Bab 16. Perang

2112 Words
“Hati-hati, ya, Sayang.” Dita mengecup pipi kanan dan kiri laki-laki yang usianya di bawahnya dua puluh tahun dengan mesra. Juga menyatukan kedua bibir mereka selama dua detik. “Jangan lupa makan, ntar sakit.” Laki-laki itu mencolek hidung Dita gemas. Di ruang tengah, Bi Tiem yang saat itu tengah merapikan sofa sekaligus menghilang noda bekas perbuatan dosa mereka berdua, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sudah berkepala empat, sebentar lagi akan berkepala lima, bukannya malah bertobat, malah semakin menjadi-jadi. “Astaghfirullah.” Cepat-cepat Bi Tiem mengucap. “Ya Allah, maafkan hamba.” Bi Tiem mengalihkan pandangannya, fokus pada pekerjaan. Dia memungut bantal sofa yang terjatuh di bawah, diletakkan dan disusun kembali. Kemudian selimut yang sudah kusut sekali. Bi Tiem sadar akan posisinya sebagai pembantu. Selain itu memang pada dasarnya, sesame manusia tidak boleh membicarakan orang lain. Biarlah apa yang mereka perbuat, menjadi urusan mereka dengan Sang Khalik. Manusia sendiri tidak punya hak atas itu. Setelah semua bantal sofa selesai disusun, dan meja kaca juga sudah dibersihkan, gelas-gelas dan botol minuman keras juga sudah dibawa ke dapur. Selesai. Bi Tiem tinggal mengepel saja dan mencuci selimut. Dita mengantarkan ‘pacarnya’ sampai ke depan. Dia mengecup tangannya sebagai tanda kissbye, kemudian melambaikan tangan hingga mobil laki-laki itu hilang ditelan kelokan. Setelah itu Dita masuk ke dalam rumah. Dengan pakaian yang lebih layak untuk digunakan anak muda, Dita percaya diri tampil seperti itu. Pagi ini jadwalnya lumayan padat. Setengah jam lagi dia harus pergi ke bandara untuk urusan bisnis. Dan yang akan dia lakukan sebelum berangkat adalah sarapan terlebih dahulu. Dita berjalan menuju ruang makan. Bi Tiem sedang mengikat plastik sampah, bersiap meletakkannya di luar untuk diangkut mobil sampah. Sebelum keluar, Bi Tiem memasukkan plastik sampah baru terlebih dahulu ke tos sampah. “Bi, masa kapa hari ini?” tanya Dita. Dia menarik kursi, beranjak duduk. “Bibi masak makanan favorit Tuan Doni, tapi dia buru-buru, jadi gak sempet sarapan deh.” “Buru-buru? Mau ke mana emangnya?” “Bibi juga gak tau atuh, Nyonya. Tapi keliatannya mau ketemu sama temen-temennya. Tuan Doni juga cuman bawa tas samping aja.” Dita membuka tudung saji. Benar, Bi Tiem masak nasi goreng cumi plus udang—kesukaan anaknya. “Ya sudah, Bi. Dan satu lagi.” Bi Tiem menghentikan langkahnya, menunggu Dita melanjutkan kalimat. “Nanti saya kayaknya bakalan pulang malem. Tolong bilangin sama Doni, suruh dia telpon saya, ya.” “Baik, Nyonya.” __00__ Raka baru saja hendak membuka pintu mobil ketika ponselnya berdering. Ada sebuah telepon masuk dari orang yang selama dua minggu terakhir dia tunggu teleponnya. “Ya, halo, Dok?” “…” “Alhamdulillah. Baik, Dok. Setelah mengajar saya akan segera ke sana.” “…” “Serius, Dok? MasyaAllah. Terima kasih, Dok, terima kasih banyak.” “…” “Waalaikumsalam.” Tidak terkira bagaimana senangnya Raka hari ini. Selama dua minggu terakhir dia menunggu kabar dari dr. Niramala, akhirnya hari ini kabar yang datang justru melebihi ekspektasinya. Raka gembira sekali. Sangat-sangat gembira. Dia mengucapkan terima kasih kepada Allah, kemudian baru keluar dari mobil, berjalan menuju ruangannya. Sepanjang jalan orang-orang bisa melihat bagaimana aura senang yang Raka pancarkan. Beberapa mahasiswi yang tadinya hendak meminta foto, mengurungkan niat mereka. Entahlah, seperti ada yang membisikkan di telinga mereka agar jangan mengganggu kesenangan Raka hari ini. Setibanya di ruangan, ada yang membuatnya tertarik. Sebuah kue coklat yang di sampingnya ada sebuah surat. Raka mengambil surat itu, kemudian membacanya. Raka tersenyum. Nah, kalau yang ini adalah hal baru yang dia alami di kampus barunya mengajar. Sebelumnya Raka belum pernah bertemu dengan hal semacam ini. Ternyata bukan hanya para mahasiswi saja yang berusaha mengambil hati mereka, ternyata dosen di kampusnya mengajar sekarang, juga ada yang bertingkah serupa. Raka menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Ada-ada saja ulah dosen yang mengiriminya kue itu. Raka melepas jasnya, menyampirkan di sandaran kursi. Raka menyalakan laptop, kemudian membaca sebuah file sampai menunggu jamnya mengajar tiba. Setengah jam kemudian, ada seorang perempuan berusia empat puluh tahun mengetuk pintu ruangan Raka. Tentu saja Raka bisa melihat, karena dinding ruangan Raka kaca. Wanita yang selalu memakai lipstik merah merino itu sudah tersenyum duluan saat Raka melihat ke pintu. “Masuk, Bu.” Senangnya bukan kepalang saat Raka menyuruhnya masuk. Setelah pintu ditutup, sebelum melanjutkan langkah kaki, perempuan itu merapikan diri terlebih dahulu. Kemudian baru datang ke meja Raka. “Jangan panggil, Bu. Panggil Tante aja.” Bagian itu membuat Raka geli sebenarnya. Tapi, dia berusaha bereaksi biasa saja untuk tidak menyakiti perasaan dosen itu. “Kamu udah makan kuenya?” “Belum, Bu. Eh, maksud saya … Tan-te.” Raka butuh sedikit effort untuk bisa mengatakan itu. Jujur, itu sungguh menggelikan. “Kenapa belum dimakan, sih? Gak enak, ya?” “Oh, bukan. Saya sudah makan, jadi masih kenyang. Agak siangan nanti saya makan. Ibu eh, Tante tenang aja.” Raka menelan ludahnya. Kali keduanya mengatakan itu, dan malah makin terasa menggelikan. “Ya udah deh, kalau gitu Tante pergi dulu, ya. Selamat bekerja.” Perempuan yang bernama Lalita itu melambaikan tangan manja pada Raka. Raka hanya membalas dengan senyum kikuk. Konyol sekali. Ini kali pertamanya bertemu wanita dengan bentukan seperti itu. Alhasil, pekerjaan Raka bertambah satu lagi. Dia harus segera mencari tahu siapa perempuan tadi, agar bisa selamat darinya. __00__ “Makasih, ya, Bu, udah mau ajak Vika keliling sekolah.” Vika memeluk Nadira. Nadira balas memeluk, kemudian mengatakan, “Iya, sama-sama.” Vika senang sekali karena sudah diajak mengelilingi satu sekolah dan dikenalkan dengan tempat dan juga guru-guru yang lain. Vika merasa keinginannya ingin punya kakak sudah tercapai lewat Nadira. Vika melonggarkan pelukan, menatap wajah Nadira. “Ibu mau gak jadi istri Mas-nya Vika.” Nadira terkekeh, kemudian mencubit pelan hidung Vika. “Kamu ini ada-ada aja.” Mereka berdua tertawa bersamaan. “Ayo, kita ke kelas.” “Ayo, Bu.” Itulah alasan mengapa Nadira menyuruh Vika untuk datang pukul setengah Sembilan pagi, agar bisa mengajaknya berkeliling sekolah, mengenalkan ruangan-ruangan yang ada di Gedung Mts Darul Arifin. Sampai di kelas, Vika langsung duduk di tempatnya. Hari keduanya dan dia sudah tidak sekaku dan segugup kemarin. Meskipun masih tidak berbicara dengan teman sebangkunya, tapi ekspresi dan pembawaan Vika hari ini jauh lebih baik kemarin. Kalau kemarin Vika terlihat gelisah, hari ini Vika terlihat enjoy, dan belajar dengan baik. Nadira tersenyum melihat perubahan yang cepat pada murid baru yang sudah Nadira anggap sebagai adiknya. Seseorang menepuk bahu Nadira, membuatnya kaget. “Asstaghfirullah.” “Kamu liat apaan, sih?” tanya Rinka—ikut melihat ke dalam kelas. Tanpa perlu dijawab Nadira, pandangan mata Lalita melihat Vika. Seketika dia langsung tersenyum dan menggoda Nadira. “Pasti kamu lagi bertindak kan, Bestie?” “Bertindak apaan, sih?” Rona merah muncul di pipi Nadira. “Alah, ngaku deh kamu. Pasti kamu naksir kan sama Mas-nya?” “Apaan sih kamu.” Nadira meninggalkan Lalita. Dia cepat-cepat berjalan menuju ruangannya. Sedangkan Lalita terkekeh karena Nadira bukan pembohong yang baik untuk menyembunyikan gelagak salah tingkahnya. __00__ “Anjing!” Doni memukul geram setir mobilnya. Seorang kakek-kakek yang membawa balon berbentuk macam-macam hewan tiba-tiba menyeberang sembarangan. Doni menurunkan kaca mobilnya. “Woi, punya mata gak sih?!” bentaknya pada kakek itu. Kakek itu kemudian membungkuk-bungkukkan tubuhnya sambil meminta maaf kepada Doni. “Minggir!” Kakek itu menepi. Doni melanjutkan perjalanan. “Nanti ketabrak, gue juga yang salah,” gerutunya sambil menaikkan tuas kemudi. Sampai di parkiran kampus, Doni langsung turun dari mobil dan pergi ke kantin—tempat Rio, Bagas dan Fadli sudah menunggunya. “Itu dia tuh yang ditunggu-tunggu,” ujar Fadli, berdiri menunjuk Doni dari kejauhan. “Dari mana aja lu, Bro?” Rio menjabat tangan Doni. “Lo pasti abis enak-enakan bareng Erika, kan?” Bagas menyikut Doni sambil memainkan alisnya. “Nggak. Enak aja lo asal nuduh!” Bagas terkekeh, kemudian menunjukkan layar ponselnya ke wajah Doni. Terlihat adegan e****s yang mereka berdua lakukan tadi malam. “b*****t lo, Ka. Tunggu aja pembalasan gue!” “Santai, Bro. Erika gak bakalan mau kok sama gue. Kita cuman temenan.” Doni menjitak kepala Bagas. “Temenan, temenan. Lo ngapain coba minta video gue sama Erika?” “Sakit b**o!” Bagas mengusap-usap kepalanya. “Ya buat bahanlah, terus buat apa lagi coba?” “Udah, udah.” Mbok Lastri datang, membawakan pesanan minuman mereka bertiga. “Diminum, Den.” “Makasih, ya, Mbok.” “Sama-sama.” “Punya gue mana?” Rio menyeruput jus jeruknya. “Ya lo pesen sendiri lah.” “Duit lu banyak anjir! Kita mah dibayarin Rio.” “b*****t lo semua. Mbok, Doni pesen s**u hangat, ya.” Fadli tersedak. Jus mangga yang sudah masuk ke dalam mulutnya muncrat keluar mengenai wajah Doni. Doni menghela napas, sabar. Dia mengambil tissue, membersihkan wajahnya. “Kan jadi seger wajah lo, Don.” Alih-alih merasa bersalah, Fadli malah mengatakan itu. “Terus sekarang kita mau bahas apaan?” “Ntar dulu. Kita tunggu satu orang lagi.” Bagas, Fadli, dan Doni langsung menatap Rio. Bagas dan Fadli yang lebih heran. Menunggu satu orang lagi? Siapa? “Tunggu aja.” Rio menaikkan alisnya. __00__ “Lo gak boleh gitu juga kali, Ra.” “Biarin.” Saat menuju ruangan, Abira melihat seorang dosen yang paling genit di Universitas Gunamaju sedang menggoda Raka di ruangannya. Emosi Abira langsung tiba di puncaknya setelah melihat itu. Dia menunda rencananya masuk ruangan sampai Bu Erna keluar dari ruangan Raka. Setelah keluar, Abira berniat untuk melabrak Bu Erna, hanya saja Gladis bertindak cepat, melarang Abira berbuat yang tidak masuk akal. Mau seheboh apa nanti satu kampus kalau Abira sampai melabrak Bu Erna. Gladis menarik paksa tangan Abira ikut masuk ke ruangan. “Harusnya lo gak usah narik tangan gue tadi, Dis. Biar Dosen gatel tadi itu tau rasa!” Gladis menoyor kepala sahabatnya. “Lo kalo mau bertindak itu mikir gak sih? Kalo lo sampai beneran ngelabrak Bu Erna, lo bakal kena sanksi tau gak?” “Bodo amat! Lagian tuh Dosen ya, gak inget umur apa?” Abira benar-benar geram. Apalagi ketika wajah yang mulai keriput milik Bu Erna yang didempul bedak super tebal muncul di benak Abira. Ingin sekali rasanya dia datang menemui Bu Erna dan langsung mencakar wajahnya. Siapa pula dia? Berani-beraninya mendekati laki-laki incaran Abira. Gladis menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. Dia mencoba rileks. Biarlah Abira meracau tidak jelas sekarang. Yang penting, dia sudah berada di ruangan. Jadi, kemungkinan untuk melabrak Bu Erna semakin kecil. Dua jam berlalu. Abira membunyikan buku-buku jarinya. Akhirnya materi mekanika selesai juga. Itu artinya mereka akan berpindah materi di pertemuan selanjutnya. Selama Raka menjelaskan materi tadi, Abira terus menatap wajahnya. Mungkin dia juga lupa untuk berkedip. Melihat Raka mengenakan kacamata itu another level of kegantengannya. Sumpah, kalau saja Abira ditanya, pria mana yang paling tampan yang berhasil merenggut hatinya, maka dia akan menjawab dengan lantang bahwa pria itu adalah Raka. “Baiklah. Sekian, terima kasih.” Bahkan memandangi punggung lebar Raka saja membuat Abira tersenyum lebar. “Dasar cewek sinting,” ejek Gladis saat melihat tingkah Gladis. __00__ Saat keluar pintu, ada satu mahasiswa yang juga mengenakan kacamata mencegat Raka. Jika dilihat dari gayanya, mahasiswa yang satu ini masih baru. Dia bertanya apakah laki-laki yang di hadapannya Raka atau bukan. “Iya, saya sendiri.” “Ada yang mau bertemu dengan Bapak. Di depan.” Raka menepuk bahu mahasiswa itu, tersenyum. “Baik. Saya segera ke sana.” Raka ke ruangannya terlebih dahulu. Hari ini jam mengajarnya hanya yang tadi saja. Dan tadi, saat mengajar, Raka lupa mengenakan jasnya, hanya rompi saja. Jadi, Raka ingin mengambil jas, sekalian meletakkan kembali alat mengajarnya di ruangan, lalu keluar menemui orang yang menunggunya di depan. Lalu setelah itu, Raka akan pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan dr. Nirmala. Begitu keluar Gedung kampus, Raka dipaksa harus menahan emosinya. Dia mengira mungkin orang yang sedang menunggunya karena ada keperluan penting. Ternyata, Bu Erna-lah yang sedang menunggunya. Sambil memegang payung, Bu Erna berdiri tegak, melambaikan tangan ke arah Raka setelah melihatnya. Perasaan Raka tidak enak sekarang. “Halo, Raka.” Dengan nada bicaranya yang sok imut itu, Bu Erna menyapa Raka. “Maaf, Bu. Kami sibuk!” Tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu, Abira menggandeng tangan Raka, menuntunnya berjalan. Sontak saja Raka berusaha melepaskan tangannya dari tangan Abira. Namun, gagal. Abira kencang sekali menggandeng tangan Raka. “Udah, Pak. Mau selamat atau nggak? Pilihan di tangan Bapak.” “Abira! Awas kamu, ya!” Bu Erna melempar payungnya ke sembarang arah. Dia juga mengentak-entakan kakinya ke tanah sebagai perwujudan rasa geramnya akan tingkah Abira yang merusak rencananya untuk meminta tumpangan dengan Raka. Di tempat yang sama, Gladis menggaruk kepalanya frustasi. Tadi, dia pikir dia sudah berhasil mencegah Abira berbuat sembrono. Tapi, sekarang? Abira terang-terangan menyatakan perang dengan Bu Erna. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD