Damar benar-benar terlonjak, ia tidak menyangka kalau salah satu cara lepas dari misi yang diembannya adalah dengan menikahi Soferina.
Jangankah menikah, berpacaran saja, Damar tidak ingin mencoba melakukannya. Berkomitmen dengan seorang wanita adalah mimpi buruk baginya.
Soferina memahami apa yang berkecamuk di hati dan pikiran Damar, ia hanya memberitahu berbagai cara untuk menghindar dari misi tetua pulau.
"Tenanglah, aku kan hanya memberikan pilihan saja, mana yang menurutmu bisa dilakukan, aku bersedia membantu," ujar Soferina kalem.
Damar merasa tenang kembali, sedikit rasa bersalah muncul. Ia tidak ingin Soferina tersinggung atas penolakannya. Namun, ternyata Soferina mengatakan itu hanya sebagai sebuah opsi. Tidak lebih.
"Baiklah, biarkan itu kita bahas lagi di lain waktu, sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya untuk meningkatkan kesaktian yang ada pada diriku ini?" tanya Damar dengan serius.
"Tujuanmu apa?" Soferina balik bertanya.
"Jujur sih, belum tahu, tapi entah kenapa aku yakin kalau suatu saat akan berguna," sahut Damar seraya menerawang.
"Sangat mudah, setiap kamu menolong kesusahan seseorang, otomatis kesaktianmu meningkat, tapi yang meningkat adalah yang sesuai dengan bentuk pertolongan itu sendiri," papar Soferina.
"Maksudnya ...," Damar tidak paham.
"Saat itu kamu pernah menolong seseorang membayari keluarganya agar bisa keluar dari rumah sakit, nah, yang meningkat padamu adalah proses penyembuhanmu. Semakin banyak kamu membantu orang yang sakit, maka suatu saat kamu akan kebal dari segala penyakit bahkan tidak bisa dilukai," tutur Soferina.
Damar membelalakkan matanya,
"Sungguh?" tanyanya tidak percaya.
Soferina menganggukkan kepalanya.
"Jadi, membantu orang lain yang memang memerlukan bantuan adalah peningkatan kesaktianku?" tanya Damar memperjelas.
Soferina tersenyum mengiyakan.
"Bantu aku untuk mewujudkannya," pinta Damar.
"Ayo, siap membantu," sahut Soferina.
"Perbanyak membela yang benar di kantormu. Sekarang kan kamu bisa melihat mana klien yang tampak benar ternyata bersalah. Begitupun sebaliknya, tidak semua orang berdosa yang mendapatkan tuntutan," tutur Soferina.
Mata Damar berbinar, ia telah membuktikan apa yang dikatakan oleh Soferina dalam lima hari kerja.
"Kalau begitu, senin nanti aku akan mulai memilah dan memilih," sahut Damar dalam senyum yang mengembang.
Menolong orang lain adalah hasrat terbesarnya dari sejak dulu, ia sudah banyak melihat ketidak adilan di negeri ini, terutama mereka-mereka yang lemah baik dari segi ekonomi maupun pendidikan, dengan pasti mereka tergerus oleh yang lebih kuat.
"Bagaimana caranya tahu kalau kesaktianku bertambah?" tanya Damar,
"Semakin tinggi, maka semakin kamu bisa mengendalikannya," sahut Soferina.
"Ayo kita jalan, barangkali kita akan menemukan orang yang butuh bantuan," ajak Soferina.
"Dengan memakai piyama? Bajumu pastinya belum kering loh," ujar Damar seraya melihat tubuh Soferina yang terbungkus piyama bermotif abstrak dengan warna merah.
"Kan aku di mobil, siapa yang akan memperhatikanku memakai piyama?" tanya Soferina mengerling genit ke arah Damar.
Damar merasakan hatinya mencelos mendapat kerlingan menggoda dari lawan bicaranya itu,
"Aku yang memperhatikan," sahut Damar serius.
"Kamu m***m," ujar Soferina.
"Hm ... kok tahu?" tanya Damar tersenyum simpul.
"Aku tahu, bahkan seluruh pulau tahu apa yang ada di hatimu, terlebih kemarin sebelum aku mengeluarkan batu elastis itu. Hanya saja, kemungkinan masih tertanam alat lain di tubuhmu," tutur Soferina.
"Bagaimana caranya tahu kalau masih ada alat pemantau?" tanya Damar serius.
"Dengan cara bersentuhan," sahut Soferina.
Damar paham apa yang dimaksud dengan bersentuhan itu.
"Ayo kita lakukan," sahut Damar.
"Tidak, aku masih perawan, kamu harus menikahiku sebelumnya," sahut Soferina tegas.
Damar sedikit cemberut dan kecewa, ia tidak menyukai gadis perawan karena baginya, pertempuran itu melibatkan dua orang saling serang, bukan bertempur sendirian.
"Aku tahu kamu tidak suka mendengar aku masih perawan. Karena s*x* kamu anggap layaknya main games," tebak Soferina dengan tepat.
Damar sudah merasa tidak terkejut lagi jika Soferina bisa mengetahui apa yang terlontar di hatinya.
"Tidak apa, kalau cara tahu harus dengan cara seperti itu, aku akan cari perempuan yang masih antri malam ini," jawab Damar kalem.
"Ya semoga bisa ditemukan oleh perempuan itu ya," ujar Soferina datar.
Seketika Damar memahami bahwa hanya bersentuhan dengan Soferinalah maka ia akan menemukan atau mendeteksi keberadaan alat pemantau dari tubuhnya. Tapi, Damar terlanjur tidak tertarik meskipun Soferina sangat menggoda, lagipula saat ini ia tidak terlalu menginginkannya.
"Ayo kita jalan," ajak Damar seraya bangkit dari tempat duduknya.
Soferina ikut bangkit, ada rasa kecewa dihatinya karena Damar tidak menginginkannya.
"Bagaimana caranya membuat dia jatuh hati kepadaku?" Soferina bertanya-tanya di dalam hatinya.
Mereka berpamitan kepada Maryam, yang menegur Soferina karena pergi dengan keukeuh memakai piyama, padahal sebentar lagi baju Soferina yang dicucikannya mengering.
Soferina melakukan telepati kepada Damar,
"Belikan aku baju ya, karena baju yang terciprat air danau harus aku kubur," ucap Soferina
"Tapi kenapa?" tanya Damar keheranan.
"Ya karena harus begitu, hehe," Soferina terkekeh.
"Kita ngapain sih komunikasi dalam hati, kan di sini cuma kita berdua," keluh Damar seraya menoleh kepada Soferina yang tengah berada di sampingnya.
"Eh, ngomong-ngomong, kamu bukan nenek tua kan yang menyamar menjadi wanita muda yang cantik dan seksi?" tiba-tiba Damar kepikiran ke sana, karena dalam film-film yang ia tonton seperti itu.
Terdengar suara kekehan Soferina kembali.
"Mungkin saja seandainya keperawanan bisa dimanipulasi, sayangnya, tidak," tandas Soferina.
Damar merasa lega, entah kenapa ia jadi banyak berpikir yang aneh-aneh semenjak pulang dari pulau mistis.
"Ferin ... apakah kamu akan selamanya cantik seperti ini?" tiba-tiba Damar bertanya.
"Seiring waktu aku akan menua dan kecantikan pun akan memudar," jawab Soferina.
Damar merasa semakin yakin, bahwa Soferina yang sedang bersamanya saat ini adalah bukan makhluk jadi-jadian.
"Aku mencium bau masalah sekitar delapan ratus meter dari sini, ayo cepar Damar, di depan sana belok kanan," pinta Soferina dengan mimik serius.
"Kok bisa tahu?" tanya Damar penasaran sambil membelokkan setir mobil yang ditumpanginya ke kanan menasuki jalanan yang menuju area perkantoran.
"Di sana, ada mini market, coba kita lihat," tunjuk Soferina, ke sebelah kanan dari jalan itu.
Damar merasakan gairahnya timbul. Ia baru saja merasakan ada seorang gadis yang tengah dibawah ancaman seseorang.
"Perampokan," ujar Damar.
"Ya, tugasmu menyelamatkan wanita itu," sahut Soferina.
Damar menepikan mobilnya sebelum mini market. Ia memerintahkan dirinya agar langsung berada di dalam mini market, begitu pun Soferina.
Dalam sekejap, mereka telah berada di dalam mini market dan melihat seorang gadis yang ketakutan karena sebuah pisau tajam menempel di lehernya. Posisinya sedang dibekap oleh salah satu dari para perampok itu.
Tanpa terlihat oleh siapa pun Damar telah mengambil pisau tajam itu dari tangan perampok tanpa disadari oleh perampok itu sendiri.
Sentuhan ujung jari Damar pada leher perampok memuatnya pingsan dan gadis itu menjerit karena terkejut.
Para perampok lain menoleh dan mencurigai gadis itu telah melumpuhkan temannya. Sebuah pisau melesat dengan cepat dan bertenaga menghampiri gadis yang masih terkejut.
Namun Damar telah membuat pisau yang melayang itu menjadi kertas yang menyentuh lembut d**a* dari gadis tersebut.
Para perampok itu luar biasa kaget, mereka terdiam beberapa saat sebelum salah seorang dari mereka berujar pelan,
"Kabur sekarang juga," ucapnya
Mereka melangkah dengan hati-hati menuju pintu keluar. Tapi Damar telah memencet tombol darurat lewat matanya yaitu, Alarm yang tersambung ke kepolisian terdekat.
Tidak lupa, Damar membuat mereka, kawanan perampok itu agar berjalan kaki di tempat sampai aparat yang berwenang datang untuk meringkusnya.
Setelah semua selesai, Dalam sekejap, Damar telah kembali berada di belakang setir mobilnya dan tersenyum pada Soferina.