-PCC-
Namanya Citra. Dia tinggal disebuah desa disudut kota kecil, tidak banyak yang tahu tempatnya, masih asri dan sejuk ada kebun teh, karet, coklat, cengkeh, kopi dan pohon-pohon bermanfaat lainnya. Dia adalah gadis desa yang polos dan lugu.
Tubuhnya kecil, kulitnya khas orang Indonesia yang kuning Langsat dengan tinggi 160cm, rambut hitam lebat dan panjang. Mata bulat dan bulu mata yang lentik natural.
Dia tinggal dengan kakek dan neneknya, yang sudah renta. Membantu berjualan dan berkebun adalah kesehariannya. Usianya saat ini telah menginjak dua puluh lima tahun. Karena sibuk dengan urusannya dia tak pernah memikirkan tentang kehidupannya bahkan hanya untuk hari esok. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana kakek dan neneknya memiliki menu makan yang sehat untuk esok hari.
Citra memiliki warung makan kecil, yang menjual nasi bungkus, Mie instan juga teh dan kopi seduh untuk para petani karet di sana.
"Alhamdulillah hari ini hasilnya cukup untuk membeli vitamin kakek dan nenek," ocehnya dengan diri sendiri.
Ia lantas membereskan semua gelas dan sisa-sisa makanan yang tercecer di warung di tengah banyaknya pohon karet itu.
Ia berjalan pulang dengan menggendong keranjang yang besar berisi sayur mayur untuk berjualan besok, serta hasil karet yang siap di setor pada pemiliknya.
Mendaki dan menuruni bukit adalah makanan setiap hari untuk Citra. Pernah terbesit dalam hatinya untuk pergi ke kota dan memperbaiki perekonomian keluarga. Namun niat itu terkubur dalam-dalam jika ia tiba di rumah, dengan melihat guratan halus yang memenuhi wajah dan tangan kakek, neneknya. Citra merasa kasihan dan bertekad untuk menghabiskan sepanjang hari dengan mengurus mereka, melupakan impiannya.
--------
"kakek, nenek, Citra pulang," sapanya begitu membuka pintu kayu yang sudah berumur puluhan tahun itu. ( Nenek, kakek, Citra pulang ).
"Wes mulih nduk? Kesel? Rene lungguh kene." tanya sang Nenek. ( Sudah pulang nak? Lelah? Kesini duduk di sini ).
"Nggeh, mbok. Syukurlah, dinten niki wau angsale warung lumayan mbok. Lajeng setorane kados biasane, gangsal welas ewu," tutur Citra sembari berjalan dan melepaskan keranjang yang di gendongnya di samping kursi yang ia duduki. ( Iya, nek. Alhamdulillah hari ini tadi pendapatan toko lumayan nek. Terus setoran seperti biasanya, lima belas ribu ).
Mengambil uang yang berada di sakunya dan memberikannya pada sang nenek.
"Iyo nduk, wes gowo wae. Gawe modal sesok neh. Koe ndang madang kono, wes awan. Delok awakmu kuru kongene," perintah sang nenek.
( Iya nak, sudah bawa saja. Buat modal besok lagi. Kamu cepet makan, sudah siang. Lihatlah badanmu kurus begini ).
Dengan mengembangkan senyum Citra beranjak pergi ke dapur, membuat teh untung kakek dan neneknya. Kembali ke depan dengan napan berisi dua cangkir teh untuk mereka.
"Teh mbok, Wek. Mumpung seh anget." kata Citra menyodorkan teh pada mereka. ( Teh nek, kek. Mumpung masih hangat )
"Nduk? Opo koe ora ser lungo nyusul ibu lan bapakmu? Umurmu wes tuo, wes wancine omah-omah. Lek panggah ngopeni mbok'e aro wek'e wae, kapan koe rabi?" tanya kakek. ( Nak? Apa kamu tidak ingin pergi menyusul ibu dan ayahmu? Umur kamu sudah tua, sudah saatnya berumah tangga. Kalau tetap mengurus nenek dan kakek, kapan kamu menikah? )
"Citra taseh selangkung tahun Wek, toh simah-simah niku mboten Mandang umur. Tapi jodo, masi umur Citra telung puluh tahun lak Jodoe dereng ndugi nggeh mboten rabi to?" timpal Citra. ( Citra masih dua puluh lima tahun kek, toh berumah tangga itu tidak memandang umur. Tapi jodoh, meski umur Citra tiga puluh tahun kalau jodoh belum datang ya tidak menikah kan? )
Dalam hati Citra memang sangat ingin. Namun ia memilih untuk mengelak, memendam keegoisannya demi kedua orang yang selalu berjasa sewaktu dia masih kecil dulu.
"Wes nduk, sak iki wes wancine koe kui seneng. Mikiri uripmu, mbok'e Karo wek'e nek kene seh seger seh iso mlaku rono rene. Seh iso ngelumpukke karet. Ora usah mikir neh. Ndang telpon bapakmu Kono," tegas kakek. ( Sudah nak, sekarang sudah saatnya kamu bahagia. Pikirkan hidupmu, nenek dan kakek di sini masih segar bugar, masih bisa jalan kesana kemari. Masih bisa mengumpulkan karet. Tidak usah mikir lagi. Cepet telepon ayahmu sana ).
"Citra mboten pengen bahas Niki Wek. Citra ajeng siram lajeng lempit-lempit klambi mawon." Citra pergi meninggalkan kedua orang tua itu. ( Citra tidak ingin membahas ini kek. Citra mau mandi saja dan melipat-lipat baju saja ). Sungguh dia begitu ingin namun dia adalah gadis yang baik dan lembut, jika marah dia hanya diam dan mengerjakan pekerjaan rumah lebih rajin. Bahkan piring yang berada di rak yang telah bersih kembali ia cuci lagi, agar ia bisa melupakan kemarahannya karena lelah, lalu pergi tidur.
Kebiasaan yang unik, dan sangat menguntungkan.
--------
Drt ... Drt ... Dering telepon mampu menghentikan aktifitas Citra memasak di dapur. Ponsel itu diletakkan pada pojok jendela agar sinyal ponsel tetap stabil. Hidup di desa memang membutuhkan usaha dan kerja keras dalam segala hal. Termasuk mencari jaringan yang mudah untuk melakukan komunikasi.
'Bapak' nama itu jelas tertulis dalam layar kecil ponselnya. Citra menekan tombol hijau pada keyboard ponsel itu. Suara yang selalu ia rindukan terdengar pada telinganya seketika.
"Salam, nduk? Piye kabar Si Mbok karo pak Wek nduk?" tanya seseorang diseberang yang tak lain adalah ibu Citra.
"Salam, Bu. Syukurlah mbok kalian pak Wek sehat-sehat. Ibu pripun kabare bapak ugi?" timpal Citra. ( Waalaikumussalam Bu. Alhamdulillah nenek dan kakek sehat. Ibu bagaimana kabarnya bapak juga? )
"Alhamdulillah, apik nduk. Syukur lek mbok seger waras. Nduk, ibu Ki aro pelanggane bapak Kon ngolekne uwong seng gelem kerjo dadi asisten rumah tangga, samean gelem opo piye?" tanya ibu pada Citra. ( Alhamdulillah sehat nak. Syukur kalau nenek sehat. Nak, ibu di minta sama pelanggan bapak untuk mencari orang yang mau kerja sebagai asisten rumah tangga, apa kamu mau nak? )
Mendengar itu Citra senang tapi melihat kakeknya di samping dirinya ia kembali berbohong.
"Mboten Bu, lak kula lungo, mbok kalian Wek lajeng pripun?" ucap Citra. ( Tidak Bu, kalau saya pergi, nenek dan kakek terus bagaimana? )
"Oalah nduk, Iki wayae dadi tanggung jawab e ibu lan bapak, dudu awakmu. Ibu e njaluk sepura ya nduk?" sesal Ibu Citra. ( Oalah nak, ini seharusnya jadi tanggung jawab ibu dan bapak bukan kamu. Ibu minta maaf ya nak. )
"Ora perlu ngono Bu. Awak dewe podo-podo kudu males apik e mbok lan Wek. Ngken Citra pikir rumiyen kedah dos pundi nggeh Bu. Nggeh pun, Citra masak niki, selak telat." pamit Citra. ( Tidak perlu begitu Bu. Kita sama-sama harus membalas kebaikan mereka. Nanti Citra pikir dulu harus bagaimana ya Bu. Ya sudah Citra masak ini, nanti keburu telat. )
"Ya, ya wes nduk, seng ngati-ati. Engko ibuk telpon neh ya nduk. Assalamualaikum." Ibu Citra mematikan sambungan telepon itu. ( Ya, ya sudah nak, hati-hati. Nanti ibu telpon lagi ya nak. Assalamualaikum. )
"Waalaikumussalam." Citra menjawab meski obrolan itu telah berakhir. Ia lantas kembali ke dapur, beruntung Si mbok membantu masakan Citra jadi masakannya aman tanpa gosong.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Entah jam berapa Citra bangun dan memulai segala aktifitas itu. Ia mengambil keranjang dan memasukkan nasi-nasi bungkus yang telah siap kedalam keranjang itu. Menggendongnya di punggungnya dan berjalan di jalan yang sempit, kanan dan kirinya adalah semak-semak belukar. Suara burung berkicau bersahutan, suara serangga-serangga pagi tak ingin kalah. Masih sangat gelap karena sang Surya belum menampakkan diri.
Dengan berbekal senter bulat yang di tangannya Citra berjalan dengan sangat hati-hati. Memikul beban yang berat pada tubuh kecil mungilnya.
Tidakkah Citra ingin merubah nasibnya menjadi lebih baik?
Maukah ia menerima tawaran dari ibunya?