Bab 4. Minta Tumpangan

1284 Words
Suara pintu ditutup. Abira melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Tidak terkira rasa senangnya malam ini. Mamanya juga memiliki pendapat yang sama tentang tetangga baru mereka. Dosen yang tadi siang Abira siram dengan air mineral, yang membuat Abira kesal, ternyata juga memiliki image yang serupa di mata mamanya. Monica bilang kalau Raka adalah target yang paling top dibandingkan mantan-mantan Abira lainnya. Anak mana coba yang tidak senang dan bahagia jika memiliki orang tua yang satu frekuensi dan selalu mendukung apa pun yang anak itu inginkan? Abira menggulir layar ponselnya, memperhatikan wajah Raka. Foto yang diunggah di laman instagramnya tidak banyak, hanya ada lima buah foto. Tapi, semuanya terlihat sangat tampan. Foto pertama: Foto Raka mengenakan setelan jas hitam dan dasi coklat berdiri di samping mobil Toyota Fortuner yang Abira halangi jalannya tadi siang. Dengan setelan jas itu, Raka terlihat sangat gagah sekali. Abira men-zoom foto, memperhatikan setiap inchi bagian wajah Raka. Rahang tegas, lesung pipi yang tercetak jelas, kacamata yang membuat penampilan Raka semakin menawan. Abira tersenyum sendiri. Mengapa bisa Tuhan menciptakan makhluk sesempurna Raka? Dan kenapa dia baru muncul sekarang? Hingga melihat foto terakhir, senyuman di wajah Abira tak kunjung lepas. Dia memeluk ponselnya. Apa pun ceritanya, dia harus segera menaklukkan Raka. Ya … Raka harus menjadi miliknya. Toh, bukan masalah besar baginya. Selama ini Abira bisa dengan mudah menaklukkan banyak pria. Lagipula dia sudah putus dengan Doni seminggu yang lalu. Jadi, statusnya jomblo sekarang. Ponsel Abira bergetar. Panggilan masuk dari Gladis. “Halo, Gladis?” “Anjir lo memang, ya! Pokoknya gue gak mau tau, lo wajib traktirin gue seminggu ke depan. Kalo nggak, mobil lo gak bakal gue balikin!” Abira terkekeh. Di kepalanya sekarang terbayang bagaimana ekspresi kesal Gladis karena ditinggal di tempat parkir. Dan yang paling menyebalkan, Abira malah menyuruh Gladis untuk membawa mobilnya ke bengkel dan dia pulang naik taxi. “Kok lo malah ketawa sih? Gue serius tau!” “Iya, iya. Udah lo tenang aja, gue bakal traktirin lo sampe perut lo meledak.” “Oke. Gue pegang janji lo. Ya udah, gue mau pulang, nih. Capek gue digodain abang-abang bengkel.” Sambungan telepon diputus. Urusan mobil sudah selesai. Abira melirik jam dinding. Pukul tujuh lewat lima belas menit. Waktunya untuk mandi. __00__ Suara alarm ponsel membangunkan Abira setengah jam yang lalu. Pagi ini semangat di dalam diri Abira sangat membara. Ya … siapa coba yang tidak bersemangat melihat wajah tampan Raka? Wajah yang membuatnya meleleh tadi malam ketika memandangi fotonya. Usai mandi dan berpakaian, Abira duduk di depan meja rias, apalagi kalau bukan merias wajahnya. Seperti biasa, tipe make-up Abira yang simpel-simpel saja. Menurutnya wajah cantiknya saja sudah cukup. Sedikit dipoles bedak, lipstick, dan goresan celak di alis, sudah cukup. Bagi Abira make-up yang terlihat natural jelas lebih elegan. Tas sudah selesai. Buku-buku yang harus dibawa ke kampus sudah Abira bereskan tadi malam sebelum tidur. Sekarang waktunya turun, sarapan. Di meja makan Monica sudah duduk sembari mengoleskan selai stroberi ke roti. “Pagi, Anak Mama yang cantik!” sapa Monica ketika mendengar suara derap langkah di tangga. “Pagi, Ma!” Abira mencium pipi kanan-kiri mamanya. Abira menarik kuris, duduk. Monica menyerahkan piring berisi dua potong roti yang sudah diolesi selai stroberi. “Thank you, Ma.” “Oh iya, Ra. Kamu berangkat naik apa hari ini? Mobil kamu masih di bengkel, kan?” Abira menelan roti di dalam mulutnya. “Ada deh. Doain aja lancar.” Abira tersenyum jahil di akhir kalimatnya. Monica langsung paham apa yang dimaksud anaknya. Selanjutnya acara sarapan pagi itu diselingi dengan pembicaraan seputar rencana mamanya untuk membuka butik baru. Monica bilang dia sudah menemukan tempat yang strategis. Monica juga sudah membeli tempat yang akan dijadikan butiknya nanti. Abira mendukung ide mamanya itu. Lagipula ketimbang mamanya seorang diri di rumah, melebarkan sayap bisnis menjadi pilihan yang benar untuk dilakukan. Acara sarapan pagi selesai. Abira berpamitan dengan mamanya. Cahaya matahari langsung menimpa wajah Abira begitu dia keluar dari rumah. Dia melirik ke kanan, melihat halaman rumah Raka, memastikan mobilnya masih ada atau tidak. Abira mengepalkan tangannya seraya berkata yes! di dalam hati karena mobil fortuner putih milik Raka terparkir di sana. Itu artinya niatnya untuk menumpang dengan Raka akan terwujud. Abira diam di tempat, menunggu Raka keluar. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Perasaan belum ada satu menit Abira menunggu, Raka sudah keluar dari rumah membawa tas jinjing hitam. Abira berlari mengejar Raka. “Pak, Pak, Pak!” Abira mengetuk jendela mobil Raka. Raka menurunkan jendela. “Kamu?” Jujur saja, Raka masih merasa kesal dengan apa yang Abira lakukan padanya kemarin siang. Siapa yang tidak kesal coba jika disiram tiba-tiba tanpa tahu apa kesalahan yang diperbuat. Nah, masalahnya ke jadian kemarin siang itu Abira yang salah, bukan Raka. Abira yang berdiri di tengah jalan, menghalangi Raka yang ingin masuk ke jalan raya. Saat diklakson, malah Abira yang marah-marah tidak jelas. “Pak, saya ikut Bapak ke kampus, ya…” Abira menyatukan kedua telapak tangannya sebagai simbol permohonan. Tanpa berpikir panjang, Raka langsung menjawab, “Tidak bisa. Kamu bisa naik taxi, kan?” Raka menekan tombol, menutup kaca kembali. Bukan Abira namanya kalau menyerah di percobaan pertama. Dia menahan jendela mobil Raka dengan tangannya. “Pak, saya mohon… Saya numpang, ya.” Raka menghela napas. Dia juga tidak bisa memberi tumpangan sembarangan kepada Abira. Abira sendiri adalah mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Apa jadinya nanti jika banyak orang melihat Abira keluar dari mobilnya. “Tidak bisa, Abira,” Raka berkata lebih lembut. “Kamu naik taxi saja, ya. Biar saja kasih uangnya.” “Pak, please!” Abira memasang wajah memelas. Raka menghela napas. Gadis yang mencegatnya ini keras kepala ternyata. Tampaknya dia memang harus mengalah. “Baiklah. Tapi kamu saya turunkan di persimpangan dekat kampus.” Senyum mekar di wajah Abira. Buru-buru Abira menyembunyikan senyum itu. “Oke, Pak!” Itu pilihan yang bijak. Terus menolak Abira juga tidak akan menyelesaikan masalah karena gadis itu keras kepala. Hanya sampai persimpangan. Raka akan menurunkannya di sana. “Eh, kamu ngapain?” tanya Raka saat Abira hendak duduk di sampingnya. “Kenapa, Pak?” “Di belakang.” Abira memasang wajah misuh. Kalau begini sama saja seperti sedang naik grab. Dia menarik napas. Tidak apa, Abira. Ini masih permulaan Sejak duduk di bangku SMA dan mengenal kata pacaran, Abira memulai perjalanan cintanya. Ya. Menurutnya tidak ada satu pun laki-laki di dunia ini yang akan menolak perempuan cantik, berprestasi, seperti dirinya. Gonta-ganti pacar menjadi hobi baru Abira. Baginya … satu laki-laki saja tidak cukup. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Abira pacaran. Dan di antara semua laki-laki yang sudah dia pacari, baru inilah dia menemukan laki-laki yang sangat berkharismatik seperti Raka. Itulah mengapa Abira akan berusaha sekuat tenaga yang dia bisa untuk menaklukkan Raka. Sepanjang perjalanan, Abira berusaha mengajak ngobrol Raka. Bukannya malah senang, Abira justru lama-kelamaan menjadi kesal. Raka hanya menjawab: ya dan tidak. Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutnya, padahal Abira panjang lebar berbicara. Abira menyemangati dirinya. Prinsipnya itu tidak akan pernah salah. Abira hanya perlu bersabar dan Raka akan jatuh ke dalam pelukannya cepat atau lambat. Berhasil menumpang pergi ke kampus sudah menjadi lampu hijau untuk rencana-rencana berikutnya. Abira harus mensyukuri hal itu. Itu yang Abira lakukan untuk menyemangati dirinya. Sesuai perjanjian, Raka benar-benar menurunkan Abira di persimpangan dekat pintu masuk kampus. “Tanggung lho, Pak. Gak sekalian ke dalam aja?” “Tidak bisa, Abira! Ini hari kedua saya mengajar di kampus ini. Kamu mau membuat citra saya buruk?” Abira mendengus kesal. Meskipun berencana mendapatkan Raka, Abira masih bisa berpikir logis. Apa yang Raka katakana benar. Bukannya malah bisa mendapatkan Raka, yang ada Raka malah semakin jauh darinya jika diusir dari kampus. Enggan sebenarnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya Abira keluar dari mobil dengan perasaan kesal. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD