Bab 37. Dari Hati

1005 Words
Raka membeli dua porsi bubur ayam. Mereka menyantap bersamaan. Usai sarapan, Raka langsung mengantarkan Abira pulang ke rumahnya. Di dalam mobil, tidak ada percakapan di sana. Keduanya saling diam, sama sekali tidak berani memulai. Abira masih merasa canggung. Apalagi tentang panggilan Mas itu. Dia masih merasa aneh dan juga malu pada Raka. Sedangkan Raka, masih merasa berbunga-bunga dengan panggilan itu. Jalanan ibukota terasa ramai, padahal baru pukul setengah tujuh. Hari ini hari Minggu, jadi, mereka berdua tidak ada kegiatan. Sama-sama libur. Raka pun tidak perlu mengkhawatirkan mengantar Vika sekolah. Dan di rumah pun sudah ada Nadira yang menjaga Vika. Raka berhenti di depan rumah Abira. Abira turun dari mobil. Raka menurunkan jendela mobilnya. "Makasih, ya," ucap Raka tulus. Berkat Abira, Raka bisa merasa tenang tadi malam. Saat pertama kali melihat langsung Abira dan Monica di satu tempat, seketika membuat Raka teringat akan ibunya—Aisyah. Sepuluh tahun bolak-balik ke rumah sakit, hanya bisa melihat ibunya tercinta terbaring di atas tempat tidur, tak bisa bersuara, tak bisa bergerak, itu membuat hati Raka terasa hancur. Tapi, entah kenapa, tindakan spontan yang terjadi tadi malam, membawa Abira ikut ke rumah sakit untuk melihat ibunya, ucapan yang Abira katakan untuk Raka, itu bisa mengobati rasa sakitnya. Abira menautkan alisnya dengan maksud mempertanyakan ucapan terima kasih Raka barusan atas apa? Abira sama sekali tidak ada melakukan hal yang patut untuk diapresiasi. Justru Abira seharusnya minta maaf atas kejadian tadi malam. Kenapa Raka malah berterima kasih alih-alih marah? Raka tersenyum tipis. "Makasih karena udah mau nemenin saya tadi malam." "Sama-sama, Pak," ucap Abira. Kemudian dia memberanikan diri melambaikan tangan ke arah Raka sebagai tanda perpisahan. Dan yang dilambaikan tangan membalas dengan anggukan kepala. Ingin rasanya Abira menjerit di tempat saat itu juga. Namun, dia terpaksa harus menahannya. Abira tidak boleh melenyot di hadapan Raka, bisa-bisa rusak reputasinya. Hingga menutup pintu rumah, barulah Abira berlari sampai kamarnya, mengunci rapat pintu, menghamburkan tubuh ke atas tempat tidur, menutup wajah dengan bantal, terakhir, menjerit sekuat mungkin. Abira bahagia sekali. Sangat-sangat bahagia. Seperti inikah rasanya diperlakukan dengan baik oleh orang yang kita sukai? Sungguh, Abira tidak bisa mengeles kalau dia sangat gembira. Abira ingat perkataan mamanya dan juga apa yang pernah dia dengar dari orang-orang. Terkadang, sesuatu yang terlihat sederhana bahkan bagi sebagian orang tidak ada harganya, itu justru bisa menjadi lebih berharga di orang yang tepat. Sesuatu yang disampaikan, diberikan dengan tulus dan dari hati, pasti akan langsung sampai ke hati. Dulu, Abira menganggap itu hanya omong kosong belaka. Tapi sekarang, Abira mengerti setelah hal itu terjadi padanya. Perkataan yang dia lontarkan tadi malam, yang membuat Raka berterima kasih atas itu, sama sekali tidak diniatkan untuk menarik simpati Raka. Tapi, murni untuk menghiburnya. Lihat. Apa yang Abira dapatkan? Ucapan terima kasih yang sama tulusnya dengan ucapan semangat yang Abira berikan untuk Raka. Pintu kamar diketuk. "Masuk, Ma." Abira tahu kalau yang mengetuk pintu adalah mamanya. Begitu masuk, Monica langsung memasang wajah menggoda. Dia menatap wajah Abira sambil memicingkan mata sebelah. Abira keheranan. Kenapa mamanya seperti itu? Monica ikut duduk di atas tempat tidur. Tak lupa, Monica menyenggol bahu Abira. "Gimana rasanya?" tanya Monica disertai dengan naik-turun alis. "Rasa? Rasa apa, Ma?" tanya Abira tidak mengerti. "Satu mobil sama gebetan!" Monica tersenyum jahil. Abira langsung tersenyum seketika. Ternyata itu. Mamanya hendak menggodanya. "Mama kok tau sih?" "Ya tau lah." Monica menunjuk pipi Abira. "Pipi kamu merah!" Abira memegang pipinya malu. Lisan boleh mengelak, tapi pipi Abira tidak bisa diajak kompromi. Kalau sudah begitu, Abira tidak lagi bisa mencari kata-kata apa lagi untuk menutupi rasa gembiranya. "Selamat ya, Anak Mama!" Monica memeluk Abira. Abira tersenyum lebar. "Lain kali, ajak dong main ke rumah. Kan Mama juga pengen kenalan sama calon mantu." Abira melonggarkan pelukannya, menatap mamanya tidak menyangka. "Seriusan, Ma?" Monica mengangguk mantap. "Serius dong. Secepatnya kalau bisa!" Abira membuat simbol oke dengan jarinya. "Seep, Ma. Abira bakal ajak Raka makan malam di rumah." "Ya sudah, Mama mau pergi ke rumah Tante Sarah dulu, ya. Kamu mau ikut?" Abira menggeleng. Ada hal yang harus dia urus saat ini. Urusannya kali ini sangat penting. Hampir saja tadi malam jarak antara Abira dan Raka dipertaruhkan. Maka, saatnya Abira harus memberi pelajaran kepada Gladis atas ulahnya itu Monica mencium pucuk kepala Abira. Dia turut merasa senang karena anaknya sudah bisa dekat dengan Raka. Itu tandanya, sebentar lagi Abira akan benar-benar berhasil memenangkan hati laki-laki incarannya. Itu mengingatkannya dulu tentang bagaimana perjuangannya Monica saat memperjuangkan hati Reno untuk didapatkan. Saat itu, rasanya tidak tergambarkan. Dan sekarang, masanya Abira untuk merasakan itu. "Kamu mau apa, Ra?" "Ga usah, Ma. Ntar Abira beli sendiri aja." Monica ber-oh. "Oke. Mama pergi, ya." "Iya, Ma." Saat Monica sudah menutup pintu, Abira pun turun dari tempat tidur, bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Dia harus ke rumah Gladis sekarang. __00__ Abira mengeluarkan uang dua lembar merah pecahan seratus ribu. Diberikannya pada sopir taksi. "Gak kebanyakan, Mbak?" Abira tersenyum. "Gak apa-apa, Pak. Anggap aja hadiah." Abira langsung melangkahi kaki menuju rumah Gladis. Diketuknya pintu. "Permisi." Siti membuka pintu. Dia langsung tersenyum ceria dan memeluk Abira. "Apa kabar Neng Abira?" Siti melihat wajah Abira. "Sehat, kan?" Abira mengangguk. Naira yang saat itu tengah bermain game di ponsel abangnya langsung ke depan ketika mendengar nama Abira disebut. Dia langsung memeluk kaki Abira. Tinggi Naira hanya sepaha Abira. Abira mengacak rambut Naira tanda sayang. "Apa kabar Naira?" tanya Abira lembut. "Baik, Kak," jawab Naira ceria. "Ayo masuk, masuk." Siti mempersilakan Abira masuk. Abira disuguhi teh manis hangat oleh Siti. Lalu Naira? Jangan tanya, dia tengah berjuang membangunkan kakaknya yang sedang cosplay babi mati. Cukup lama. Lima belas menit Abira di ruang tengah duduk sambil mengobrol dengan Siti, barulah Naira keluar menarik paksa kakaknya yang wajahnya masih mengantuk. Yang tadinya Gladis mengucek mata, begitu melihat Abira, langsung terbuka lebar matanya. "A-abira?" Abira memasang senyum tapi matanya menyiratkan emosi yang mendalam. Tanpa meminta persetujuan, Gladis langsung menarik tangan Abira, membawanya ke kamar. Gladis mengunci rapat pintu kamar. "Sakit tau!" ucap Abira ketus memutar-mutar pergelangan tangannya. "Maafin gue ya, Ra. Gue salah." Abira memandangi Gladis dengan tatapan pura-pura marah. "Udah? Itu aja?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD