Bab 14. Ratna

1016 Words
Saat Adzan subuh dikumandangkan, Abira terbangun. Sesuatu yang mengganjal di hatinya saat mendengar kalimat-kalimat dalam bahasa Arab itu membuat hati Abira merasa tenang. Ini bukan kali pertamanya merasakan itu. Sudah sering. Dan setiap kali adzan subuh dikumandangkan dari musholla kompleks, Abira selalu terbangun, berjalan membuka jendela kamarnya, menikmati mendengar kalimat-kalimat yang artinya tidak sama sekali dia pahami, hingga selesai seperti sekarang ini. Abira menghirup udara segar di pagi hari. Dia menatap seluruh permukaan tanah sejauh matanya memandang. Langit masih gelap. Bintang-bintang dan Bulan terlihat indah sebagai penghias langit. Rumah-rumah berjejer tersusun rapi. Beberapa terlihat menyala lampunya, menandakan bahwa yang tinggal di sana sudah bangun. Ini adalah salah satu kegiatan yang rutin Abira lakukan. Menikmati udara pagi hari sambil mendengarkan azan. "Papamu bilang, dia ingin kalau nanti orang-orang yang dia sayang sakit, dia yang mengobati." Abira tersenyum. Tiba-tiba kalimat mamanya kemarin siang terlintas kembali di pikirannya. Sungguh, Abira merasa itu sebuah cita-cita yang sangat mulia. Tapi, sayangnya, itu tidak bisa terwujud lagi sekarang.  Tanpa sadar, air mata Abira lolos dari bendungan. Cepat-cepat dia mengusap pipinya yang sudah terlanjur basah oleh air mata. Dia tidak boleh menangis. Tidak boleh. Papanya pasti sudah tenang di sana.  Usapan terakhir, Abira melihat sosok yang menjadi targetnya sedang bergandengan tangan dengan seorang wanita. Tidak salah lagi, itu pasti adiknya Raka yang diceritakan mamanya.  Abira memperhatikan dengan seksama. Terlihat Raka tersenyum sambil menatap wajah adiknya. Kelihatan sekali kalau Raka sangat menyayangi adiknya. Kalau dengan adiknya saja sebegitu sayangnya, lantas, bagaimana dengannya nanti jika sudah resmi menjadi istri Raka?  Abira menutup mulutnya, tersenyum geli menyadari pikiran anehnya sendiri. Bisa-bisanya sudah sejauh itu dia menghayal. Di balik baju Koko putih, sarung coklat, dan kopiah hitam, Raka terlihat semakin tampan. __00__ Vika sudah selesai mandi dan berganti seragam. Berhubung ini hari Kamis, jadi dia masih mengenakan seragam batik yang kemarin.  Raka tidak sarapan hari ini. Dia puasa—puasa Senin-Kamis. Jadi, Vika sarapan seorang diri di meja makan. Sedangkan Raka, duduk di ruang tengah, membaca koran pagi. Dapur dan ruang makan tidak jauh. Masih kelihatan satu sama lain.  "Mas, tapi kalau Bu Nadira beneran kirim sama Mas, Mas mau, kan?" tanya Vika di sela-sela sarapannya. "Mau apa?" Raka menjawab. Matanya masih terfokus pada barisan-barisan huruf. "Ya itu, Mas … Mas mau kan nikah sama Bu Nadira?" Raka menghentikan sejenak membaca korannya. Dia menoleh, melihat adiknya. "Kamu ini ada-ada aja. Lagian Bu Nadira juga gak bakalan mau sama Mas." "Jodoh kan gak ada yang tau, Mas." "Mas tau, tapi untuk menikah, Mas belum kepikiran ke sana. Masih banyak yang harus Mas kerjakan." "Kalau bisa dikerjakan bareng istri, kan gak ada salahnya, Mas." Vika nyengir kuda. Bisa-bisanya ada saja bantahannya. Raka geleng-geleng kepala. Dia melipat kembali korannya, meletakkannya di atas meja. Dia berdiri, mendatangi Vika ke meja makan. "Nih ya, Mas kasih tau. Bu Nadira itu orang terpelajar. Dia pasti bakal mencari calon suami yang juga sama sepertinya—" Vika meletakkan sendoknya. "Nih ya, Mas, aku kasih tau. Apa yang kurang dari Mas coba? Ganteng? Iya. Pintar? Iya. Sholeh? Iya. Suara bagus, tajwid bagus. Apa lagi coba?" Raka menelan ludahnya. Adiknya kenapa jadi galak begini? "Mas pasti belum bisa ngelupain Mbak Ratna, kan?" Kalimat yang barusan Vika keluarkan dari mulutnya sukses membuat wajah Raka berubah seratus delapan puluh derajat. Raka tidak mengatakan apapun. Bibirnya terkunci rapat. Kenangan kelam tiga tahun lalu kembali muncul di kepalanya. __00__ "Woi, Dis. Bangun ah. Lo gak berubah ya. Masih aja coplay babi mati kalo tidur." Abira mengguncang tubuh sahabatnya. Penyakit Gladis tak kunjung sembuh. Susah sekali dibangunkan kalau sudah tidur. "Apaan sih, Ra? Lo hobi banget sih gangguin gue tidur." Gladis mengatakan itu masih dengan mata tertutup dan nada kesal. Abira menghela napas panjang. Bisa-bisanya Gladis bilang kalau dia mengganggu dia mengganggu tidurnya.  "Oke. Terserah, Lo mau terlambat atau nggak itu bukan urusan gue. Gue mau pergi ke kampus." "TUNGGU!" Abira menutup kedua telinganya. Jeritan Gladis bisa membuat gendang telinga siapa pun yang mendengarnya pecah. Kuat sekali. Gladis lompat dari tempat tidur, masuk ke dalam kamar mandi. "Lo tungguin gue, Ra!" jerit Gladis dari dalam kamar mandi. Ini yang Abira tidak suka. Sudah susah dibangunkan, sekalinya bangun malah buat lama. Siapa lagi kalau bukan Gladis. "Gue kasih waktu sepuluh menit. Lebih dari itu gue tinggal." "Parah banget lu. Sepuluh menit gue mandi apaan?" "Bodo amat!" Abira memeriksa riasan wajahnya di cermin. Setelah memastikan sudah perfect, dia pun keluar dari kamar untuk sarapan. Di bawah, Monica sudah menunggu di meja makan. Bi Ijah juga ada di dapur sedang mencuci piring kotor. "Bibi gak makan?" tanya Monica. Bi Ijah menjawab sambil tangannya mencuci piring. "Makan aja, Nyonya, Bibi mah bisa nanti-nanti." Abira menghampiri Bi Ijah, memeluknya dari belakang. "Bibi harus makan kalo mau kerja. Ntar kalo Bibi sakit siapa yang buatin bubur buat Bira?"  Bi Ijah tersenyum, menghentikan kegiatan mencuci piringnya. Bi Ijah mencuci tangan. "Iya. Bibi makan, deh." Abira mengecup pipi wanita yang berusia 50 tahun itu, kemudian bergabung di meja makan. "Kamu stroberi atau kacang, Ra?" tanya Monica. Dia tengah memegang roti yang siap untuk diolesi selai. "Kacang, deh, Ma." "Kalau Bibi?" Bi Ijah yang baru saja duduk langsung menolak. "Gak apa-apa, Bi. Udah, Bibi mau rasa stroberi atau kacang?" "Tapikan Bibi gak enak." "Bibi kan juga anggota keluarga di sini." "Beneran?" Abira tersenyum, memegang tangan Bi Ijah. "Iya, Bi." "Bibi rasa stroberi aja." Usai memberikan piring berisi dua potong roti yang sudah diolesi selai kacang kepada Abira, Monica mengoleskan roti lagi sesuai pilihan BI Ijah. Gladis berlari menuruni tangga. Dia takut ditinggal beneran oleh Abira. Melihat Abira masih sarapan, dia segera menghela napas lega. Untung saja Abira tidak benar-benar pergi duluan. "Ayo, Dis, sarapan." "Iya, Tante." Gladis menarik kursi, ikut bergabung. "Kamu mau selai rasa apa?" "Eh, gak usah, Tan. Biar Gladis sendiri aja." "Tante tidak menerima penolakan hari ini," ancam Monica bercanda. "Stroberi deh, Tan." "Mau berapa? Satu? Dua? Atau lima?" "Dua aja deh, Tan." Abira tersedak ringan. Dia segera meminum s**u. "Tumben. Kesambet apaan lo?" Gladis menginjak kaki Abira, memberinya kode untuk jangan menyambung omongannya. Abira menggigit bibir menahan sakit di kakinya. "Ini buat kamu." Monica menyerahkan dua potong roti di atas piring. "Terima kasih, Tante." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD