Bab 34. Pesan

1518 Words
Doni mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk datang ke rumah Gladis, menanyakan perihal permintaan tolongnya waktu itu. Doni membanting setir ke di persimpangan, merubah arah ke rumah Gladis. Jalanan mulai terasa sesak. Pukul lima sore, jamnya orang-orang pulang kerja. Suara klakson nyaris memekakkan telinga. Langit mulai berubah oranye. Matahari sedikit lagi tenggelam di kaki barat. Dipadukan pemandangan gedung-gedung tinggi dan megah, pemandangan langit menjadi lebih memanjakan mata. Doni sampai di rumah Gladis tepat saat azan Maghrib dikumandangkan. Doni turun dari mobil, berjalan mendekati pintu rumah Gladis. Diketuknya pintu. Siti yang membuka, tersenyum. "Nak Doni, kan? Ayo, silakan masuk." Doni membalas senyuman Siti. "Terima kasih, Bu." Doni disuruh menunggu di kursi di ruang tengah kecil, sedangkan Siti memanggil anaknya di kamar. Mendengar nama Doni membuat Gladis langsung bangkit dari tempat tidurnya, keluar dari kamar melihat Doni di ruang tengah. "Elo? Lo ngapain lagi?" Gladis terlihat tidak senang akan kedatangan Doni ke rumahnya. Saat Abira sudah memutuskan tidak akan mau balikan lagi dengan Doni, Gladis langsung mengabarinya lewat pesan. Juga memberitahukan kalau Abira sudah mendapatkan pengganti, yaitu Raka—dosen baru mereka. Apa itu saja tidak cukup? Kenapa harus datang lagi ke rumah, sih? Gladis sudah tidak mau menambah beban pikirannya. Satu lagi, dia tidak mau berurusan dengan Doni. "Lo gak bisa bantuin gue dikiiiit lagi gitu?" Doni memasang wajah melasnya. Gladis menggeleng tegas. "Nggak, Don. Gue minta maaf, tapi, lo tau sendiri kan gimana Abira? Kalo dia udah buat keputusan, bakalan susah buat ngerubahnya. Bahkan nyaris mustahil. Lagian, gue juga gak mau ngebuat Abira jadi benci ke gua gara-gara gue terus bahas lo. Please, lo cari cewek lain aja. Emang kenapa harus Abira, sih? Emang ada apa sama Abira?" Doni menggeleng. Dia tidak boleh memberitahu kalau mamanya-lah yang mengancamnya akan menarik fasilitas yang telah diberikan padanya, jika tidak berhasil membujuk Abira untuk balikan dengannya. Bagi Dita, Abira adalah sosok perempuan yang dia cari. Mamanya sudah sangat menyukai Abira. Itulah alasan sampai-sampai Doni diancam seperti itu. Doni sendiri tidak mengerti kenapa mamanya bisa sampai setega itu padanya. Padahal, masih banyak perempuan di luaran sana yang mungkin lebih dari Abira. Kalau Doni? Dia hanya dendam sedikit saja karena disebut anak manja oleh Abira.  "Hei, malah bengong." Gladis melambaikan tangannya di depan wajah Doni. Doni memamerkan giginya. "Karena … ah, pokoknya urusannya rumit dah kalo gue gak bisa balikan sama Abira. Kalo lo gak bisa bantu gue, okelah, makasih ya karena lo udah usaha." Doni bangkit, bersiap pulang. "Gue pulang ya." Gladis mengantarkan Doni sampai depan rumah. Siti yang baru saja siap sholat langsung keluar dari kamarnya, ikut ke depan rumah.  "Hati-hati ya, Nak," ucap Siti saat Doni sudah di dalam mobil. Doni mendengar ucapan Siti tadi. Dia menurunkan kaca mobilnya, melambaikan tangan ke arah Siti sebagai balasan. Siti pun ikutan melambaikan tangan. Gladis bergidik heran melihat tingkah ibunya kenapa bisa seramah itu pada Doni? "Ibu pengen deh punya mantu kayak Doni." Gladis tertawa. "Ibu jangan aneh-aneh deh."  Andai ibunya tahu bagaimana Doni itu, pasti cepat-cepat dia akan menarik omongannya barusan. __00__ Malam ini Abira memilih untuk tidur lebih cepat dari biasanya. Setelah azan isya berkumandang dan melihat Raka pergi ke masjid dari jendela seperti biasanya, rasa kantuknya datang. Selain itu, entah kenapa waktu melihat Raka, rasa nyeri di hatinya masih terasa. Abira harus mengakui, baru Raka-lah yang berhasil membuat hatinya sakit di antara begitu banyaknya laki-laki di luaran sana. Yang biasanya Abira selalu membantah orang-orang yang menasihati kecuali mamanya, dia hanya diam, tidak bisa menjawab apa yang Raka katakan. Pukul setengah sembilan malam, Abira terbangun dari tidurnya. Dia merasakan lapar. Abira beranjak duduk, mengucek matanya. Setelah duduk mematung beberapa detik, Abira turun dari tempat tidur, turun ke bawah, berjalan menuju dapur. Di sana dia melihat Bu Ijah tengah melepas celemek. Tampaknya sudah mau pulang. "Eh, Non Abira kenapa? Laper?" Abira mengangguk lesu. Dia baru satu jam lebih saja tidur. Tapi entah kenapa bisa tiba-tiba lapar seperti itu. "Bibi mau pulang, ya?" tanyanya. "Iya, Non." "Temenin Abira makan dong, Bi." Tanpa perlu berpikir dua kali, Bi Ijah langsung mengiyakan. Rumahnya dengan rumah Abira juga tidak jauh. Rumah Bi Ijah cukup berjalan sebentar keluar perumahan, menyeberang jalan, sudah sampai. Berbeda dengan Pak Tejo yang diberikan fasilitas rumah, Bi Ijah tidak. Dia memilih untuk tinggal bersama cucunya yang usianya sama seperti Abira.  Bi Ijah membuka lemari, mengambilkan lauk untuk Abira. Tak lupa juga mengambilkan nasi di rice cooker. Setelah meletakkan nasi untuk Abira di depannya, Bu Ijah menarik kursi, duduk di seberang Abira.  Abira makan dengan perlahan. Lima belas menit kemudian, dia selesai. Bi Ijah pun berpamitan pulang. Abira kembali naik ke atas—ke kamarnya. Sampai di kamar, saat hendak naik kembali ke tempat tidur, tiba-tiba ponsel Abira yang saat itu teronggok di atas nakas berdering. Abira mengambilnya. Deretan angka yang tidak Abira kenali. Abira pun menerima telepon itu. "Halo? Ini siapa?" tanya Abira setelah beberapa saat di seberang sana tidak mengeluarkan suara apa pun. "Halo?" Masih juga belum ada suara. Abira mengangkat bahu. Tampaknya itu hanya orang iseng saja. Abira pun memutuskan sambungan telepon, dan naik ke atas tempat tidur. Saat Abira sudah menarik selimut, menutupi tubuhnya, notif sebuah pesan masuk terdengar. Abira mengambil ponselnya, membaca pesan yang masuk. "Lo bawa uang 100 juta sekarang ke alamat yang gue kirim, atau nyokap lo bakal mati." Abira langsung menutup mulutnya. Dia langsung panik di tempat. Dia baru ingat kalau mamanya belum pulang. Tadi pagi mamanya sudah bilang kalau kemungkinan dia akan pulang malam. Tapi, kenapa malah jadi begini.  Kalau Abira yang diancam, Abira tidak akan panik sama sekali. Tapi, kalau sudah ibunya yang dijadikan bahan ancaman, maka Abira akan bertingkah seperti sekarang ini. Ketakutan dan panik. Tidak tahu harus berbuat apa, Abira memutuskan untuk pergi ke rumah Raka. Hanya Raka yang saat itu terlintas dalam kepalanya untuk meminta bantuan.  Abira langsung pergi ke rumah Raka. "Pak, tolong saya, Pak." Raka langsung terperanjat setelah membuka pintu melihat Abira yang ketakutan seperti itu. Pertama kali yang Raka lakukan adalah menyuruhnya untuk tenang, bicara pelan-pelan. Sesuai arahan Raka, Abira menarik napas dalam, menghembuskan. Setelah napasnya kembali normal, Abira memberitahu Raka bahwa ada orang yang mencoba mengancamnya.  Raka kembali menenangkan Abira. Raka menyuruh Abira untuk kembali ke kamarnya, mengambil jaket karena malam ini akan terasa lebih dingin sebab tanda-tanda hujan akan turun semakin jelas. Langit menghitam, angin lumayan kencang, dan sesekali kilat menyambar. Abira menurut. Dia kembali ke rumahnya untuk mengambil jaket. Raka masuk ke dalam rumahnya, mengambil uang 100 juta yang diminta oleh orang yang mengirim pesan itu. Dimasukkan ke dalam tas jinjing sedang, kemudian tas tersebut dimasukkan ke dalam bagasi. Sebelum pergi, Raka memastikan terlebih dahulu apakah Vika sudah benar-benar tidur atau belum. Tak lupa, Raka mengunci kamar Vika agar tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam sana saat Raka pergi menemani Abira. Juga tak lupa menghubungi Nadira untuk meminta tolong menjaga Vika. Abira datang. Raka langsung mengemudikan mobilnya menuju lokasi yang diberikan oleh orang itu. Di perjalanan Abira benar-benar terlihat seperti orang panik. Sesekali Raka menoleh, melihat Abira. Dia mengatakan kepada Abira untuk rileks dan yakin bahwa mamanya baik-baik saja. Mereka tiba di lokasi. Anehnya, bukannya di tempat yang terpencil atau bagaimana, lokasi yang diberikan malah di sebuah restoran yang mewah. Salah satu restoran terkenal ibukota. "Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Raka pada Abira yang dijawab dengan gelengan kepala. Abira sendiri juga tidak tahu mengapa orang yang mengancam itu justru membawa mamanya ke tempat ramai seperti itu. Raka turun dari mobil, membuka bagasi, mengeluarkan tas berisi uang seratus juta. Dia dan Abira masuk ke dalam restoran. __00__ Saat itu Nadira baru saja selesai menggosok baju mengajarnya untuk esok hari. Setelah membaca pesan dari Raka, Nadira langsung memakai hijabnya, bergegas ke rumah Raka. Nadira sendiri sudah memiliki kunci rumah Raka. Raka memberikan kunci cadangan rumahnya kepada Nadira karena sudah percaya kalau dia orang baik. Dan juga jika Vika ingin langsung pulang ke rumah, bisa saja. Karena jam mengajar Raka yang tidak sesuai dengan jam pulang sekolah Vika, pasti Vika akan pulang bersama Nadira. Setelah masuk, Nadira membuka kamar Vika. Sosok yang dia anggap adik tidur dengan pulas. Nadira pun turun, duduk di sofa sambil menyalakan televisi.  Dia melihat jam, pukul sembilan malam. Dia tidak tahu kemana Raka pergi. Dan Raka pun tidak memberitahukan kalau dia hendak pergi ke mana. Nadira memutuskan untuk menonton televisi sambil menunggu Raka pulang. "Bu Nadira?"  Mendengar suara itu membuat Nadira melihat ke atas. Ternyata Vika dengan wajah bantalnya, mengucek mata, berjalan turun dari tangga menghampirinya. "Ibu sejak kapan di rumah? Bukannya Ibu udah pulang, ya?"  Nadira tersenyum. "Ibu baru datang karena ada hal penting." Vika duduk di samping Nadira. "Mas Raka ke mana?" "Pak Raka keluar sebentar, mau beli makanan katanya. Kamu kenapa bangun?" "Vika laper, Bu." Vika menguap.  "Laper?" Nadira bangkit. "Ayo, biar ibu masakin." Digandeng Nadira, mereka berdua berjalan ke dapur. Vika duduk di meja makan, melihat Nadira yang hendak menyiapkan makanan untuknya. Nadira memasang celemek. Dibukanya kulkas, sudah terisi penuh. Tidak muluk-muluk, Nadira ingin memasak ayam goreng saja. Diambilnya ayam bagian paha satu potong, dicuci bersih. "Kok cuman satu, Bu? Ibu gak laper emang?"  Nadira menggeleng. "Ibu udah makan, Vika. Kan cuman buat kamu aja, satu cukup dong." Vika mengangguk. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD