Bab.3 Cek Dari Orang Tua Aksa

2181 Words
Sasha POV Selama lima tahun bersahabat dengan Rena, aku hanya pernah satu kali datang ke rumahnya dulu. Dengan berbagai alasan aku selalu menolak saat diajak pergi lagi ke rumah itu. Bukan karena tidak mau, tapi mama Rena yang selalu menatap sinis membuatku enggan menginjakkan kaki lagi di sana. Di hari ke dua aku di rawat di rumah sakit, Risti Pradipta, mama dari Rena dan Aksa akhirnya datang ke sini. Masih dengan penampilan yang glamour, ditambah wajah angkuhnya, dia masuk begitu saja dan langsung duduk di sofa tanpa repot repot menunggu untuk dipersilahkan "Maaf, Anda siapa?" tanya Bunda tampak bingung melihat orang yang tidak dikenalnya itu menyelonong masuk tanpa permisi. "Risti Pradipta, mamanya Aksa. Aku mau bicara dengan Sasha," sahutnya dengan nada sinis. Bunda mengangguk, lalu membantuku turun dari ranjang pasien. Dengan pikiran was was aku terpaksa mengikuti langkah bunda yang menuntunku duduk di sofa menemui wanita itu. "Apa yang ingin Anda bicarakan sampai repot repot datang ke sini?" tanyaku tanpa basa basi lagi. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu meletakkan di atas meja. Tubuhku menegang saat mulai bisa meraba maksud kedatangannya kali ini. "Ambil cek itu dan gugurkan bayi di perutmu! Jangan pernah berpikir untuk meminta anakku menikahimu, itu tidak akan pernah terjadi!" Air mataku luruh melihat kedua tangan bunda yang gemetar saling meremas. Inilah yang aku takutkan. Bukan hanya aku saja yang menerima penghinaan dari orang tua Aksa, tapi bunda juga ikut menanggung akibat dari kesalahaanku. "Ambil kembali cek Anda, Nyonya. Saya tidak butuh uang kalian ataupun tanggung jawab dari Aksa," tolakku tegas. "Dan kamu pikir aku percaya omong kosongmu itu?!" cibirnya. "Nyonya Pradipta, bukan begini caranya menyelesaikan masalah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang," sahut bunda berusaha menengahi. Aku tahu bunda masih berusaha bersikap sopan, meski kesabarannya juga mulai menipis. Tiba tiba pintu dibuka dari luar, jantungku berdegub kencang saat melihat laki laki yang sudah dua minggu lebih tidak pernah lagi aku temui itu datang. Aku melengos saat tanpa sengaja tatapan mata kami bertabrakan. Di belakangnya ada Rena yang melangkah tergesa menuju ke tempat mamanya berada. Matanya menatapku cemas dan dipenuhi rasa bersalah. "Ma, Mama mau apa datang ke sini? Tidak usah bikin ribut di sini, Ma. Sasha tidak boleh stress, kandungannya masih lemah." Rena berusaha membujuk mamanya untuk segera pergi dari sini, tapi wanita itu masih diam dan menatapku tajam. "Tidak usah berbelit belit, ambil ceknya dan gugurkan bayi itu! Jangan membuat kekacauan di keluarga kami!" bentaknya keras. "Ma, Mama jangan keterlaluan!" sela Aksa geram. "Diam kamu, Aksa! Mama tidak menyuruhmu bicara!" Aku mengambil cek itu, merobek robeknya, lalu melemparkan di depan mereka. Salah kalau wanita itu pikir aku akan menukar nyawa anakku dengan uangnya. "Sudah saya bilang, saya tidak butuh uang kalian. Silahkan pergi dan jangan pernah mengusik hidup kami lagi!" ucapku dengan suara bergetar. Siapapun pasti tidak akan terima direndahkan seperti ini. "Apa jumlahnya kurang? Kalau begitu katakan berapa yang kamu inginkan, aku akan berikan asal kamu mau menggugurkan bayi itu." Sahutnya ketus tanpa perasaan. Aku diam tak bergeming. Tenggorokanku seperti tercekik mendengar setiap kata menyakitkan yang keluar dari mulut wanita ini. "Nyonya Pradipta, biar bagaimanapun bayi itu juga darah daging kalian. Umurnya sudah tujuh minggu dan jantungnya juga sudah mulai berdetak, bagaimana bisa semudah itu Anda ingin membunuhnya?" Bunda mulai angkat bicara, sepertinya dia mulai kehilangan kesabarannya menghadapi sikap mama Aksa yang benar benar sudah keterlaluan. "Kami memang bukan keluarga konglomerat seperti kalian, tapi kalau hanya untuk memberi kehidupan yang berkecukupan untuk anak itu kami masih lebih dari mampu." Lanjut bunda lagi yang justru ditanggapi senyuman remeh mama Aksa. "Siapa yang bisa menjamin kalian tidak akan menggunakan anak itu untuk memeras kami nantinya?" ucapnya semakin menjadi jadi. "Ma, kenapa Mama harus bertindak sejauh ini? Aku sudah menuruti semua keinginan Mama, kenapa Mama masih datang mengusiknya?" sahut Aksa dengan wajah marahnya. Aku memijat keningku yang semakin pusing gara gara mendengar perdebatan mereka. Sungguh, ini sangat memuakkan. "Dia terlalu munafik sudah menolak uang dari Mama. Kalau bukan demi uang, kamu pikir dia mau merangkak naik ke ranjangmu?" "Tutup mulutmu! Jangan pernah menghina anakku lagi!" giliran bunda yang berteriak geram. Nafasnya memburu menatap marah tamu tak diundang kami itu. Aku meringis, tanganku mencengkram perutku yang mulai terasa nyeri seperti mau kram. Melihatku kesakitan Aksa buru buru mendekat, lalu dia berjongkok di depanku. "Kamu kenapa? Mana yang sakit? tanyanya cemas. "Perutku sakit," jawabku serak. "Aku panggilkan dokter dulu." Namun baru beberapa langkah Aksa pergi, mamanya sudah berteriak melarang. Dia menatap penuh peringatan pada anaknya yang hendak memanggil dokter untukku. "Mau ke mana kamu, Sa?! Dia bukan lagi urusanmu. Ingat! Bulan depan kamu sudah mau menikah dengan Riana." Aku menoleh menatap wajah laki laki itu. Air mataku mengalir begitu saja, sesakit ini rasanya. Jadi ini lah yang dia sembunyikan dariku selama ini. "Kalau dari awal kamu sudah punya calon istri, kenapa masih mendekatiku? Kenapa harus menyeretku pada situasi seperti ini Sa?" ucapku pelan. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Matanya yang memerah tampak berkaca kaca menatapku penuh rasa bersalah. "Tidak usah sok drama! Kamu bisa sampai hamil juga bukan sepenuhnya salah anakku. Atau jangan jangan kamu sengaja menolak aborsi supaya bisa jadi istri simpanannya Aksa!" tuduhnya. "Bicara Anda benar benar sudah keterlaluan Nyonya! Sasha memang salah karena sebagai perempuan dia tidak bisa menjaga diri, tapi bukan berarti Anda bisa seenaknya merendahkan anak saya!" Bunda benar benar marah sekarang. Sepertinya dia juga sudah capek mencoba bicara baik baik, tapi ternyata tamu tak diundang kami ini sama sekali tidak mengerti tata krama. "Kalau memang tidak punya niat memanfaatkan anak itu untuk memeras keluarga kami, lalu kenapa dia menolak menggugurkan kandungannya? Aku tidak bodoh, orang licik seperti kalian sudah terlalu banyak aku lihat di luar sana." "Sasha dan Tante Ambar bukan orang seperti itu, Ma. Mama jangan keterlaluan menghina mereka," "Diam kamu, Ren! Kalian berdua sama saja bodohnya. Bisa bisanya tertipu wajah sok polos w**************n kayak begini." Air mataku mengalir deras, rasanya benar benar menyakitkan. Belum cukup dengan aku dan anakku dicampakkan, sekarang orang tuanya juga datang menginjak injak harga diriku. Aksa masih terus menatapku dengan raut wajah bersalahnya, tapi apa gunanya kalau dia juga tidak bisa berkutik di bawah cengkraman orang tuanya. "Anda juga wanita dan seorang ibu, apa pernah terpikir oleh Anda bagaimana kalau Rena yang berada di posisi Sasha sekarang?" ucap bunda dengan menahan emosinya. "Rena tak semurahan anakmu yang mau tidur dengan laki laki sampai hamil di luar nikah. Itulah akibatnya kalau kamu tidak bisa mendidik anak dengan benar." Demi Tuhan, kepalaku mau meledak dihantam amarah mendengar bunda dihina seperti ini. Rasa bersalah ini seakan membunuhku, "maafkan aku, Bunda." "Sekali lagi aku peringatkan, jangan coba coba menghancurkan masa depan Aksa dengan kehadiran bayi tak berguna itu!" sambungnya lagi. Habis sudah kesabaran bunda mendengar makian demi makian yang semakin di luar batas. Dengan wajah memerah dan mata yang berkilat marah, dia melangkah menghampiri Aksa yang berdiri tak jauh dariku. "Lihatlah apa yang sudah kamu lakukan pada anakku! Kamu sudah merusak hidupnya. Sasha bukan hanya tidak bisa melanjutkan kuliahnya, tapi juga harus punya anak di luar nikah." "Maaf." "Permintaan maafmu tidak akan merubah apapun. Sekarang mamamu melimpahkan semua kesalahan pada anakku, menghina dan menginjak injak harga diri kami. Apa sebenarnya salah Sasha sama kamu, Sa?" bentak bunda geram. "Maaafkan saya, Tante." Suara tamparan terdengar keras. Kami semua terkejut saat bunda melayangkan tangannya ke wajah Aksa. Risti Pradipta seketika berdiri, lalu menarik anaknya ke belakang tubuhnya. "Apa apaan kamu seenaknya menampar anakku!" protesnya tak terima. "Karena dia pantas menerimanya. Ditampar seribu kalipun tidak akan cukup menebus salahnya pada anakku," timpal bunda dengan tak kalah sengitnya. "Bun, sakit," panggilku lirih saat sakit di perutku sudah tidak tertahankan lagi. Aku meringis, rasa nyeri ini semakin menjadi. Keringat dingin mulai merembes membasahi keningku. Tanpa minta persetujuan lagi, Aksa mengangkat tubuhku ke ranjang pasien dan memencet tombol panggilan. "Kenapa tidak mati saja sekalian anak sialan itu di perut Ibunya, merepotkan saja!" Kami semua tersentak mendengar umpatan kasar yang keluar dari mulut Risti Pradipta. Wanita itu sungguh luar biasa jahatnya. Tangan Aksa yang diam diam menggenggam tanganku terasa gemetar, rahangnya mengeras menahan emosinya yang meluap. "Maafkan aku, Sasha." desisnya pelan. Suaranya yang parau terdengar lirih berbisik, dia menoleh melihatku dengan air mata yang bergenang. Aku menarik tanganku saat bunda dengan sangat marah menghardik wanita itu. "Jaga Mulutmu! Cucuku sedang berjuang hidup, tega sekali kamu menyumpahinya supaya mati." "Karena kami tidak pernah menginginkan anak itu. Dia hanya aib bagi keluarga Pradipta," cetusnya berapi api. Bunda menghapus air matanya yang tak kuasa lagi dia tahan. Sulit dipercaya, ada orang yang benar benar tidak punya hati nurani seperti wanita di hadapan kami ini. "Hati hati dengan mulut Anda, Nyonya. Kita tidak tahu kapan dan dengan cara apa Tuhan akan membalas semua yang telah Anda lakukan pada anak dan cucu saya hari ini." "Beraninya kamu menyumpahi kami!" gertaknya tak suka mendengar perkataan bunda. Rena tampak mencengkram lengan mamanya yang terlihat penuh emosi menatap ke arah bunda. "Bukan menyumpahi, tapi saya percaya karma itu ada. Anak dan cucu saya sudah kalian dzolimi, tidak apa apa, biar Tuhan yang akan membalasnya untuk kami." Bunda melangkah membuka pintu lebar lebar dan menatap mereka bertiga bergantian. "Keluar! Mulai detik ini jangan datang mengusik anak dan cucuku lagi. Aku tidak akan berpikir dua kali membongkar semua kalau kalian masih berani datang lagi, biar saja kita sama sama malu." "Kamu mengancamku?!" "Tidak ada yang lebih menakutkan daripada melihat anakku hancur. Sekarang aku justru bersyukur anak dan cucuku tidak menjadi bagian dari keluarga kalian. Keluar!" Akhirnya mereka terpaksa keluar saat seorang dokter dan suster masuk ke ruang rawatku. Tuhan, kenapa hidupku jadi serumit ini. Aku bahkan sudah memilih melepaskan satu satunya orang yang seharusnya bertanggung jawab akan kekacauan hidupku, tapi kenapa masih juga belum cukup bagi mereka. *** Berita rencana pernikahan Aksa Pradipta dengan anak seorang pejabat tinggi itu sedang hangat dibicarakan publik bebebrapa hari terakhir ini. Ambar sangat tahu anaknya sedang mati matian menyembunyikan sakit hatinya. Sasha hanya pura pura tersenyum dan terlihat baik baik saja saat di depannya, tapi sering diam diam menangis di kamarnya. Itulah kenapa wanita itu semakin merasa tidak tega melihatnya. Meski Sasha sudah memilih berbesar hati menerima nasibnya dicampakan dan tidak menuntut tanggung jawab apapun dari Aksa, tapi mana mungkin dia semudah itu melupakannya. Wanita mana yang tidak sakit hati dikhianati dan ditinggal menikah dengan orang lain, apalagi dalam keadaan hamil. Ambar juga tahu anaknya tidak ingin dia bersedih karena melihat keadaanya yang jatuh terpuruk, sehingga memilih menelan sendiri kesakitannya. Semenjak kejadian di rumah sakit waktu itu, Ambar sebenarnya sudah memikirkan cara untuk menjauhkan anaknya dari sini. Dia ingin Sasha bisa melupakan semua kenangan pahitnya dan menata kembali hidupnya yang hancur berantakan. Seperti yang pernah dia katakan, meski tidak sekaya keluarga Pradipta, tapi mereka punya harta yang lebih dari cukup untuk menjamin masa depan anak dan cucunya. Orang tua Aksa terlalu meremehkan mereka. Bagaimana bisa mereka berpikir anaknya akan rela membunuh bayinya demi uang. Mereka mungkin lupa, tidak semua orang seperti mereka yang terbiasa hidup tanpa hati nurani. "Sha, bagaimana kalau untuk sementara kamu tinggal dulu bersama Tante Irda di London. Bunda sudah bicara dengannya, kalau kamu mau berangkatlah secepatnya." Sasha tampak diam dan berpikir, matanya yang sedari tadi menerawang kosong tiba tiba saja sudah berkaca kaca. "Bunda tahu, terlalu menyakitkan tinggal berdekatan dengan mereka. Pergilah! Sembuhkan luka hatimu dan tata kembali hidupmu." "Kamu masih muda, masa depanmu masih sangat panjang. Jangan terlalu lama terpuruk hanya karena seorang laki laki yang sudah menyerah untuk memperjuangkan kalian." Sasha mengangguk, bahkan untuk sekedar menjawab pun dia sudah tidak sanggup lagi. Dadanya terasa sesak, beban hati yang selama ini dia tahan seorang diri seakan menyeruak keluar. Ambar mendekat, lalu memeluk putrinya saat suara isaknya semakin keras terdengar. Membiarkannya meluapkan rasa sakit yang selalu dia pendam sendirian. "Kalau aku pergi lalu bagaimana dengan Bunda?" "Kalian kan tidak akan selamanya menetap disana. Bunda tidak apa apa sementara tinggal sendirian di sini." "Maafkan aku ya Bun, selain kata maaf aku tidak tahu harus berkata apa lagi." "Kalau kamu ingin menebus rasa bersalahmu pada Bunda, jadilah seorang wanita dan ibu yang hebat. Buat menyesal mereka yang telah menghina dan merendahkanmu. Tunjukan pada Aksa dan keluarganya, tanpa dia pun kamu dan anakmu bisa hidup dengan baik." "Terima kasih Bunda." "Teruskan cita citamu yang tertunda Sha. Gunakan dengan baik otak cerdasmu. Bunda yakin suatu saat nanti kamu pasti bisa mengangkat wajahmu di depan keluarga Pradipta." Sasha kembali mengangguk mantap. Memang benar apa yang bundanya katakan, dia tidak boleh terpuruk terlalu lama. Demi anaknya, dia akan memulai kembali hidupnya. Setidaknya dia harus mampu mewujudkan keinginan bundanya, dengan begitu akan bisa mengurangi sedikit rasa bersalahnya. Sambil mengelus perutnya Sasha berjanji pada dirinya sendiri juga anak di kandungannya, dia akan melakukan semua yang terbaik. "Ayo Nak kita bangkit bersama sama. Tidak apa apa ayahmu tidak menginginkan kehadiranmu. Kamu masih punya Bunda, juga orang orang yang menyayangi kita." "Bunda memang tidak bisa merubah masa lalu, tapi di masa depan Bunda berjanji akan memberikan semua yang terbaik untukmu. Hanya untuk anak kesayangan Bunda. I promise it." Sasha menghela nafas panjang sambil mengusap air matanya. Sudah saatnya dia bangun dari keterpurukannya kali ini. Ada calon anaknya sekarang dan dia punya tanggung jawab untuk membesarkannya dengan sebaik mungkin seorang diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD