Hari pertama sepulangnya dari Pulau Mistis, Damar mengalami keanehan demi keanehan. Namun, Damar sama sekali tidak menyukainya sebab semua yang terjadi di luar jangkauan akal sehatnya.
Bagaimana mungkin dia bisa sampai dari ujung tangga lantai dua puluh tujuh, ke ujung tangga paling bawah tanpa ia merasakan pijakan kakinya pada anak-anak tangga? Dan itu dilakukan dalam sekejap mata saja.
Begitupun dengan keberadaannya secara tiba-tiba di gedung pengadilan, yang berjarak enam kilo meter dari lobby apartemennya, tanpa ia merasakan perjalanan berkendara motor, dalam sekejap, dirinya telah berada persis di samping ruang sidangnya.
Damar mencerna semuanya dengan teliti, apa yang dirasakannya saat itu, apa yang memicu semua hal hingga terjadi, termasuk apa penyebab ia mengetahui bahwa sopir taksi membutuhkan dana senilai yang diberikannya untuk keluarganya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Hari-hari selanjutnya, Damar mencetak sukses besar-besaran hingga membuat kantornya kebanjiran klien dan kebanjiran pemasukan. Hal ini membuat Damar mengeruk banyak bonus. Namanya makin melambung tanpa ia harus bersusah payah.
Sampai pada hari di mana ia selesai menemui calon klien di sebuah Mal dan berkenalan dengan seorang wanita cantik, dunia Damar seakan jungkir balik. Pembunuhan itu telah terjadi, tanpa ada peringatan sama sekali. Damar melakukannya sesuai perintah yang ia rasakan saat itu, dengan seluruh kekuatan paranormalnya.
Selama seminggu setelahnya, Damar benar-benar terpuruk. Rasa bersalah dan rasa tidak terima mendapatkan misi dari pulau aneh itu, membuat emosinya tidak stabil. Damar jatuh sakit di rumah Ibunya.
Saat suhu tubuhnya tinggi tepat tengah malam, Soferina hadir ke dalam mimpi Damar yang gelisah.
"Damar, temui aku di pinggiran danau nuansa besok pagi."
Sekelebat bayangan Soferina, membuat Damar memanggil-manggil namanya,
"Ferin, Ferin, Feriin!" tanpa sadar Damar berteriak.
Melihat bayangan Soferina yang menjauh sambil tersenyum, Damar berusaha mengejarnya, tapi kedua kakinya tidak mau berkompromi.
Damar bergerak-gerak gelisah, samar-samar ia mendengar suara ketukan di pintu, lalu ia terbangun dengan keringat bercucuran.
Kesadarannya sudah pulih, Damar menyahuti Maryam yang terus mengetuk pintu kamarnya dengan kekhawatiran yang tinggi.
"Sebentar, Ma," seru Damar sambil bangkit turun dari kasurnya.
Seluruh tubuhnya terasa ringan, Damar merasa aneh, sebelum ketiduran demamnya tinggi, sekarang tidak ada demam sama sekali.
Pintu di buka, Maryam menatap putranya lekat-lekat.
"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Maryam cemas.
"Iya, Ma. Aku mimpi kedatangan wanita yang aku sukai, trus tiba-tiba dia pergi," sahut Damar seraya melangkah dan duduk di pinggiran kasur.
Maryam mengikuti Damar masuk ke dalam kamar. Damar memang terbuka pada ibunya, kalau ditanya, dia akan menjawab dengan jujur.
"Siapa wanita itu, bolehkah mama tahu?" Maryam mulai penasaran.
"Hmm ... aku juga belum tahu pasti, Ma, yang jelas sangat cantik. Baik enggaknya juga belum tahu, baru juga kenal," jawab Damar diplomatis.
Maryam mengangguk tanda mengerti.
"Sepertinya kamu sudah baikan, meskipun begitu, kamu harus tetap istirahat, supaya pagi semakin fresh badannya," titah Maryam kepada Damar.
Maryam beranjak untuk kembali masuk ke kamarnya, seraya menutup pintu kamar Damar rapat-rapat.
Damar menghela napas panjang, samar-samar dia ingat ajakan Soferina di mimpinya. Ferin, mengajak Damar bertemu di pinggiran danau nuansa besok pagi.
"Baiklah, sampai ketemu besok, Ferin," ujar Damar di dalam hatinya.
Pukul lima pagi, Maryam yang telah segar bugar karena membasuh diri dengan air dingin, memasuki kamar Damar dan membangunkan putranya.
"Damar ... bangun Nak, kamu belum sembahyang, nanti keburu terang ...," ujar Maryam sambil menggoyang-goyangkan tubuh Damar.
Damar menggeliat, dengan enggan ia membuka matanya yang agak sulit membuka.
"hmm ... jam berapa ini, Ma?" jawab Damar.
"Sudah jam lima, ayo cepat ke kamar mandi," sahut Maryam sambil berlalu menuju dapur.
Damar kembali meregangkan tubuhnya, malam tadi dilaluinya tanpa mimpi buruk setelah bermimpi bertemu dengan Soferina.
Bergegas ia menuju kamar mandi, mempersiapkan dirinya untuk segera bersembahyang. Kemudian mempersiapkan dirinya sebaik mungkin karena akan menemui Soferina.
"Semoga ada jawaban tentang kesaktianku ini," gumam Damar dalam hatinya.
Maryam telah mempersiapkan sarapan pagi berupa nasi goreng ikan asin kesukaan Damar, lengkap dengan kerupuk dan sambal. Tidak ketinggalan segelas kecil s**u dan air putih.
Sementara Damar menyantap sarapan paginya, Maryam mempersiapkan beberapa potong roti isi coklat dan keju yang ia buat kemarin sore. Roti manis itu dimasukkannya ke dalam wadah kedap udara dengan air putih dua botol lalu ditatanya dalam tas khusus untuk bekal putranya.
Seraya menyerahkan kunci mobil kecilnya kepada Damar, "ini, pakailah mobilnya, mama tidak pergi kemana-mana hari ini. Mama cuma mau bikin kue saja," ujar Maryam.
"Terima kasih, Ma ...," sahut Damar seraya menerima kunci mobil tersebut. Mobil itu sebuah city car yang khusus dibeli Damar secara tunai untuk ibunya.
Damar berdiri dan berpamitan, Maryam mengantar putranya sampai ke pintu mobil sambil menenteng bekal untuk Damar dan diletakkannya di atas kursi sebelah putranya.
"Daag, Ma ...," pamit Damar kepada wanita yang disayanginya itu.
"Hati-hati di jalan, jangan ngebut." Maryam melambaikan tangannya.
Ibu yang sangat sederhana itu, memandangi kepergian putranya sampai menghilang di ujung jalan, lalu kembali masuk ke dalam rumah setelah mengunci pintu.
Pukul enam lewat tiga puluh menit, mobil yang dikendarai oleh Damar telah memasuki pelataran parkir umum di seberang danau.
Menenteng tas bekal dan selembar tikar piknik, Damar melangkah menuju tepian danau, tempat ia pernah berkunjung kesana bersama Soferina saat pertemuan kedua sebelum mereka pergi ke pulau mistis.
Tikar digelar, lelaki tampan flamboyan itu duduk di atas tikar menghadap danau. Embun pagi masih tampak mengambang di permukaan danau, udara di sekitarnya masih terasa dingin menggigit, tapi bagi Damar, udara itu sangat menyegarkan. hal itu membuat Damar merenung.
Telah berulang kali Damar memikirkan mengenai ilmu paranormal yang tiba-tiba dimilikinya, bagaimana ilmu itu bisa keluar adalah ketika hatinya mengeluhkan sesuatu atau menginginkan sesuatu, tanpa disadarinya. Ia harus menemukan cara untuk bisa mengendalikan semuanya.
"Hai, Tampan. Sudah lama menunggu?" Seseorang menyapanya dengan suara yang seksi di telinga Damar.
Damar belum mau menoleh, tapi dia memejamkan matanya karena mencium aroma melati yang segar dan membuat seluruh inderanya terbuka.
"Ah, sangat memabukkan," ucap Damar lirih.
Soferina terkekeh mendengar ucapan Damar. Seketika Damar bebalik dan menatap tajam ke arah wanita eksotis di depannya.
"Terlalu banyak hal yang ingin kutanyakan padamu ...," ucap Damar dengan mimik serius.
"I know ...," jawab Soferina pendek.
"Sudah sarapan? Ibuku membawakan roti." Damar membuka perbekalannya, lalu menghidangkannya di depan Soferina.
"Kebetulan aku lapar." Lagi-lagi pendek kalimat yang diucapkan oleh Soferina.
Damar menatap lekat wajah gadis yang sangat disukainya itu.
"Kamu tinggal di mana sih? Selain di pulau itu?" Pertanyaan ini mengusik terus hati Damar.
"Nanti kamu akan antar aku pulang 'kan?" tanya Soferina alih-alih menjawab.
"Pasti," tandas Damar.
"Kayanya kamu tersiksa banget setelah misi yang pertama," Soferina langsung membahas tentang penderitaan Damar.
Damar memperbaiki posisi duduknya, kini ia telah berhadapan dengan Soferina dan sedikit mencondongkan diri ke arah Soferina,
"Kamu juga punya kesaktian kan? Bahkan lebih tinggi dariku, kenapa bukan kamu yang menjalankan misi?" tanya Damar penasaran.
"Seandainya bisa, pasti salah seorang dari pulau sudah diutus, dan pasti sudah selesai dari sejak lama. Sayangnya, kami tidak bisa. Karena pertalian darah," papar Soferina seraya menatap Damar dengan sorot prihatin.
"Bani Edels dari pulau itu?!" seru Damar tidak percaya.
"Ya, Bani Edels adalah keponakan tetua Renta," sahut Soferina.
Damar tercenung, hatinya terasa terbelah. Ia sangat keberatan dengan kondisi itu.
"Tapi, kenapa harus aku? Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan perkara dendam itu? Kenapa jika yang bersalah satu orang, anak cucunya bisa kena sasaran?" batin Damar tidak mengerti.
"Aku setuju denganmu, yang berbuat ulah Bani Edels bukan anak, istri dan cucu-cucunya. Dendam itu sudah terlampiaskan sejak Bani Edels meninggal tahun lalu. Hal ini juga menjadi perdebatan sengit di pulau. Jujur saja, keturunan Bani Edels adalah saudara-saudaraku, bagaimana mungkin aku rela mereka terbunuh? Aku sedih dan terkejut saat Tian terbunuh olehmu. Sekian lama aku ragu untuk menemuimu. Rasanya sakit," jelas Soferina dengan mata berkaca-kaca.
Damar terdiam mendengar penjelasan dari mulut Soferina, ia semakin merasa bersalah. Sejurus kemudian, Damar meraih tangan Soferina dan berkata,
"Aku minta ma'af telah membuatmu bersedih," ujar Damar sungguh-sungguh.
Soferina menghapus air matanya, lalu menatap Damar lekat-lekat.
"Aku akan mematikan signal kamu yang terkait ke pulau," ujarnya dengan sorot mata penuh kesungguhan.