Welcome to Jakarta, Mel

1765 Words
Tidak seperti acara nikahan kemarin, puncak dari semua tangis justru datangnya di hari ini. Bapak yang dari kemarin kalem dan nggak terlihat sedih anaknya dinikahin orang, hari ini bapak jos-josan nangis dari rumah sampai di bandara Kualanamu. Apalagi ibu. Sudah dandan dari subuh untuk antarkan anaknya ke bandara, masih ada sejam lagi keberangkatan bedak ibu sudah luntur semua karena banjir airmata. Semua barang kepindahan Aiman sudah dibawa dengan truk ke Jakarta. Nggak banyak sih karena sebagian malah dijual di sini. Mamanya Aiman dan keluarga sudah berangkat dari kemarin membawa Gala sekalian. Jadi tinggal aku dan Aiman saja yang masih tertinggal. Berbanding terbalik dengan ibu dan bapak, aku justru dengan tenang hendak berangkat. Atau mungkin malah terlihat mantap dan bersemangat untuk menghirup udaranya Jakarta. Walaupun entah bagaimana nasibku nanti di sana, aku sudah bertekad bulat untuk tidak diremehkan oleh om polisi ini. Lihat saja nanti! Akan kubuat dia membayar tawanya karena meledekku sama mas Adi kemarin! “Tolong jaga Mela ya nak Aiman. Kalau dia bandel bilangin saja baik-baik. Walaupun anaknya sudah pasti akan mencak-mencak kalau dibilangin.” “Issh bapak. Mela bukan anak kecil.” “Daritadi kamu bilang bukan anak kecil terus, di mata bapak kamu tetap masih kecil,” ucap bapak sedikit merengut. Aku menenangkan hatinya agar tidak pulang dengan kekecewaan. “Maaf pak. Maksud Mela tuh Mela bisa jaga diri kok. Plusnya lagi sekarang Mela kan punya pawang,” lirikku pada Aiman yang terlihat mengerutkan dahinya. Tak lama suara pemberitahuan pesawat pun tiba. Aku dan bapak terpaksa harus berpisah di lounge keberangkatan. Ibu terus memukul punggungku sambil memberi nasehat bahwa aku harus nurut sama suami. Aku memutar bola mataku jengah karena sudah pasti sulit untukku menganggap om-om nyebelin ini adalah suamiku. “Jangan nakal Mel. Sekarang kamu punya suami! Harus nurut dan patuh sama dia. Karena Aiman yang akan gantiin posisi bapak untuk jagain kamu.” “Iya buk,” jawabku sambil mencium punggung tangan ibuku. Tak lupa, kulirik sinis om sompret yang saat ini tengah tebar pesona. “Saya pamit pak.” Aiman dan bapak saling berpelukan. Dan bapak mulai menangis lagi. Dengan langkah berat aku mulai menuju lounge. Bapak dan ibu melambaikan tangan ke arahku yang semakin menjauh. Baru kusadari saat aku berjalan seperti ini. Jika dulu aku selalu pergi bersama mereka, kini akulah yang pergi meninggalkan mereka. Bersama dengan pasangan yang akan membawaku jauh dari orang tuaku. Wajah-wajah keriput mulai terlihat. Tubuh mereka pun sudah mulai sedikit demi sedikit membungkuk dan kecil. Padahal aku tahu, bapak dulu bertubuh gagah. Beliau terlihat seperti Superman bagiku dengan tubuh dan ototnya yang keren. Tapi sekarang, bapak bersarung, berkopiah putih dengan sorban yang tak pernah lepas di pundaknya. Mulai terlihat tua dan membungkuk. Sudah mulai renta karena ditelan umur. Kenapa waktu begitu cepat sekali berlalu? Mungkin benar adanya kata bapak tadi. Walau sebesar apapun aku tumbuh, dan setua apa umurku, bapak tetap melihatku seperti anak kecil baginya. Sekarang aku paham, kenapa bapak berat melepaskan ku ke Jakarta sendiri. Karena selamanya seorang bapak itu pasti akan terus mengkhawatirkan puteri kesayangannya yang selalu dianggapnya masih kecil ini. “Kamu pernah naik pesawat?” Pertanyaan om sompret ini berhasil menghilangkan rasa haruku. Kedengarannya seperti mengejek kan? “Ke bandara ini saja baru sekali —“ “Oh jadi belum? Udah minum obat anti mabuk belum?” Aiman menyerahkan sebutir pil obat antimabok padaku. Aku menolaknya dengan tatapan sinis. “Saya emang belum pernah naik pesawat, tapi enggak seudik itu kali.” “Saya nggak bilang kamu udik. Khawatir aja nanti kamu hoek- hoek di pesawat.” Aku menghentak-hentakkan kakiku menuju jalur yang disiapkan, “Sok banget sih!” Satu jam empat puluh lima menit waktu yang akan kami tempuh. Menurutku tidak lah begitu lama. Tapi...mulai dari boarding aku sudah merasa resah gelisah. Ucapan om Aiman beneran terbukti. Aku mabuk udara hingga membuat heboh satu pesawat. Dengan gaya sok bossnya Aiman merepetiku setelah kami landing di bandara Soekarno-Hatta. “Kamu sih..ngeyel,” omelnya sambil memijat pundakku. Aku menepisnya sambil menahan malu. Kutinggalkan saja om tukang marah-marah itu di belakang. Dan tetap saja dia marah-marah sambil mengekori ku. “Mau kemana?” “Berak!” kesalku begitu masuk ke dalam toilet. *** Di mobil, aku tertidur dengan nyenyaknya. Entah berapa lama perjalanan dan entah dibawa kemana aku ini, yang jelas aku terbangun saat Aiman sendiri yang membangunkan ku. “Mel! Bangun.” “Ganggu aja ih!” Aiman makin kencang mengguncangkan tubuhku. “Kamu mau ikut supir ke rumahnya atau ke rumah saya?” Mendengar omelannya aku akhirnya membuka mata. Tak peduli aku masih punya belek atau tidak yang jelas aku beranjak dari kursi penumpang menuju sebuah rumah minimalis berpagar hitam yang tingginya mungkin sekitar tiga meter. Rumah tersebut memiliki dua lantai dan di dalamnya terparkir satu mobil serta satu motor matic. “Bagus. Sekarang bawa barang-barang kamu ke dalam. Supirnya mau pulang tuh. Capek nungguin kamu daritadi nggak bangun-bangun.” Aiman tetap saja mengomel tanpa henti. Aku menatapnya sinis sambil menyeret koperku sendiri menuju halaman rumahnya. Selagi nyeret koper, aku memperhatikan rumah yang memiliki kolam ikan kecil di sudut tamannya. Tiba-tiba Aiman berhenti berjalan hingga aku tak sengaja menabrak punggungnya yang keras itu. Aku mendongak untuk memarahinya balik. “Ngapain sih berhenti —“ Aiman membuat tanda isyarat diam. Dan aku menelan ludah karena wajah kami yang terpantau begitu dekat. “Inget. Kita harus pura-pura mesra.” “Ngapain Sampek begitu?” protesku sambil menjauhkan diri. “Namanya pengantin baru. Mereka mana tahu kalau kita menikah di atas win win solution?” Entah kenapa aku jengkel mendengarnya. Pura-pura mesra sebagai pengantin baru? Emang bisa? Belum apa-apa saja kami sudah kayak Tom and Jerry selama di perjalanan tadi. “Iya iya!” Aiman memberi salam dan terdengar ada yang menyahuti dari dalam. Suara bocah kecil yang selalu wangi bedak itu membuka pintu lalu menunjukkan riak wajah kegembiraan pada kami. Aku juga ikut kegirangan melihatnya kembali setelah satu malam tidak bertemu dengannya. “Mama Mela udah nyampek!” Aku bengong di tempat karena mendengar cuitannya barusan. “Tadi Gala manggil kakak apa?” “Mama. Kata Oma sekarang Gala harus manggil Mama. Kan kak Mela udah nikah sama papa. Iya kan pa?” bijaknya. Aiman nyengir sedangkan aku meringis. Aku ingin menghentikan panggilan menggelikan itu tapi Aiman sudah lebih dulu mengalihkan pembicaraan ini dengan mengajak masuk ke dalam rumah. “Jagoan papa.....tadi malam tidur sama Oma yah?” “Iya pa. Gala kesel digangguin om Raka terus.” Di dalam ternyata sudah ada keluarga Aiman yang menunggu. Mereka menyambutku hangat sehingga tak membuatku canggung sama sekali. Nah dari sini nih om sompret ngambil kesempatan buat pegang-pegang tangan untuk membuat kami terlihat mesra di hadapan mereka. Aku meliriknya sinis karena ide konyolnya itu. Tapi dia terlihat santai saja seperti tidak mempermasalahkan rasa ketidaksukaan ku itu. Emang kalau pengantin baru harus begitu yah? Kayaknya enggak deh. “Kapan mulai kuliah Mel?” tanya kak Alina, kakaknya Aiman yang sudah memiliki dua orang anak yang salah satunya sepantaran denganku. Raka namanya. Pemuda yang nggak bisa diam dan banyak nanyak tentang keberadaan ku ini. “Besok udah ke sana kak buat daftar ulang dan persiapan lainnya.” “Di UI yah tante? Sebelahan dong sama saya.” “Panggil nama aja Raka. Beda setahun doang sama kamu,” ujar Aiman yang kubalas dengan acungan jempol padanya. “Kamu kuliah di mana?” “Pancasila. Besok bareng yuk—“ “Nggak usah. Mela jalan kaki aja.” Aku melirik om sompret ini dengan tatapan membunuh. Seneng banget kayaknya kalau aku menderita! “Kok gitu?” “Beneran deket Mel kampusnya. Raka aja yang manja pake mobil segala. Sepuluh menit nggak sampek dari sini.” “Issh om nggak peka. Masa nyonya disuruh jalan sih,” Raka ikutan protes. Kali ini kuacungkan jempol padanya. “Biar nggak manja. Kan sekalian bisa anter Gala ke sekolah.” Bener-bener yah om satu ini! Aku dijadiin babysitter olehnya! “Udah...udah kok jadi ribut. Mana aja bisa. Terserah Melanya. Udah sore ini istirahat dulu Mel katanya tadi kamu mabuk di pesawat,” tuturnya kakaknya yang nyaris membuatku tersedak. Ternyata Aiman sudah cerita soal udiknya aku di dalam pesawat. Sial. Awas kau ya bang...kulibas kau nanti! “Iya kak. Pamit dulu.” Aiman ikut menemaniku menuju kamarnya. Tapi sebelum itu, aku menyempatkan diri melihat-lihat rumah yang lumayan terlihat nyaman itu. “Itu kamar Gala.” Tanpa dia bilang begitu pun aku bisa tahu hanya dengan melihat pernak-perniknya yang kental dengan poster dan mainan Spiderman itu. “Ini kamar kita.” Aiman membuka pintu kamar utama yang lumayan luas. Kamar yang lebih dominan berwarna abu itu terlihat sederhana dengan tambahan sebuah sofa di depan tempat tidur. Kamarnya dingin karena AC yang menyala. Untuk yang satu ini sepertinya aku kurang bersahabat. Karena aku kurang suka memakai kipas ataupun pendingin ruangan saat tidur biarpun sedang kemarau-kemaraunya. “Kamu tidur di sofa, saya di tempat tidur,” sambungnya. “Eh mana bisa kayak gitu!” protesku. Ini namanya diskriminasi! Aku kan bukan upik abu. Kenapa juga harus tidur di sofa. “Jadi kamu mau tidur bareng sama saya?” tukasnya sambil bersedekap serta menaik turunkan alisnya menatapku. Aku bergidik melihat wajah mupengnya itu. “Ya enggak gitu maksudnya. Aku juga mau tidur di ranjang. Kamu yang harusnya tidur di sofa.” “Badan kamu kan kecil jadi kayaknya muat tuh sama kamu. Tapi kalau mau tidur bareng sama saya juga enggak masalah sih paling harus hati-hati aja kalau tangan saya nyasar kemana-mana kalau lagi tidur,” nyengirnya. “Jangan macem-macem yah, kita ini cuma pasutri bohongan!” “Boongan gimana? Kita ini suami istri yang sah di mata agama dan negara loh —” ujarnya lagi sambil maju mendekat hingga membuatku harus mundur untuk bersiaga. Sial! Dibelakangku malah ada tembok! “— jadi sebenarnya saya ini sangat... amat... halal... untuk nyentuh kamu, kapanpun saya mau.” “Jangan sembarangan! Om janji nggak bakal begitu-begitu sama saya!” Aku mulai panik. Apa dasarnya aku melapor tindak pelecehan karena yang melakukannya adalah suamiku sendiri? Yang ada aku disangka gila! Aiman semakin mendekat dan nekat. Jantungku pun tak berhenti berdebar kencang karena takut melihatnya sedekat dan seganteng ini di hadapanku. Aduh Mel...sinkron dong! Kamu nggak suka apa demen? “Namanya manusia Mel, bisa aja khilaf,” ucapnya sambil sengaja dibisik-bisikkannya ke telingaku dengan nada menggoda. Aku merinding dibuatnya! Gila! Om-om satu ini beneran lebih menakutkan dari setan dan bang Paulus si preman pasar di Medan. “Iya iya saya ngalah! Saya tidur di sofa!” Akhirnya Aiman menjauhkan tubuhnya sambil terkekeh pelan. Melihatnya sebahagia itu membuatku semakin dalam untuk menabuhkan genderang perang padanya. Welcome to Jakarta Mel. Awali harimu dengan berantam dengan om-om polisi ini. ==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD