10. Drama Rengginang

2030 Words
Suara derit kursi yang tertangkap pendengaran. Membuat atensi pria paruh baya yang sebelumnya fokus pada layar tablet, kini teralihkan pada sang putri yang memasang wajah masam. "Ini sudah lewat dari dua puluh empat jam, Papa." Rajuknya dengan bibir mencebik. Mengela napas, pria itu meletakkan tablet ke atas meja untuk memberi atensi sepenuhnya pada Helen—putrinya. "Jika yang kamu minta mobil keluaran terbaru, uang jajan tambahan, atau tiket pesawat untuk jalan-jalan keluar negeri, Papa janjikan, tak ada satu menit hal itu bisa kamu miliki. Tapi—" mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di atas meja makan, Farhan menatap sang putri, "—yang kamu inginkan seorang pria. Dan Papa tak bisa langsung menjadikannya milikmu, Sayang. Dia bukan benda." "Pa—" "Akan Papa usahakan, tapi kamu harus tetap bersabar." "—baik. Tapi jangan lama-lama." Helena memiliki stok kesabaran yang sangat minim. Jika sudah menginginkan sesuatu, maka hanya ada kata 'harus'. "Kamu yakin, dia yang sudah menolong kamu waktu itu?" "Tentu saja, aku masih sangat hafal wajah tam—ekhm! Maksudnya, sosok yang pernah menolongku waktu itu. Sayangnya, dia menghilang seperti asap tersapu udara. Tak meninggalkan jejak apa pun, sampai akhirnya, tiba-tiba muncul di pesta Papa." Mencondongkan tubuh sembari menumpuk kedua lengannya di atas meja, Helen menatap Farhan dengan serius. "Mungkin dia salah satu rekan kerja Papa. Karena, kalau bukan, mana mungkin bisa datang. Jadi, itu akan memudahkan jalan Papa menemukannya." "Menemukan apa?" Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang menginterupsi. Sebelum kemudian mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengan Helen, "atau ... Menemukan siapa?" Helen memberi kedipan penuh makna yang membuat Farhan berdeham, untuk mengaburkan keinginan tertawa. "Oh, jadi Mama tidak diperbolehkan untuk tau?" Menaikan satu alis mata, Emily menatap putri dan suaminya. "Aku mau ganti mobil." Ucap Helen asal, hanya agar sang Mama tak curiga. Bukannya tak mau berbagi, tapi ... Dibanding dengan sang Papa, Mamanya suka merecoki keinginannya. "Astaga, Len? Mobil yang kamu pakai sekarang bahkan belum ada satu bulan. Sudah mau ganti lagi?" Mengedikkan bahu, Helen meraih selembar roti, lalu mengoleskan selai strawberry di atasnya. "Butuh suasana baru saat berkendara." "Helen?" Panggil Emily. "Hm?" Menjawab dengan gumaman, Helen mengunyah pelan roti isi selai strawberry yang menjadi menu sarapannya pagi ini. "Mama nggak suka sama sikap kamu di pesta Papa." Tegur Emily. Mengabaikan sang suami yang memberi isyarat, agar tak membahas hal yang akan memantik perdebatan. Terlebih, saat ini, mereka tengah berada di meja makan. Sudah seharusnya sibuk mengisi perut. Bukan beradu argument dengan sengit. Tapi mau bagaimana lagi? Tak banyak yang bisa Farhan lakukan. Mengingat, karakter istrinya yang sama-sama keras kepala seperti Helen. "Kenapa Mama bersikukuh mendekatkan aku sama si anak Mami itu?" Helen tak habis pikir dengan Mamanya yang berusaha menjodohkannya dengan seorang pria yang terlalu disetir oleh Ibunya. Tak memiliki pendirian dan membosankan. Ck! Benar-benar bukan tipenya. Yang dia suka. Pria yang tampak tak acuh, tapi penuh perhatian, seperti sosok penolongnya. Ah, si*l! Bahkan sekadar nama dia tak tau. Benar-benar menyebalkan! Helen tak suka dibuat menunggu. Jika ada kesempatan, akan dia manfaatkan untuk membujuk Farhan, agar membuatnya bisa menemukan sang pujaan hati. "Berhenti mengatainya anak Mami, Len." Mendengkus, Helen mengabaikan tatapan tajam Emily. Lihat? Mamanya lebih membela si anak Mami itu, dibanding dirinya yang anak sendiri. "Mama kenapa sih? Kok kayak terobsesi jodohkan aku sama cowok itu?" "Len, dia itu anak baik-baik dari keluarga terhormat. Nggak pernah aneh-aneh dan banyak tingkah meksipun dari kalangan atas. Beda sama deretan mantan kamu yang sebagian besar begajulan." Dengkus Emily, yang merasa kesal pada putrinya karena begitu payah memilih kekasih. Sekarang, ia carikan yang terbaik, justru anaknya abaikan. "Namanya juga sedang berproses, Ma." "Proses apa?" "Proses dalam pencarian untuk menemukan yang terbaik." "Mama sudah carikan yang terbaik. Kamu tidak perlu repot-repot dan bersusah-payah lagi. Tapi apa? Memang kamunya saja bebal. Mantan terakhir kamu sekarang tengah mendekam di penjara karena jadi pengedar. Astaga ...." Memijat pangkal hidung saat kepalanya tiba-tiba berdenyut. Emily tatap Helen yang merengut tak suka. Jika kisah cintanya dengan para mantan kembali diulik. Meksi begitu, Emily cukup bersyukur karena Helen tak terseret dalam lingkar obat-obatan terlarang. Hanya saja, selama berpacaran dengan mantannya yang terkahir. Helen terlalu naif hingga tak sadar diporoti dan menjadi ATM berjalan. Emily sampai harus turun tangan. Membayar seseorang agar mencari keburuk*n kekasih putrinya agar mau berpisah. Dan, lihat? Apa yang dia temukan? Kebod*han putrinya membuat Emily benar-benar tercengang. Bagaimana bisa tak sadar hanya di manfaatkan? Dijebloskannya mantan kekasih Helen, sebagian besar ada campur tangan Emily di dalamnya. "Baiklah, sebaiknya tunda dulu 'obrolan' ini, kita fokus sarapan." Farhan yang tak lagi tahan berada di tengah-tengah perdebatan dua wanita beda usia, akhirnya mencoba untuk menyudahi. Emily jelas tak puas, tapi tak membantah titah sang suami. Sementara Helen merasa terselamatkan. Meski di dalam hati, tekatnya kian berkobar, untuk segera menjadikan pria yang dia suka sebagai miliknya. Bukan, Helen tak bermaksud untuk menjadikannya sebagai tameng agar sang Mama tak lagi mengoceh dan berusaha menjodohkannya dengan si anak Mami. Pada dasarnya, dia memang menginginkannya. Sekarang, Helen bahkan dibuat penasaran dengan pria itu yang datang dipesta sang Papa. "Nanti siang, Tomi akan jemput kamu. Dia berencana mengajak pergi." Farhan yang baru saja menyesap cangkir kopinya, seketika memejamkan mata, usai mendengar ucapan Emily. Baru saja gencatan senjata, tapi 'perang' akan kembali meletus. Dia yakin itu. Ternganga tak percaya. Helen yang nyaris menyuapkan roti ke dalam mulutnya seketika terjeda. Sebelum akhirnya membanting sisa roti sarapannya ke atas piring. Emily bukannya tak sadar dengan kekesalan sang putri. Tapi dia memilih tak peduli dan menyibukkan diri dengan mengoleskan selai kacang pada rotinya. "Ma!" "Helen," peringat Farhan. Walau dia pun kurang setuju dengan sikap istrinya yang terkesan terlalu memaksakan keinginan pada putri mereka. Tapi dia tetap tak suka jika Helen bersikap tak sopan. Apalagi sampai meneriakkan Mamanya sendiri. Mengigit pipi bagian dalamnya. Helen berusaha untuk menekan letupan emosi yang kini menjamah sekujur tubuh. Jika dengan Mamanya, Helen terbiasa perang urat, dan saling melempar argumen. Tapi dengan sang Papa, dia tak berani. Hanya mendengar Farhan menyebut namanya penuh penekanan, itu sudah menjadi alarm untuknya. Sebuah tanda peringatan agar dia tak memanaskan keadaan. Menyambar gelas berisi sus* dan meneguknya cepat sebelum kemudian meletakkan ke atas meja dengan kas*r, nyaris seperti membanting. Helen mendorong kursi dan segera beranjak pergi. Meninggalkan Farhan yang hanya bisa mengela napas panjang melihat putrinya merajuk. Sementara Emily bersikap tak acuh. Tetap menikmati sarapannya dengan tenang. *** Keluar dari kamar mandi tanpa atasan. Elard sibuk menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil. Suara ponsel yang tertangkap pendengaran membuatnya urung untuk melangkahkan kaki menuju lemari. Dan seketika membelokkannya kearah nakas samping tempat tidur. Duduk di pinggir kasur, Elard meraih benda pipih yang masih meraung meminta perhatian darinya. Keningnya mengernyit, melihat nama Anin yang tertera di layar. Tak membuang waktu, Elard segera menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan. "Halo, Nin?" "Kak?" Suara Anin yang terdengar panik, membuat punggung Elard menegak seketika. "Kenapa?" Tanyanya dengan waspada. "Apa terjadi sesuatu?" Resah seketika merongrong, membuatnya terkurung kecemasan. "Iya, a—aku bingung harus menjelaskan situasinya seperti apa?" Tergagap, suara Anin di seberang sambungan hanya kian mengaburkan ketenangan dalam diri Elard. "Kamu di mana?" "Hah?" "Kamu di mana?" Ulang Elard melempar pertanyaan yang sebelumnya tak terjawab. "Di rumah." "Oke, tunggu di sana. Jangan kemana-mana karena aku bakal ke rumah kamu sekarang." Menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Anin yang tengah kebingungan, Elard langsung melempar asal ponselnya ke atas tempat tidur. Sebelum dia beranjak dan berderap menuju lemari. Usai mengenakan pakaian dan menyisir rambut setengah basahnya cepat-cepat. Elard meraih kunci motor dan keluar dari kamar. Selama perjalanan menuju kontrakan Anin, pikirannya tak tenang. Beruntung, perjalanan lancar tanpa harus terjebak kemacetan. Karena menggunakan motor, Elard bisa memasuki gang yang cukup sempit menuju kearah rumah kontrakan Anin. Kalau mobil yang dia bawa, terpaksa di parkirkan seberang jalan menuju gang karena kendaraan roda empat tersebut tak bisa masuk. Selesai memarkirkan motornya, Elard melepas helm dengan terburu-buru, lalu berderap menuju kontrakan Anin. Mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali sembari mengucap salam. Akhirnya sosok Anin muncul membukakan pintu. "Kak El?" "Ada apa?" Tak mengindahkan kebingungan Anin yang tiba-tiba melihat keberadaan Elard di depan pintunya. Pria itu langsung melempar tanya dengan raut cemas. Jarak apartemen Elard dengan tempat tinggalnya cukup jauh. Tapi, kenapa bisa sampai ke sini dengan sangat cepat? Apa Elard mengebut? "Nin?" Panggil Elard yang berhasil mengoyak lamunan gadis di depannya. Mengerjap, Anin menggumamkan permintaan maaf. Lalu mempersilakan pria itu masuk. "Mungkin, Kakak bisa melihatnya sendiri." "Melihat apa?" Tak segera menjawab, Anin mengajak Elard mengikutinya ke ruang tengah. Sesampainya di sana, pria itu terbengong. Mendapati begitu banyak kardus. "Kamu mau pindahan, Nin?" Tanya Elard, tapi mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. "Nggak, Kak." "Loh, terus, itu kardus-kardus apa? Oh, hasil rajutan kamu sama Bibi? Mau di kirim untuk dijual?" Lagi, Elard mendapat gelengan kepala dari Anin. Membuatnya meringis sembari menggaruk pelipis. "Lalu, kardus-kardus itu?" "Kakak beneran nggak tau? Padahal, Nara bilang, ini semua dari Kak Elard." Nara? Elard terdiam sejenak. Mencoba untuk mencangkul ingatan. Ada apa dengan istri sahabatnya itu? Lalu, bak ada sebuah tangan tak kasat mata yang menggeplak kepalanya. Elard meringis canggung, saat sebuah ingatan, akhirnya berhasil ia dapatkan. Ah, benar. Dia yang meminta tolong pada Nara waktu itu. "Jadi kardus-kardus itu berisi reng ... Reng apa ya?" "Rengginang, Kak. Dan, ya. Dua puluh kardus itu isinya rengginang." Elard menganggukkan kepala, "Bibi suka?" Memejamkan mata sejenak, sebelum kemudian membukanya lagi dengan sorot frustrasi, Anin tatap pria di depannya yang tampak santai setelah membuatnya dan sang Bibi seolah menjatuhkan rahang hingga menyentuh lantai, andai mereka berada di dunia kartun. "Untuk apa rengginang sebanyak itu, Kak?" "Kan aku sudah bilang sebelumnya. Mau ganti karena sudah habiskan punya Bibi kamu." Menyugar rambut hitamnya yang tergerai. Hal yang membuat Elard berdeham canggung sembari menggaruk ujung hidung salah tingkah. Anin menatap Elard yang mengalihkan pandangan pada deretan kardus yang membuat kontrakannya kian sempit. "Aku terima kalau memang Kak Elard bersikeras ingin mengganti rengginang Bibi. Tapi, tidak sebanyak ini. Aku rasa, sampai satu tahun pun nggak akan habis." "Ah, bukankah itu bagus?" Anin tak bisa menjawab ucapan antusias dari Elard. Bagus? Entahlah, dia justru bingung. "Jadi, kamu nggak suka?" "Bukan, maksudnya—" ah, entahlah, Anin jadi kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana yang Elard layangkan. "Kalau terlalu banyak, bisa dibagikan ke tetangga." Usul Elard yang membuat Anin bak baru saja mendapat pencerahan. Benar juga. Kenapa tak terpikirkan sebelumnya? Mungkin, Anin dibuat pusing melihat tumpukan kardus berisi rengginang pemberian Elard. Suara ponsel menginterupsi pembicaraan keduanya. Elard merogoh saku celananya. Meraih ponsel yang memperlihatkan nama Nara di layarnya. Sebuah kebetulan yang begitu tepat. Segera mengangkat panggilan, Elard tempelkan ponsel ke telinga kanannya. "Ha—" "Masnya, rengginangnya sudah dikirim ke rumah Anin. Tapi nggak banyak." Nggak banyak? Elard kemudian menjatuhkan pandangan pada kardus-kardus berisi rengginang yang baru saja Nara bilang tidak banyak. Padahal, kontrakan Anin kini menjadi penuh sesak akibat ulahnya. "Susah beli rengginang sepuluh juta. Jadi aku cuma bisa beli segitu. Sisa uangnya aku transfer ke rekening Masnya ya." "Nggak perlu, buat lo aja. Anggap sebagai ucapan terima kasih udah bantuin gue." "Hah? Masnya serius? Itu sisanya masih banyak loh." "Iya, udah, buat lo aja. Dan, sekali lagi makasih, bye!" Tak menunggu Nara membalas ucapannya, Elard sudah memutuskan sambungan secara sepihak. Lalu kembali meletakkan atensi pada Anin, tapi terinterupsi suara Ningrum yang tiba-tiba muncul. "Loh, ada Nak Elard?" Wanita paruh baya yang baru saja pulang dari warung itu berjalan hati-hati, agar tak tersandung kardus-kardus yang membuat kontrakannya kian menyempit. Segera menghampiri, Elard mencium punggung tangan Ningrum sembari mengucap salam. "Bibi habis dari mana?" "Dari warung. Beli telur, gula, sama teh. Sebelum nanti bantuin Anin beres-beres ini semua." Ucap Ningrum sembari mengedarkan pandangan pada kardus-kardus isi rengginang yang membuat Elard meringis. "Maaf ya, Bi. Saya jadi menyusahkan." "Loh, kebalik. Harusnya Bibi yang minta maaf. Nak Elard sebenarnya tidak perlu mengganti. Apalagi sampai sebanyak ini." Ningrum bingung, harus senang atau sebaliknya? Mendapat begitu banyak camilan kesukaannya. "Bibi nggak perlu ikut angkat-angkat kardus. Biar aku yang bereskan. Nanti sakit pinggangnya kambuh lagi kayak kemarin." Sela Anin, yang menginterupsi pembicaraan sang Bibi dengan Elard. "Nggak apa-apa, Nin. Biar cepat selesai. Bisa berjam-jam kalau kamu urus sendirian." Anin sudah membuka mulut, bersiap untuk membalas ucapan Ningrum, tapi Elard sudah lebih dulu menginterupsi. "Biar saya yang bantu, Bi. Anin benar, Bibi nggak perlu ikut angkat-angkat kardusnya." Baiklah, mungkin Elard harus menunda pekerjaannya, untuk menyelesaikan drama rengginang akibat ulahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD