Bab 40. Gagal

1579 Words
Doni menggaruk kepalanya frustasi. Benar dugaannya ternyata. Rencana yang Rio jalankan tidak berhasil. Sekarang, alih-alih mendapatkan Abira kembali di tangannya, mamanya jadi ikutan menanggung malu. Masalah pasti sudah menunggunya di rumah.            Tampaknya mengikuti rasa ragu itu tidak semuanya salah. Itu terbukti sekarang. Biasanya Doni selalu menafikan rasa ragu yang hadir dalam dirinya. Sama seperti saat rasa ragu itu datang sewaktu mereka masih di rumah Rio. Doni sudah enggan untuk menjalankan rencana tersebut dan ingin membatalkannya. Mungkin, kalau tahu jadinya bakal seperti ini, dia akan langsung membatalkannya saja.            Dita turun dari tempat tidur, mengambil tasnya di atas nakas. “Mama tunggu di rumah.”            Fadli dan Bagas saling tatap. Mereka berdua memiliki firasat yang serupa bahwa Doni pasti bakal diamuk habis-habisan oleh mamanya. Bukan hanya itu, Doni pasti akan memarahi mereka juga karena rencana ini tidak berjalan sesuai denga napa yang diharapkan. Erika duduk di sofa sambil berkaca, mengusap semua make-up-nya.            Rio mendekati Doni, menepuk bahunya. “Gue minta maaf, Bro.”            Doni terkekeh. “Gak masalah. Biar nyokap gue yang urus.” Doni mengeluarkan dompetnya, memberikan uang lima ratus ribu pecahan seratus lima lembar. “Nih, makan. Ntar sisanya gue tf.” Usai memberikan uang tersebut, Doni gantian menepuk bahu sahabatnya. Dia pun pergi meninggalkan ruangan itu.            Fadli dan Bagas bertukar pandang lagi, heran. Apa yang merasuki sahabatnya itu sampai bisa tidak marah pada mereka?            Erika berdiri. Dia sudah selesai membersihkan wajahnya.            Doni memang harus menerima konsekuensi bahwa mamanya akan menyita semua fasilitas yang sudah diberikan padanya. Itu tidak bisa terelakkan lagi. Sudah dinyatakan bahwa Doni gagal membuat Abira balikan dengannya.             __00__            Sampai di parkiran, Doni berusaha menghentikan mobil Abira dengan cara mengejarnya.            “Jangan berhenti, Dis. Gue ogah!”            Gladis mengangguk, menekan pedal gas lebih dalam.            Doni mengembuskan napas kasar dari mulutnya sambil berkacak pinggang. Padahal, niatnya mengejar mobil Abira adalah untuk meminta maaf atas tindakan bodohnya barusan. Tapi … sudahlah. Doni memutuskan bahwa itu bisa diurus nanti. Lagipula, dia sendiri memang sudah kehilangan niatannya untuk mengabulkan keinginan mamanya untuk balikan dengan Abira. Fokus Doni sekarang adalah menemukan Putri. Perempuan ular itu, harus segera dia ketahui rencana apa yang tengah dia siapkan. Masih di prinsip awal. Manusia tidak mungkin secepat itu berubah.            Doni masuk ke mobilnya. Dia akan pergi ke rumah temannya Putri untuk kedua kalinya. Sesuai apa yang dia katakan pada Sinta waktu itu, dia tidak akan kapok dan akan terus datang ke sana sampai Sinta mau memberitahunya di mana Putri tinggal.            Peringai Sinta yang seperti itu juga menimbulkan daya tarik yang lain terhadapnya. Salah satu faktor x yang mendasari kenapa Doni tidak langsung melakukan k*****s karena dia ingin mengenal Sinta lebih dalam agar bisa lebih dekat dengannya. Gadis cantik yang masih jual mahal padanya itu, menantang Doni untuk bisa menaklukkannya.             __00__            Di kelokan, Raka melihat dari kaca mobil transparan milik Abira bahwa sang pemilik ditemani sahabatnya baru saja keluar dari rumah sakit. Tiba-tiba saja tanda tanya langsung timbul di kepala Raka. Apa yang Abira lakukan di rumah sakit itu lagi? Apakah ada keluarganya yang sakit? Ataukah dia menjenguk ibunya untuk kali kedua?            Raka membelokkan setir mobil, memarkirkan mobilnya.            Vika turun terlebih dahulu, kemudian Raka menyusul, menggandeng tangan adiknya.            Sampai di ruangan, Vika langsung berlari mendatangi Aisyah yang masih terbaring di tempat yang sama selama sepuluh tahun lamanya. Vika memeluk ibunya, meletakkan kepalanya tepat di d**a sambil berkata, “Ibu … Vika kangen. Ibu kapan mau bangun? Vika gak mau liat Ibu tidur terus.”            Raka tak kuasa menahan air matanya agar tidak menerobos keluar. Gagal. Air mata berhasil menerobos keluar. Raka cepat-cepat mengusapnya. Kalimat dari anak yang sepuluh tahun lalu masih berusia 4 tahun, namun harus dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya mengalami kecelakaan tragis. Anak yang bahkan makan saja masih harus dibujuk, mandi masih dimandikan, apa-apa yang seharusnya ditemani orangtua, tidak Vika dapatkan sama sekali. Dan sekarang, Vika sudah berusia empat belas tahun, namun sang Ibu masih belum bisa dia rasakan bagaimana kasih sayang ibu itu.            Raka berjalan pelan, menghampiri adiknya. Diusapnya kepala Vika lembut.            Vika mengangkat kepalanya. “Ibu bakal bangun lagi kan, Mas?” tanya Vika. Matanya sudah berair. Pipi Vika yang sebelum pergi tadi dihiasi rona merah kini rona itu menghilang digantikan dengan aura kesedihan yang teramat dalam.            Raka mengangguk. “Pasti. Ibu pasti bisa bangun lagi. Kita harus sabar, ya.”            Vika beralih memeluk tubuh Raka.            Raka mengelus kepala adiknya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya jika Raka yang ada di posisi Vika saat ini. Sepuluh tahun lalu, Raka berusia 17 tahun. Masa-masa mengenal dunia lebih dalam versi Raka diawali dengan kecelakaan kedua orangtuanya. Raka terpaksa harus menitipkan adiknya ke tetangga setiap mau pergi sekolah. Pulang sekolah, Raka akan menjemput Vika. Di rumah, Raka harus mencari sumber pencarian agar bisa menghidupinya dan juga Vika. Uang yang orangtua mereka tinggalkan, Raka enggan memakai itu. Menurut Raka, lebih baik uang tersebut disimpan untuk dijadikan uang sekolah Vika nanti.            Masa-masa itu berhasil Raka lewati. Meski cukup berat, namun Raka berhasil bertahan untuk mencapai posisinya sekarang. Dengan segala beban yang dia tanggung, Raka berhasil menjadi lulusan terbaik dan berhasil menyandang gelar dosen saat ini.            Raka mencium pucuk kepala Vika. “Kamu temani Ibu dulu, ya. Mas mau cari makan siang.”            Vika melepas pelukannya, mengangguk. Dia duduk di kursi, Raka keluar mencari makanan untuk mereka berdua.            Saat keluar dari ruangan, secara kebetulan dr. Nirmala juga hendak masuk ke dalam. Saat melihat Vika ada di sana, dr. Nirmala langsung menunjukkan air muka bersalah. Raka cepat-cepat mencegah mulutnya untuk meminta maaf.            “Tidak perlu seperti itu, Dok. Saya paham.”            Dr. Nirlama tersenyum. “Bapak harus yakin. Ibu Aisyah pasti bisa bangun kembali.”            Raka mengangguk, berpamitan. Dr. Nirmala saat itu hendak memeriksa bagaimana perkembangan Aisyah sekaligus menyapa Vika. Raka melanjutkan perjalanannya keluar untuk mencari makanan. __00__            “Lo gak papa kan, Ra?” tanya Gladis sambil melirik sahabatnya.            Abira terkekeh. “Apaan sih lo. Gue biasa aja kali.” Abira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajahnya yang tadi terlihat kecewa berubah ceria kembali. “Gue sengaja [ura-pura kecewa. Ya kali gue mau balikan sama anak manja kayak Doni.”            Gladis menghela napas. Syukurlah Abira tidak benar-benar dalam mode kecewa. Kalau iya, bisa-bisa nanti segala kekesalannya bakalan berimbas padanya.            “Lo laper gak?” tanya Abira. Tadi pagi dia memang sudah sarapan bubur yang dibelikan Raka. Namun, karena dia kesal akibat ulah bodoh Doni dan teman-temannya, perutnya terasa lapar.            “Laper, sih ….”            “Makan di rumah atau di tempat?”            “Tempat!” seru Gladis riang. Makan gratis            “Oke.”            Sampai di rumah, pas sekali waktunya. Pesanan makanan mereka tiba berbarengan dengan mereka yang sampai di rumah. Abira turun dari mobil, menerima pesanan dan membayarnya. Tak lupa memberikan tip kepada Mas kurir sebesar lima puluh ribu.            “Mbak, uangnya—”            “Ambil aja, Mas. Anggap aja hadiah.”            “Makasih, Mbak.”            Abira melempar senyum, kemudian menggandeng Gladis menuju kamarnya.            Makan mereka lahap sekali. Dua-duanya pecinta ayam goreng. Apalagi bagian paha. Bukan cuman ayam yang mereka pesan, ada pizza, minuman boba, dan kentang goreng. Abira memang tidak kecewa, tapi, dia kesal karena Dita sampai ikut-ikutan melakukan hal bodoh yang anaknya rencanakan demi anaknya agar bisa balikan dengan Abira. Itu membuatnya tidak habis pikir kenapa Dita bisa sebodoh itu mau ikut-ikutan.            Tapi, dengan menghabiskan makanan yang sudah mereka pesan, Abira melupakan sejenak rasa kesalnya.            “Ra, ngomong-ngomong … kan lo udah deket nih ya sama Pak Raka.” Gladis mengatakan hal tersebut sedikit gugup. Karena dia sendiri tahu kalau itu adalah hal yang sensitif dari cinta beda agama.            “Hm.” Abira menjawab sambil menguyah ayam di mulutnya.            “Pak Raka udah tau kalau lo sama dia beda agama belom?”            Jleb!            Abira tersedak. Cepat-cepat dia memasukkan sedotan ke dalam minumannya, menimun sebanyak-banyaknya untuk menghilangkan penyebab tersedaknya.            “Gue … gak salah ngomong, kan?” tanya Gladis takut-takut. Jika ditinjau dari suasana yang tiba-tiba terasa berubah, nampaknya Gladis seharusnya tidak usah mengatakan hal tersebut.            “Gue gak mau mikirin itu sekarang, Ra. Udah, kita lanjut makan aja.”            Bohong kalau Abira tidak memikirkan hal tersebut sekarang. Sejujurnya, itu sudah menjadi salah satu yang menggangu kepala Abira sejak pertama kali bertemu dengan Raka sehabis jogging pagi hari minggu bersama Gladis. Tapi, Abira selalu menjauhkan pikiran itu, berusaha untuk tidak memikirkannya karena menurutnya itu adalah hal yang bisa membuat segalanya berakhir. Abira tidak menginginkan itu sama sekali. Tapi, sekarang, saat Gladis menyebutkan itu kembali, berhasil membuat otak Abira berpikir dan beberapa hari ke depan akan terus memikirkan hal tersebut.            Abira tidak boleh kelihatan seperti memikirkanya. Dia akan mencoba untuk biasa saja.            Usai menghabiskan makanan, Gladis yang membuang semua bungkus-bungkus ke tempat sampah yang ada di dapur. Abira turun ke bawah, duduk di ruang tamu, menyalakan televisi. Masih pukul dua sore, weekend mereka harus berjalan seru.            Namun, tiba-tiba ponsel Gladis berbunyi. Telepon masuk dari ibunya.            Siti menelepon meminta tolong kepada Gladis untuk mengantarkan pakaian ke pelanggan.            “Gue minta maaf ya, Ra. Gue harus pulang.”            Abira berdiri. “Tunggu, gue ikut.”            “Lo mau ikut gue nganter jahitan?”            “Iya. Kenapa? Emang gak boleh?”            “Boleh-boleh.” Gladis hanya merasa aneh saja kenapa tiba-tiba Abira mau ikut dengannya mengantarkan jahitan pelanggan.            “Oke. Lo tunggu di depan, ya. Gue mau ngambil jaket dulu.”            Gladis mengangguk. Dia keluar rumah.            Cepat-cepat Abira naik ke atas untuk mengambil jaketnya. Abira tidak mau hari minggunya berakhir begitu saja. Saat mendengar kata jahitan, tiba-tiba saja terbesit di kepalanya sesuatu.            “Let’s go!”            Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Masih Gladis yang menyetir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD