Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan.
Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.
Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.
Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.
Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.
“Aiman pernah gagal sekali membina rumah tangga. Mama harap kamu yang bisa selamanya bersama Aiman hingga akhir hayat, ya nak yah,” ucap beliau penuh harap.
Jujur saja, aku tidak bisa mengiyakan atau menjanjikan harapan yang ibunya Aiman berikan padaku. Karena sudah jelas kan, pada akhirnya aku meminta perpisahan dari anaknya itu satu hari nanti.
Itu pasti. Dan tidak bisa ditolerir lagi.
“Anakmu pindahin gih ke kamar,” ujar Donita setelah mama Aiman kembali ke tempatnya.
Aku melirik Donita sinis, “Anak om sompret, Don —”
Donita tertawa, “Tapi dia ini anak dari calon suami yang akan kau nikahi cuy. Namanya apa kalau bukan anakmu?”
Aku garuk-garuk kepala mendengar ocehan Donita. Aku tahu dia sedang menahan tawa.
“Anaknya si sompret!”
“Tapi dia anakmu.”
“Iih...aku belum punya anak —“
“Iya nanti bikin anak sama om-om ganteng yah. Nggak sabar aku punya ponakan baru,” goda Donita sambil menggelitik daguku seperti anak kucing.
Donitaaaa nyebelin!
Karena tempat Gala biasa bobok siang dipenuhi ibu-ibu rewang yang tengah bungkusin nasi berkat, terpaksa Gala kubawa naik ke kamarku yang ada di lantai atas.
Baru naik satu anak tangga, Aiman menegurku lewat pundak. Ia lantas mengambil alih Gala kemudian mewakiliku membawa anaknya ke kamar.
“Kamar atas kan?”
“Iya,” jawabku ketus.
Sebelum naik, Aiman menoleh padaku sambil nyengir, “Dibilangin... jangan galak-galak sama calon suami.”
Kuikuti dia naik ke lantai atas.
“Issh! Apa aja bisa terjadi besok! Jangan kepedean.”
Aku dengar Aiman terkekeh tapi ia tetap lanjut masuk ke kamarku untuk meletakkan anaknya yang sudah tertidur lelap.
“Iya sih. Tapi saya yakin kok kamu bakal jadi istri saya besok.”
Tatapan genitnya kembali lagi. Apalagi Aiman melangkah maju ke arahku seolah ingin menerkamku. Gawatnya lagi, kami berduaan di dalam kamar! Astaghfirullah... astaghfirullah! Kok yo aku lali?
“Eh eh...jangan macem-macem ya om!”
“Sekali lagi kamu manggil saya om, beneran saya gauli loh,” ancamnya.
“Eh iya. Bang...bang jauhan dikit bang.”
Aiman akhirnya menjauhkan diri. Sejauh tiga puluh sentimeter. Meski sudah berjauhan, tetap saja napas menthol Aiman serta parfum yang membuatku mabuk kepayang masih bisa kuendus dari tempatnya berdiri. Apalagi saat Aiman menjulurkan tangannya menuju dinding yang ada di belakangku, membuatku menarik napas karena wanginya dia hari ini.
“Ini foto kamu waktu TK?”
Aku menoleh untuk melihat apa yang sedang dia lihat. Ternyata om sompret ini mengambil satu foto polaroid yang aku tempel di dinding. Foto itu benar, foto saat aku wisuda untuk kelulusan TK-ku.
“Iya. Ngapain diambil.”
“Buat saya yah.”
“Ih ngapain!”
Aksi rebut-rebutan terjadi diantara kami. Dia yang tinggi menjulang tentu saja membuatku kesulitan untuk meraih foto itu dari tangannya. Di saat yang bersamaan, pintu terbuka lebar. Donita datang sambil tersenyum genit melihatku dan Aiman yang terlihat terlalu berdekatan.
“Cie nyari kesempatan malam pertama duluan. Belum halal woi!”
Aku menatap Donita panik. Si mulut ember ini pasti nanti ngomong yang enggak-enggak sama orang, “Donita! Awas kau yah. Jangan kau bilang mamakku!”
“Tergantung! Kalian ngapain berduaan di kamar?”
“Simulasi,” jawab Aiman enteng.
Aku meliriknya sinis sambil kucubit lengannya yang keras itu.
“Kan..kan mulai main cubit-cubitan,”goda Aiman lagi yang rasanya ingin kutelan dia hidup-hidup.
Donita menampakkan wajah mupengnya, “Pengen kawin juga,” rengeknya.
“Iya! Kawin sana sama bang Paulus yang di simpang!”omelku yang ditanggapi gerutuan dari Donita yang masih berada di lantai atas.
Semua tamu sudah bubar. Tersisa beberapa orang saja, itupun dari keluarga Aiman serta tukang pelaminan yang tengah mendekorasi.
Aku yang sudah mengganti pakaian, disuruh ibu untuk menyajikan makanan untuk keluarga Aiman yang berada di teras rumah. Tentu saja aku ogah-ogahan untuk mencari muka seperti ini. Apalagi semua cemilan ini ditujukan untuk mamanya Aiman.
Baru sampai di depan pintu, aku tak sengaja menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Aiman terlihat kalem duduk di depan sang ibu yang tengah bicara padanya.
“Mama kaget waktu kamu bilang mau nikah. Mama sama kakakmu sampai nggak percaya karena kamu pernah bilang nggak mau nikah lagi.”
Wah..ada cerita seru nih gumamku dalam hati.
Tapi tentu saja aku deg-degan untuk mendengar obrolan mereka ini.
“Iya. Aiman ngelanggar ucapan sendiri.”
“Ya nggak apa-apa sih tapi mama nggak nyangka kamu mau nikahin gadis semuda Mela. Kamu nggak lagi main-main, kan?”
Mamanya Aiman tampak berwajah serius. Om Aiman malah cengengesan mendengar pertanyaan ibunya.
“Nggak ma. Buat Gala, ngapain Aiman coba-coba.”
“Jadi semua untuk Gala?”
“Iya Ma. Mama lihat sendiri kan Mela bisa jadi ibu yang baik buat Gala.”
Sampai di sini aku malah merasa berbunga-bunga. Padahal kalau tak dinikahin, tetap saja aku seperti babysitter.
“Iya,mama liat. Mela masih muda tapi terlihat baik buat Gala. Tapi nak...kamu sayang sama dia kan?”
Waduh. Nggak ada cinta diantara kami tante, ucapku seperti tengah berorasi di dalam hati.
“Kamu nikahin dia karena jatuh cinta sama dia atau cuma untuk jagain Gala?”
Nah loh. Ribet kan? Ternyata benar kata ibu. Baik pergi kalau ada orang yang lagi ngomongin kita. Karena ujung-ujungnya kalau jawabannya nyakitin hati, bisa berujung petaka. Tapi kalau pujian, bisa berujung kesombongan.
Aku hendak balik ke dapur agar tak mendengar jawaban dari Aiman itu. Tapi sayup-sayup, aku bisa mendengar Aiman bicara.
“Karena cinta Ma,” jawabnya dengan nada datar.
Aku tahu. Ini pasti bagian dari aktingnya. Terlihat bagaimana dia bicara sambil menatap tajam ke arahku. Aku yang sudah ketahuan menguping, memilih meninggalkan tempatku berdiri tadi.
Sampai di dapur, aku meletakkan nampan yang kupegang sambil mendengus. Tak lama sebuah tangan menyentuh lenganku.
“Kamu tadi nguping?”
Wajah Aiman terlihat tidak suka.
“Kalau iya emangnya kenapa?”
Aiman menghela napas panjang, “Kalau gitu kamu dengar soal yang aku bilang jatuh cinta sama kamu ke mama?”
Aku memutar bola mataku jengah, “Iya dengar. Itu boongan kan?”
“Untung kamu pinter,”pujinya, tapi kenapa aku merasa kecewa yah?
“Jadi kamu ngejar aku cuma karena itu? Kamu kan tahu kita juga nanti cuma boongan sebagai suami istri yang harmonis. Tidak lebih dari itu.”
“Syukurlah kamu ngerti. Takutnya nanti kamu kegeeran.”
Emang yah! Mulut pria ini enaknya dijejelin sendal. Nggak berperasaan banget.
“Siapa yang kegeeran sih! Saya tuh... amit-amit, kalaupun tinggal kamu laki-laki di dunia ini, saya tetap nggak akan jatuh hati ke kamu.”
“Masa sih? Saya nggak percaya.”
“Ya sudah. Lihat saja nanti. Oh iya, selama kita menikah nanti, saya bisa dekat sama siapa aja kan?”
Aiman mengangguk untuk menjawab pertanyaan ku, “Boleh. Tapi jangan sampai ketahuan teman atau orang lain. Soalnya saya nggak mau repot kalau ada gosip. Tapi jujur aja sih, siapa yang mau sama kamu?”
Nebas orang dosa nggak sih? Ucapan Aiman ini sudah seperti bon cabe level sepuluh.
“Heh! Pasti ada dong! Jangan kaget kalau saya punya pacar nanti!”
Aiman tertawa sambil mengacak rambutku.
“Iya kita liat nanti. Siapa sih yang berani deketin istri muda Aiman yang satu ini?” gelaknya sambil goyang p****t meninggalkanku yang gondok sendirian di dapur.
Errr!!