyambut uluran tangan Aiman yang sudah kuanggurin sejak tadi.
Maaf pak. Saya sudah kehilangan respect dengan anda. Kupanggil dia nama tanpa embel-embel apapun jika bicara di dalam hati.
"Nggak baik musuhan —" tutur ibu, maksa.
Om terkampret ini tersenyum datar lalu berucap maaf.
"Saya minta maaf. Untuk kejadian tadi dan yang baru saja terjadi. Maafkan saya, Mel."
Harus kuakui, sorot matanya tampak menyesal. Tapi aku tak bisa dibohongi. Aku yakin dia tak sepenuhnya tulus.
Aku berdeham lalu cepat-cepat menarik tanganku. Entah aku sudah memaafkannya atau tidak, yang jelas aku ingin hapuskan semua ingatan buruk ini.
"Kalau begitu, saya ijin pamit pak, buk."
"Kok buru-buru banget," cegah ibu yang langsung mendapatkan tatapan sinis dariku. Tapi namanya juga ibu, mana peduli.
"Iya..takut yang di rumah nungguin."
Baguslah. Akhirnya dia ingat juga untuk pulang! - dengusku dalam hati.
Bapak dan ibu selesai berbasa-basi, Aiman pun melangkahkan kakinya keluar rumah. Dan tentu saja, aku tak ikut sibuk mengantarkannya ke depan rumah.
Saat aku sibuk membereskan bekas hidangan di atas meja, tak lama suara mobilnya berderu. Itu tanda bahwa pak polisi tadi sudah beranjak pergi meninggalkan rumah ini. Aku berdoa semoga saja tidak bertemu dengannya lagi. Kalaupun dia datang, sebisa mungkin untuk tidak bersinggungan dengannya. Biarlah aku mendekam di kamar sampai dia pulang. Aku tak Sudi bertemu muka dengannya yang telah membuat preman gang manis ini merasa dipermalukan.
"Nggak makan Mel?" tegur ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.
"Nanti buk."
"Kasihan itu nak Aiman. Dia bingung mau titipin anaknya kemana pas dia dinas besok."
Aku mendengus tanpa diketahui ibu. Aku pura-pura tak peduli dengan mengalihkannya pada kue basah yang tak tersentuh oleh tamu tadi. Kenapa mesti dikasihani? Di bagian mana pria itu harus dikasihani?
"Lah kan ada biniknya," ujarku spontan.
"Udah nggak ada. Dia kan duda."
Aku ber-oh ria di dalam hati. Duda-duda tapi nyebelin. Kudoakan tak ada yang mau dengannya!
"Jadi tadi dia datang mau bilang titip anaknya sama kamu. Dia bilang —"
Spontan aku menjatuhkan piring melamin yang kuambil dari rak piring. Cobaan apa pula ini? Jadi ini kenapa ibu dan bapak mesam mesem sejak tadi?
"Kok ambil keputusan sendiri sih buk? Memangnya dia siapa pake nyuruh Mela jagain anaknya?!" protesku yang langsung disahut oleh bapak yang juga ikut datang masuk ke dapur mengambil piring.
"Dengerin ibumu selesai ngomong dulu."
"Bapak juga setuju?"
"Cuma dua hari Mel. Asistennya pulang kampung karena orang tuanya ada yang kena covid. Di sini dia nggak ada saudara. Jadi titip ke sini karena anaknya yang minta ke sini."
Aku semakin mendelik. Kapan pula aku bertemu dengan anaknya? Bah! Tapi sedetik kemudian otakku bekerja. Sekarang aku tahu siapa anak yang ibu maksud.
"Anaknya pak Aiman yang kemarin nyasar ke sini?"
"Nah itu tahu! Biarin aja Mel di sini. Kasihan juga liatnya."
"Nggak ah! Ini nggak adil! Kenapa nggak minta pendapat Mela dulu! Pokoknya Mela nggak mau! Titik."
Lagi..moodku memburuk. Aku pikir ini childish. Tapi terserahlah! Aku hidup di negara demokrasi. Pastinya aku berhak bersuara! Tidak akan kubiarkan diriku ditindas semena-mena. Apalagi oleh Om sompret itu!
Tapi itu kata-katku kemarin malam. Begitu bocah itu datang ke rumah ke esokan harinya, aku malah lupa dengan segala kekesalanku pada bapaknya. Sambil mengapit boneka kelinci, Galaxy Andromeda — mendekatiku sambil tersenyum begitu lebar. Ia bahkan minta digendong olehku yang masih ogah-ogahan. Tapi aku tetap menuruti permintaannya seolah terhipnotis dengan pesona anak laki-laki ini. Bapaknya diam memperhatikan dengan tatapan yang tak dapat ku artikan.
"Kak..ajalin Gala main layangan. Yah."
==