Bab 2. Langkah yang Terhenti

1476 Words
“Tuan, apa yang kamu lakukan? Jangan!” sergah Evangeline menahan kepala Cassidy yang sedang membenturkan diri. Cassidy masih saja membenturkan dan tangan Eva jadi terkena benturan. “Ahhk! Cukup!” Eva menarik Cassidy lebih keras sampai tubuh pria yang sedang mabuk itu oleng dan malah menimpanya. Eva juga kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang sehingga Cassidy berada di atasnya tanpa sengaja. Mata Eva membesar kaget melihat sosok Cass dari dekat. Sekalipun jambang memenuhi wajahnya dan wajahnya pucat, namun mata coklat Cassidy begitu tajam dan menggoda. Eva tertegun menatap wajah tampan Cass yang tertutup penampilan buruknya. Cass yang sadar dirinya jatuh lalu meminta maaf dan segera bangun. “Maaf,” sebutnya pelan. Eva ikut duduk di lantai kamar mandi beberapa saat sebelum ikut bangun. “Ayo kubantu!” tawar Eva mengulurkan tangannya. Cass dibantu untuk berdiri dan kembali oleng. Ia benar-benar mabuk berat. “Apa Anda punya kontak keluarga, Tuan? Seseorang harus menjemputmu,” imbuh Eva lagi. Ia mulai kasihan melihat pria mabuk di bar ayahnya itu. Cass masih diam memandang kosong pada lantai kamar mandi. Sepertinya ia tidak mendengar pertanyaan yang diberikan. “Tuan, apa kamu mendengarku?” Eva kembali mengulang. Barulah Cass berpaling sedikit. “Huh─ “ matanya Cass masih sayu saat menoleh. “Berikan ponselmu biar aku hubungi keluargamu untuk menjemput.” Eva meminta ponsel Cass agar ia bisa menghubungi keluarganya. “Aku mau minum. Aku akan membayar .... “ Cass sibuk merogoh dompetnya dan bukan ponsel. “Iya, tapi ....“ Cass membuka dompet lalu memberikan uang yang tersisa di dompetnya. Hanya lembar 10 dolar yang tersisa. “Cukup kan?” tanyanya lagi mengira jika uang itu adalah pecahan 100 dolar. “Nanti saja, biar keluargamu saja yang membayar. Berikan ponselmu!” desak Eva lagi masih menengadahkan sebelah tangannya. Cass masih bersikeras mau minum dan ia ingin keluar dari kamar mandi. “Tuan, Anda sudah tidak boleh minum lagi!” larang Eva yang mulai kesulitan karena Cass seperti pria tidak waras mencoba menerobos keluar tapi berjalan saja tak bisa. “Kenapa? Aku sudah bayar.” “Kamu harus pulang. Atau katakan alamatmu biar aku antarkan.” Eva menawarkan alternatif lain. “Aku tidak mau pulang. Minggir!” Cass berhasil keluar dari kamar mandi dengan langkah terhuyung lalu membentur dinding dan jatuh kembali. “Ah, jangan menyusahkanku!” gerutu Eva mencoba menarik Cass agar bangun. Saat sedang berusaha, terdengar bunyi ponsel. Eva celingukan ke semua arah dan menyadari jika dering itu berasal dari ponsel milik tamu yang mabuk tersebut. “Oh di mana bunyi itu? coba!” Eva terpaksa merogoh saku celana dan jaket Cassidy sampai ia menemukan ponsel tersebut. Seseorang dengan nama Dad tertera di layar. Segera Eva mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” Tak lama kemudian, dua orang pria datang buru-buru datang masuk ke dalam bar dan mencari Cassidy. Begitu melihat Cass tergeletak di sofa, salah satu dari mereka langsung menghampiri. “Oh Tuhan, Cass!” James memekik langsung menghampiri anaknya. Ia memegang dan memeriksa kepalanya. “Perkenalkan namaku Jayden Lin dan itu adalah James Belgenza. Kami berdua adalah ayah dari Cassidy,“ ujar Jayden memperkenalkan diri tanpa menyadari pelayan dan Eva sama-sama membesarkan mata. ‘Dia punya dua ayah? Jangan-jangan mereka ....‘ Eva membatin curiga. “Apa yang terjadi sebenarnya?” imbuh Jayden lagi tak mengerti. “Dia mabuk dan sempat terjadi keributan,” jawab Eva sedikit tersenyum aneh. “Apa dia memukul orang lain?” sela James menoleh pada Eva. Eva menggeleng. Si pemilik bar yaitu ayah Eva datang dan menjelaskan pada James serta Jayden yang terjadi sebelumnya. “Kami minta maaf atas kejadian ini. Jika ada kerugian, kami akan menggantinya,” sahut Jayden dengan sopan. “Sebenarnya tidak ada kerugian yang disebabkan oleh anakmu kecuali dia harus membayar minuman saja.” Jayden mengangguk sedikit tersenyum. “Jay, kita harus bawa dia ke rumah sakit!” James menyela lalu merangkul untuk memapah Cass. Jayden segera mengangguk paham dan membantu James. Ia bicara dengan pemilik bar untuk membayar minuman yang dihabiskan oleh Cass sekaligus mengganti rugi akibat kekacauan meski bukan Cass penyebabnya. “Terima kasih, Tuan Lin!” ucap pemilik bar usai menerima transferan sejumlah uang. Jayden mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. “Aku pergi dulu, terima kasih!” Jayden pun berbalik dan langsung pergi menyusul James yang telah lebih dulu berada di mobil. Eva masih sempat memperhatikan sosok Jayden yang kemudian berlalu sampai ia ditegur oleh ayahnya agar kembali bekerja. “Badannya agak demam, aku takut terjadi infeksi. Dia sudah terlalu banyak minum!” ujar James pada Jayden begitu ia masuk ke mobil. Mobil pun langsung meluncur menuju rumah sakit. “Oh, Cass. Sampai kapan kamu akan seperti ini!” Jayden menghembuskan napas kesal. James tak mau menanggapi. Ia juga kesal dengan yang terjadi pada putranya. Cassidy bahkan berhenti bekerja hanya untuk berkeliaran serta mabuk-mabukan. “Aku sudah hilang akal untuk mengembalikan Cass ke rumah. Dia selalu kabur dan membuat masalah di jalanan,” balas James yang semakin pusing dengan keadaan putranya. “Nanti saja kita bicarakan. Aku akan menghubungi Ares dulu!” Cassidy di bawa ke rumah sakit agar segera bisa dirawat karena kondisinya yang sudah tidak bisa ditorelir lagi. Akan tetapi, begitu Cassidy sadar, ia kembali berencana melarikan diri lagi. Keesokan harinya, Cassidy sudah berdiri dari ranjangnya lalu melepaskan semua selang infus yang melekat sambil meringis kesakitan. Ia menoleh cepat ke belakang untuk memastikan tidak ada yang masuk. Cassidy berencana kabur dari rumah sakit. Ia tidak ingin lagi diseret pulang meski suhu tubuhnya belum normal. “Mana pakaianku?” Cass mencari-cari pakaian di seluruh ruangan tapi tidak ada. Dokter Nathan pasti telah menyitanya. Cass tidak punya ide lain. Meskipun mengenakan pakaian rumah sakit, ia tetap harus kabur. Cassidy nekat keluar dari kamarnya mengendap masuk ke dalam lift untuk turun ke bawah. Ia melepaskan tanda pasien yang melingkar di tangan lalu membuangnya. Cassidy harus bersembunyi beberapa kali sampai akhirnya berhasil lolos dari pengamatan para personel rumah sakit. Dengan wajah pucat, Cassidy berjalan kaki menjauh dari bangunan rumah sakit untuk mencari jalan pintas. Ia tidak punya uang untuk naik taksi atau apa pun. Cassidy pun terpaksa terus berjalan kaki. “Aku di mana?” Cassidy mulai terengah kelelahan. Demamnya kembali naik tapi Cass mengabaikannya. Begitu melihat jalan menuju stasiun kereta, Cassidy teringat pada niat awalnya. “Aku datang, Sweet Pea. Kita akan bertemu lagi.” Cassidy berujar pelan lalu berjalan mengikuti beberapa orang yang akan memasuki stasiun. Beberapa orang menatap aneh padanya yang masih mengenakan pakaian pasien tapi Cass tak peduli. Ia terus berjalan sampai tidak sanggup lagi dan akhirnya terduduk di salah satu dinding peron. Matanya terus menatap ke arah rel kosong yang sesaat lagi akan dilewati oleh kereta. Ia berencana akan melompat dan mengakhiri semuanya. Jika Sophie memang tidak bisa ditemukan lagi, bukan berarti dia masih hidup. Cassidy tidak berencana untuk meneruskan hidupnya tanpa Sophie. Bunyi kereta akan datang terdengar sayup-sayup. Cass menoleh dan lampu depan kereta terlihat dari kejauhan. Kereta akan melewati peron sebelum berhenti total untuk mengambil dan menurunkan penumpang. “Sweet Pea.” Cass menyebut pelan. Ia berdiri dan masih bersandar. Namun keningnya malah mengernyit. “Lepaskan! Jangan ambil, pergi!” seorang gadis berusaha memukul dua pria yang menariknya hendak mencopet dompetnya. Wanita itu melawan sementara tidak ada petugas keamanan atau calon penumpang lain yang bersedia membantu. Pandangan Cass teralihkan dari kereta yang akan lewat pada gadis yang berusaha melepaskan diri dari perampokan. Napas Cass tersengal lebih cepat. Ia mulai ragu mana yang harus didahulukan. Gadis itu kalah, ia ditampar oleh salah satu pria dan terpelanting ke lantai. Namun, ia tidak mau menyerah. Hal itulah yang membuat sisi kemanusiaan Cassidy muncul di saat yang tepat. “Hei, lepaskan dia!” Cassidy berteriak pada pria yang sedang merampok tersebut. Ia berjalan lebih cepat hendak menghajar mereka tapi gerakannya dihalangi oleh sebuah pukulan. “Jangan ikut campur!” salah satu pria turut membentak Cassidy sambil mencekal punggungnya. Cassidy melawan dengan mengantukkan bagian belakang kepalanya sehingga cekalan tersebut terlepas. Sebuah tinju tepat dilayangkan Cassidy di wajah pria tersebut. Satu temannya lagi kembali memegang Cassidy dan menghajarnya sampai terjatuh. Gadis yang dirampok tersebut panik dan mencoba meminta tolong tapi tidak ada yang berani mendekat. Perkelahian dua lawan satu itu membuat Cassidy yang sedang sakit tidak berdaya. Ia ditendangi dua pria tersebut sampai kesakitan. “Lepaskan dia!” gadis itu berteriak mencoba menolong Cassidy. Ia juga berusaha mengambil dompetnya yang menjadi sasaran perampokan. “Diam kau!” pria itu mendorong gadis tersebut sampai ia terjatuh. Cassidy yang kesakitan tidak mau menyerah. Kereta sedang berlalu saat Cassidy kembali mencoba berdiri dan menyerang. Pergumulan itu membuat pria tersebut kesulitan sampai ia mengeluarkan pisaunya. “Ahhhkk!” Cassidy ditusuk dengan pisau tersebut lalu terkapar di lantai berlumuran darah. “Ayo kita pergi!” pria yang menusuk itu berteriak pada temannya. Mereka berlari setelah memungut dompet gadis tersebut. “Tuan, Tuan! Kamu tidak apa-apa? Tuan, sadarlah!” gadis itu mengguncang-guncangkan tubuh Cass. Sementara Cassidy seperti melayang dan tak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD