chapter 8 : Tinggal Bersama

1562 Words
Ch 8 "Hei! Kurang ajar kalian! Tolong!!! Tolong!!" teriak Ira saat melihat para preman hendak memperkosa seorang gadis yang tak lain adalah Citra. Beberapa pria yang pulang dari masjid, langsung berlari menuju asal suara dan mendapati pemandangan yang begitu ironis, mengharukan. Mereka mendekat pada preman-preman tersebut. Melihat ada bahaya preman-preman itu langsung lari kocar-kacir meninggalkan Citra yang sudah tidak sadarkan diri tergeletak di tanah. "Astaga, kasihan kamu nak," ucap Ira, ia lantas mengambil melepas atasan mukenanya dan menyelimutinya pada tubuh Citra. "Pak tolong bantu saya bawa ke rumah ya. Untung kita segera datang pak, kalau tidak? Saya tidak tahu bagaimana nasib gadis ini nantinya," imbuhnya. Ia memanggil bapak-bapak yang menolongnya tadi untuk membawa tubuh lemah Citra ke rumahnya. ------- Citra mulai membuka matanya perlahan. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi setelah kejadian itu yang ia ingat hanya gerayangan tangan-tangan nakal yang mencoba melucuti semua pakaiannya. Hingga tersisa celana dalamnya saja. Namun kali ini, ia sudah berada di sebuah bilik. Citra melihat saat ini tubuhnya sudah tertutup daster. Ya Allah di mana aku? Dan baju siapa yang aku kenakan ini? Siapapun itu aku berhutang padanya. Dia menyelamatkan aku dari para preman itu. Pikir Citra saat ini. "Seperti milik ibu. Apa --?" Citra bergegas bangkit dari atas ranjang. Ia menurunkan kaki kecil itu. Menyapu sekeliling mencari sesuatu yang bisa ia lahap untuk mengurangi rasa haus yang menjalar di kerongkongannya. Tapi tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Memperlihatkan seorang ibu paruh baya dengan balutan daster dan surai yang di Cepol di belakang kepalanya. Ia menghampiri Citra dengan nampan yang berisi semangkuk bubur juga segelas air. " Nak kamu sudah sadar, syukurlah kamu tidak apa-apa ibu khawatir melihat keadaan kamu yang seperti tadi, untung ibu lewat bersama orang-orang yang lain pulang dari masjid," tutur ibu paruh baya itu. Apa ibu ini yang membantuku? Ya Allah terima kasih kau kirimkan padaku orang baik yang mau menolongku. Aku kira ibuku sendiri. Siapapun itu semoga hidupnya selalu bahagia. Batin Citra, saat melihat ibu paruh baya itu yang tidak lain adalah Ira. "Duduklah nak, isi perutmu dengan bubur buatan ibu ini. Rasanya belum tentu enak, tapi setidaknya bisa mengembalikan tenagamu," imbuh Ira. Ia meletakkan nampan itu pada nakas yang berada di samping ranjang. Citra masih terdiam terpaku. Ia masih begitu trauma, ingatannya masih berputar pada saat kedua tangannya di pegang paksa oleh dua preman itu. Tanpa sadar air mata luruh dari kelopaknya. "Terima kasih Bu, ibu sudah menolong saya. Saya tidak tahu apa jadinya jika ibu tidak menolong saya," Isak tangis Citra pecah. Ia memegang jari jemari Ira. Ira menanggapi dengan sentuhan lembut pada punggung tangan Citra, dan mengelus rambut gadis itu. " Sudah nak, jangan menangis. Ibu tahu kamu pasti sangat ketakutan saat itu. Mungkin ini jawaban dari doa-doa ibu selama ini. Insya Allah ibu ikhlas melakukan semua ini," jawab Ira. Citra pun memeluk tubuh kurus Ira. Ucapan terima kasih rasanya tidak cukup untuk semua yang dilakukan Ira. Citra benar-benar ingin membalas kebaikan Ira. Ia melepaskan pelukan itu, memberanikan diri bertanya pada Ira. "Bu sekali lagi saya ucapkan terima kasih untuk semuanya. Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan ibu?" tanya Citra serius. "Tidak perlu melakukan itu nak, makanlah dulu setelah itu kita pikirkan apa yang harus kita lakukan kedepannya. Ayo makanlah," kata Ira. Citra tidak banyak protes ia lantas memakan bubur itu dengan lahap. Melihat Citra makan dengan lahap Ira begitu senang. Ira terus mengelus kepala Citra. " Saya Bu Ira, nak, saya tinggal sendiri. Suami ibu sudah meninggal bahkan saat ibu belum punya anak, jadi ibu sendirian, kalau kamu mau bisa tinggal di sini sama ibu, bisa menemani ibu yang kesepian ini," tuturnya. Mendengar itu, Citra menghentikan aksi makannya. Menoleh ke arah Ira. Hatinya begitu sakit mendengar kisah Ira saat ini. Ya ini lah Citra dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri bahkan disaat seperti ini dia memikirkan orang lain, entah terbuat dari apa hatinya, tapi kenapa masih saja ada yang tega menyakitimnya. Inikah yang dinamakan hidup sebatang kara? Benar-benar sendiri sampai akhir hayat? Astaga, Batin Citra. Citra lantas menjelaskan siapa dirinya dan bagaimana ia bisa berada di kota ini. "Saya Citra Bu saya kemarin berkerja ikut orang, tapi hal yang sama seperti tadi pagi hampir terjadi kemarin malam. Akhirnya majikan wanita saya menyuruh saya pergi. Karena takut kalau sampai saya masih tetep di sana hal itu akan terulang lagi, dan itu tidak aman untuk saya Bu. Namun begitu saya keluar ternyata hal itu terulang lagi. Beruntung ibu menemukan saya. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih Bu. Apapun yang ibu minta saya akan berikan, jika saya memilikinya. Jadi ibu ingin saya bagaimana Bu? Ini sebagai tanda terima kasih saya. Saya bersedia menjadi pembantu di rumah ibu ini." ujar Citra panjang lebar. Ia benar-benar serius dengan ucapannya. "Tidak perlu nak, kamu tidak perlu jadi pembantu di sini. Jadilah anak ibu nak, yang selalu memakan masakan ibu. Ibu tahu kamu punya keluarga, tapi tinggallah di sini saat kamu kerja di kota ini. Mungkin ini memang sudah takdir ibu untuk bertemu dengan kamu. Allah yang mempersatukan kita lewat kejadian demi kejadian itu nak," jelas Ira. Mendengar itu, hati Citra merasa tenang. Entah apa yang membuatnya seakan memang ini adalah jalannya. Ia bisa menemani Ira dan juga bisa bekerja dengan lebih mudah. "Apa betul saya boleh tinggal di sini Bu?" tanya Citra ragu-ragu. "Tentu nak, ibu yang memintamu. Kamu boleh tinggal selamanya di sini. Kamu anak ibu sekarang. Temani ibu ya?" ucap Ira. Ia menangkup wajah Citra. Namun betapa terkejutnya Ira bahwa tubuh Citra demam. "Astaga nak badan kamu demam, kamu istirahat dulu ya, ibu panggilkan dokter untuk kamu." cemas Ira saat itu. "Tidak usah Bu, mungkin Citra hanya kelelahan dan juga syok saja, setelah istirahat pasti baikan nanti, ibu tidak usah khawatir Citra sudah banyak merepotkan ibu," ucap Citra. "Kamu bilang apa? ibu senang akhirnya ada yang bisa merepotkan ibu selain tugas-tugas di sekolah. Ibu sudah bilang bukan bahwa kamu adalah anak ibu sekarang. Meskipun ini pertemuan pertama kita, tapi ibu tulus menolong kamu, ibu sudah rindu ingin punya anak, izinkan ibu merawatmu ya nak?" tanyanya penuh harap. Citra hanya tersenyum dan mengangguk lemas. Di bantu oleh Ira, Citra kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk nan besar itu. Hingga sore hari tiba, Citra baru membuka matanya. Ia rasa badannya sudah lebih baik. Ia lantas keluar dari kamar itu. Tercium bau masakan yang begitu wangi. Ira sedang memasak di dapur. Citra berjalan menghampiri Ira. Mencoba membatu Ira di dapur. " Ibu sedang masak? Apa yang bisa Citra bantu? Biar Citra saja yang masak Bu, Citra bisa masak." kata Citra mencoba merai spatula yang ada di tangan Ira. "Tidak usah nak, kamu tunggu saja di sana. Hari ini harus kita rayakan, dan kamu masih harus banyak istirahat jangan bekerja dulu oke? Kamu duduk saja kursi meja makan itu nak," ujar Ira, ia menunjuk kursi meja makan di seberang kitchen setnya. "Tapi Bu --?" bantah Citra. "Tidak ada tapi-tapi Citra. Ayo sana!" kata Ira. " Baiklah Bu." Citra mengikuti instruksi dari Ira. Ia duduk di kursi yang di maksud oleh Ira. Namun tatapan Citra jelalatan kesana kemari. Ia begitu takjub dengan interior rumah Ira. Meski kecil namun terlihat mewah dan asri. Dengan rasa penasaran yang tinggi Citra memberanikan meminta ijin pada sang pemilik rumah untuk melihat sekeliling. "Bu apa boleh Citra berkeliling, rumah ibu begitu indah. Saya penasaran dengan halaman depan ibu." pamitnya pada Ira. "Boleh nak lihatlah, sesuka hatimu ini rumahmu juga." kata Ira dengan masih asyik menumis masakan. Sebelum Citra benar-benar beranjak, Ira menghampiri Citra dan memegang tangannya dengan lembut. "Nak tinggallah di sini ya temani ibu, ibu kalau malam suka kesepian tidak ada teman untuk ngobrol, kalau pagi ibu senang karena ibu bisa bertemu dengan anak-anak di sekolah, ibu hanya guru TK nak mengalihkan keinginan ibu untuk punya anak dengan membimbing mereka,' tutur Ira sambil tersenyum hangat pada Citra. Namun jelas wajahnya begitu sedih dengan apa yang ia rasakan selama ini. Citra benar-benar terharu mendengar Ira bercerita. Dalam hati Citra mengucap syukur sebanyak yang ia bisa. Alhamdulillah aku masih punya ibu, bapak, mbok juga Wek. Tapi Bu Ira? Mungkin ini memang benar-benar rencana Allah untuk Bu Ira juga aku. Citra memegang tangan Ira dan mengelus lembut jemarinya. "Bu guru TK itu hebat dia begitu sabar, telaten dan pencetak generasi karena kalau sedari dini kita diberi panutan, contoh yang baik pasti besar mereka akan jadi baik juga, ibu tenang saja kalau memang boleh saya mau tinggal bersama ibu, saya akan mengurus ibu, memasak untuk ibu." jelas Citra yakin. Ira tersenyum lebar dan meraih tubuh kecil Citra. Memeluknya dengan erat. Berulang kali mengucapkan kata terima kasih untuk Citra. Mencium aroma gosong pada masakannya lantas Ira baru tersadar dan melepaskan pelukannya pada Citra. "Astaghfirullah nak? Masakan ibu gosong," Ira berlari menuju dapur. Citra pun tertawa geli dan melanjutkan niatnya untuk melihat-lihat rumah Ira. Ada banyak pot-pot kecil berjejer di samping kanan dan kiri rumah itu. Ada juga pot gantung yang memenuhi bagian teras rumah. Sampai di samping pintu pun ada pot yang tertata apik di sana. Dengan berbagai macam bunga, mulai dari tanaman hias yang memiliki bunga hingga hanya menampakkan daunnya saja. Benar-benar indah. Citra megambil air dari kran yang ada di dekatnya saat ini. Menyirami tanaman itu sambil bernyanyi kecil. Hatinya benar-benar bahagia saat ini. Seakan kejadian kemarin telah terlupakan karena melihat pemandangan yang begitu memanjakan matanya. Namun sebuah suara yang terdengar pada telinganya saat ini membuatnya kaget bukan main. "Hey kamu di sini?" sapanya. Siapa? Siapa yang menegur sapa Citra?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD