HAH?!

1212 Words
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu. Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi! Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut. Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapak. Sudah pukul sembilan. Harusnya Gala diantar kemari. Tapi mungkin tidak untuk hari ini karena bertepatan dengan hari minggu. Mungkin Gala dan papanya sedang menghabiskan waktu bersama di hari libur seperti ini. Akhirnya...aku bebas! “Assalamualaikum.” Baru saja hendak menyalakan laptop, suara seorang pria dewasa terdengar dari luar. Aku yang memang sendirian di rumah mengintip terlebih dahulu siapa gerangan yang datang di minggu pagi begini. Saat kuintip dari luar, tampak mas Adi datang dengan pakaian rapi. Segera kubuka pintu setelah merapikan sedikit penampilanku. “Waalaikum salam, Mas Adi?” “Hei Mel,” sahutnya salah tingkah. Issh kalau kamu salah tingkah aku salah obat, mas. “Ada apa mas? Tumben kemari.” “Iya. Pengen mampir aja. Untung kamu di rumah.” Iya. Alhamdulillah banget aku di rumah. Kalau tadi aku ikut ibu ke pasar mungkin kita tidak akan bertemu, sahutku dalam hati. “Duduk mas. Aku ke dalam siapin minum dulu yah.” Mas Adi mengangguk sungkan kemudian dia duduk di dipan bambu yang ada di teras. Aku sendiri segera melesat ke dapur mencari cemilan yang mungkin masih ada di kulkas. Secangkir teh siap kuhidangkan dalam waktu singkat. Selesai menyiapkan minuman, aku langsung beranjak ke depan rumah. Mas Adi terlihat sibuk dengan gawainya namun kemudian beralih padaku saat aku duduk di hadapannya. “Harusnya nggak usah repot-repot Mel.” “Ini nggak repot kok. Nggak sampai lima menit kan?” Mas Adi tersenyum manis sekali sambil mengangguk. Selesai menyicipi tehnya, mas Adi duduk tegak dan terlihat tegang. Aku sendiri jadi ikut tegang karena dia tegang. Humm sepertinya kalimatnya ambigu yah. “Soal kita dirazia itu, aku minta maaf ya Mel.” “Heh? Kenapa mas yang minta maaf?” tanyaku bingung. Soalnya setelah hari itu, kami tidak membahas hal itu sama sekali. Bahkan dari pihak Jaka maupun Eko yang punya ide untuk menyelenggarakan acara tersebut sama sekali tidak ada ungkapan rasa bersalah sama sekali. Lagi pula kami semua dilepaskan karena tidak bersalah. Kecuali Rian dan Bayu yang ketahuan minum-minuman keras sebelum berencana ikut ke acara. “Iya....karena malam itu aku yang kasih ide buat kumpul di parkiran diskotik.” Aku cukup terkejut mendengarnya. Tapi entah kenapa, aku tidak marah mengetahui hal itu. “Kita lagi apes aja waktu itu.” “Iya. Mungkin sih,” jawabnya sambil tertunduk. “Udah jangan terlalu dipikirin. Yang penting kita selamat.” “Iya yah. Kayaknya aku yang terlalu mikirin kamu.” “Hah?” Tadi aku nggak salah dengar kan? Mana Mas Adi juga senyum-senyum sendiri lagi. Apa dia lagi bercanda? “Assalamualaikum!” Ibu pulang dari pasar. Menyusul bapak yang tengah menenteng plastik belanjaan ibu. Melihat ada tamu yang datang, bapak langsung pasang wajah jutek. “Waalaikum salam. Pak, ini temen.” Aku langsung kenalkan mas Adi sebelum bapak berbasa-basi untuk bertanya. Kumis bapak langsung berdiri. Bapak sudah siap berakting sangar ketika ada teman cowok yang datang ke rumah. Dasar ih, bapak! “Saya Adi pak.” “Anak mana kamu?” tanya bapak sambil menerima Salim darinya. “Anak simpang bengkel pak.” “Bapakmu kerja apa?” “Ish bapak. Baru ketemu udah nanyak bapaknya kerja apa,” omelku. “Ini urusan laki-laki. Sana masuk. Siapa yang suruh berduaan di rumah?” Aku hendak mengomel lagi tapi lenganku sudah ditarik oleh ibu ke dalam. Untungnya tidak jadi aku beranjak karena ada suara salam lainnya yang datang. Ini hari Minggu kan? Kenapa banyak tamu sih? Omelku lagi dalam hati. “Assalamualaikum —“ “Waalaikumsalam, oh pak Aiman. Hari Minggu kerja?” Aku melongok tak percaya. Terjadi diskriminasi di sini. Mas Adi disambut dengan jutek, sedangkan Om sompret itu disambut semringah nan bangga. Ternyata harta dan tahta itu memang berpengaruh yah. Seperti dugaanku, mas Adi langsung kaget melihat kedatangan om Aiman dan anaknya Gala. Apalagi si Gala juga datang-datang langsung memelukku seperti ibunya sendiri. “Kak Mela ikut Gala jalan-jalan yuk.” “Jalan kemana?” “Gini, tadi pagi saya pengen ajak Gala jalan-jalan ke kebun binatang. Gala mau, tapi dia maksa buat ajak kamu juga.” Dengan cepat aku menjawab, “Nggak bisa. Aku mau jalan sama temen.” Muka om Aiman langsung berubah. Terserah dia mau bilang apa, kali ini aku nggak mau jadi babunya. Aku ingin kebebasan! “Sama siapa?” “Tuh, sama mas Adi. Iya kan mas?” Aku berharap mas Adi mengiyakan. Karena sebenarnya aku cuma mengarang bebas agar bisa terhindar dari ajakan mendadak jalan-jalan bareng ini. Bapak kembali ketus, ibu bengong sendiri di depan pintu. Om Aiman terlihat sedang memantau sedangkan mas Adi masih loading. Say yes mas! Say yes! “Iya. Boleh kan, om?” ujar mas Adi yang langsung berdiri di hadapan bapak untuk meminta ijin. Yes! Berhasil!! Aku bersorak-sorai dalam hati melihat om Aiman tak berkutik kali ini. Karena aku tetap ngotot untuk keluar, bapak pun mengijinkan. Itupun hanya sebentar. Tak apalah, yang penting aku tidak perlu terlibat dalam acara jalan-jalan mendadak tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya aku nanti. “Maaf ya Gala, kakak nggak bisa jalan-jalan sama Gala hari ini. Lain waktu yah.” Gala tadinya terlihat murung. Tapi setelah kusemangati dan meminta maaf tulus padanya seperti tadi, wajah sedihnya telah pergi entah kemana. Gala menyambut dan mencium punggung tanganku. Ia lalu menerima dengan pasrah kecupan yang kuberikan di pipinya saat aku akan beranjak keluar dengan mas Adi. Papanya terlihat cuek. Tapi aku tahu dia sedang dongkol alias kesal. Bodo amat. Kali ini dia tidak bisa semena-mena. “Janji yah lain waktu kak Mel mau pergi sama Gala.” Aku mengacak rambut anak itu gemas, “Iya. Janji.” Tiba-tiba jadi sedih karena aku sendiri nggak tahu kapan bisa menepati janji itu dengan Gala. Sebentar lagi pun, aku juga harus ke Jakarta untuk kuliah. Dan anak ini terlihat tulus berharap padaku untuk merealisasikan janji yang kuucapkan padanya. Aah! Kenapa aku jadi dilema? “Nanti kita sering jalan-jalan ya pa kalau papa jadi bawa kak Mel.” Hah? Apa? Apa-apaan tuh? “Gala....jangan bilang dulu —“ cegah papanya. Om Aiman juga memasang wajah panik. Aku menaruh curiga pada om Aiman. Ada yang sedang dirahasiakan dari mereka berdua. “Bawa kak Mela kemana?”sahut ibu yang ternyata juga dengar apa yang dikatakan anak ganteng ini. Dengan mulut lemasnya dia berkata di depan semua orang, “Bawa kak Mel ke rumah Oma, biar kak Mel jadi mama Gala.” Hah? What?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD