Asifa masuk ke dalam ruangan tempat Syamsuri, kakeknya, di rawat.
Kakek menggapaikan tangannya pada Asifa. Asifa mendekat.
"Ya, Kek," Asifa berdiri di dekat ranjang tempat kakeknya berbaring.
"Aku ingin mendengar jawabanmu, Sifa." Suara kakek terdengar sangat lirih. Tatapan matanya menyiratkan sebuah harapan. Asifa menatap mata Kakeknya, mata tua itu seperti memohon kepadanya. Kepala Asifa menunduk dalam, masih ada kebimbangan, meski ia berkata pada Aska, kalau ia sudah memutuskan untuk memenuhi permintaan kakeknya. Namun keraguan tak bisa ia tepiskan begitu saja
"Sifa?" suara lirih, dan tatapan sendu itu meluruhkan kebimbangan Sifa. Ia percaya, kakeknya tidak akan memilihkan calon suami yang salah untuknya. Ia percaya, kakek pasti ingin yang terbaik untuknya. Untuk kebahagiaan, dan masa depannya.
"Aku bersedia, Kek. Tapi, aku punya permintaan."
"Apa, katakanlah." Mata kakek terlihat berbinar, mendengar Asifa bersedia memenuhi permintaannya.
"Aku ingin tetap menyelesaikan sekolahku dulu." Asifa mengatakan apa yang ia inginkan
Kakek Sifa menarik napas dalam.
"Sifa, aku juga berharap bisa panjang umur, sampai bisa menyaksikan kamu, dan Sila sukses. Tapi .... " Mata tua kakek kembali terlihat sayu. Percik harapan tampak memudar dari sorot mata kakek.
"Kek .... " Asifa jadi merasa bersalah, karena membuat kakek dirundung kesedihan lagi.
"Aku tidak tahu, apakah besok aku masih bisa bernapas," gumam kakek dengan suara sangat lirih.
"Kakek," Asifa menggenggam jemari tangan kakeknya. Air mata jatuh di pipi Asifa. Ia hapus dengan punggung tangannya.
"Keinginan terakhirku, aku hanya ingin menikahkan salah satu dari kalian. Kamu, atau Asila. Tapi, jika kamu memang keberatan, aku tidak akan memaksa ...." suara itu terdengar semakin lirih. Mata tua itu tampak berkaca-kaca. Asifa merasa tak sanggup melihat kesedihan kakeknya. Kesdihan yang bisa terhapuskan, kalau ia mau menuruti keinginan kakeknya.
"Kakek ...."
"Salman itu pria baik, Asifa. Kakek tidak mungkin mencarikan kamu jodoh yang tidak baik."
"Aku percaya, Kek ...."
Asifa berpikir sejenak, mungkin ada jalan yang lebih baik, agar keinginan kakek bisa terkabulkan, dan pendidikannya juga bisa diteruskan.
"Begini saja, Kek. Aku bersedia menikah dengan dia sekarang. Tapi, bolehkan aku pulang dulu untuk menyelesaikan sekolahku. Jika sekolahku sudah selesai, baru aku akan memenuhi kewajibanku sebagai istri." Asifa menuturkan apa yang menjadi pemikirannya.
Mata tua itu berbinar kembali, senyum tersungging di bibir kakek Asifa.
"Salman pasti tidak akan keberatan," Kakek tampak bersemangat kembali.
"Semoga saja, Kek," harap Asifa.
Dokter, dan juru rawat yang masih menunggu di sana tersenyum, melihat semangat Kakek yang kembali datang, setelah mendengar keputusan Asifa.
***
Asifa ke luar dari ruang perawatan kakeknya, setelah kakek tertidur. Bik Sulis masuk kembali ke dalam untuk menunggui Kakek.
Asifa duduk tak jauh dari Aska.
"Bagaimana keadaan kakek?" Tanya Aska.
"Beliau sempat drop. Tapi, begitu mendengar aku bersedia memenuhi keinginan beliau, semangat beliau kembali lagi."
"Jadi, kamu benar-benar sudah setuju untuk memenuhi keinginan Kakek?" Aska menatap wajah Asifa dengan lekat.
"Iya," Asifa menganggukan kepala, dihapus air mata yang jatuh di pipinya.
"Aku harus memberi tahu Abba kalau begitu," ucap Aska setelah menghela napasnya.
"Jangan!" Asifa menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Kenapa?" Aska mengernyitkan keningnya, bingung dengan maksud Asifa yang tidak mengijinkannya memberitahu orang tua mereka.
"Aku sudah bicara dengan Kakek. Kalau pernikahan ini akan disembunyikan, sampai aku lulus sekolah. Aku akan pulang setelah menikah, dan akan kembali ke sini setelah lulus, untuk menjalankan tugasku sebagai istri."
"Begitu ya? Jadi keluargaku tidak perlu tahu?" Nada marah terdengar jelas dari suara Aska.
"Aku mohon pengertian Abang. Biarkan ini jadi rahasia kita. Jadi, aku bisa menjaga perasaan kakek, juga bisa menjaga perasaan keluarga di sana. Aku mohon, tolong mengerti, Bang." Asifa menatap Aska, dengan penuh permohonan.
Aska menghela napasnya. Ia tidak ingin bicara lagi. Bagaimanapun, ia, dan keluarganya hanyalah keluarga angkat bagi Asifa. Kakek, adalah keluarga Asifa yang sesungguhnya, tentu lebih berhak menentukan hidup Asifa.
"Terserah kamu saja, Sifa. Aku tidak tahu lagi, harus bicara apa. Sebaiknya kamu tidur, jangan sampai kamu ikut sakit juga."
"Terima kasih atas pengertian Abang."
"Ya."
"Aku ke dalam dulu, Bang."
"Iya."
Asifa bangkit dari duduknya, ia menyusul bik Sulis masuk ke ruang perawatan Kakek. Aska hanya bisa menatapnya. Ia tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti antara dirinya, Adam, dan Asifa. Ia sudah gagal menjaga Asifa untuk Adam.
Selama ini, komunikasi Adam, dan Asifa sangat minim. Karena Asifa seringkali menolak bicara dengan Adam. Asifa mengatakan, ia tidak ingin membangun sebuah harapan. Jika memang jodoh, pasti akan Allah persatukan. Terkadang, Asifa bisa berpikir dewasa melebihi usianya, namun ada juga saat sifat sebagai remajanya masih terlihat.
Aska mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Hatinya terasa gelisah, ia merasa, seperti akan terjadi sesuatu yang kurang baik. Tapi, Aska berusaha menepis perasaan itu. Ia meyakinkan dirinya, kalau semua pasti akan baik-baik saja.
Kalau Asifa jadi menikah, berarti ia sudah dua kali dilangkahi. Pertama, dilangkahi Asma adiknya, yang sudah menikah lima tahun lalu dengan seorang pria yang baru di kenal. Sekarang mereka sudah memiliki dua orang anak.
Sekarang, Asifa, adik angkatnya juga akan melangkahinya. Padahal, Aska berangan-angan menikah muda. Dibawah usia dua puluh lima. Tapi, kenyataannya, di usia dua puluh tujuh tahun, ia masih belum menemukan jodohnya.
Wanita yang dekat dengannya memang banyak. Bahkan ada yang mengejarnya tanpa lelah selama bertahun-tahun. Tapi, getaran di antara dirinya dengan para gadis itu, hanya getaran di luar saja. Tidak bisa menembus sampai ke dalam hati, sehingga tidak satupun dari para gadis itu yang ia seriusi.
'Huuuh, mungkin aku ketulah Paman Arka. Sering mengoloknya jomblo tua, sekarang akupun sedang on the way menuju ke arah itu juga. Jomblo tua ... bukan karena aku tidak laku, tapi belum kutemukan yang benar-benar bisa menggetarkan hatiku. Ya Allah, siapapun jodohku, dekatkan dia padaku. Bukakan jalanMu, agar aku bisa segera bertemu, dan bersatu dengannya, dalam ridhoMu, dalam restu orang tuaku, aamiin'
Aska merasa mengantuk, tapi ia tidak bisa tidur dalam keadaan perasaan gelisah. Ia memikirkan pernikahan Asifa, merasa sedikit cemas kalau pria yang aka menjadi suami Asifa ternyata tidak sebaik yang kakek Sifa pikirkan. Ia memikirkan keluarganya. Bagaimana tanggapan mereka kalau tahu Asifa menikah tanpa memberitahu. Ia juga memikirkan tentang Adam, apa yang harus ia jelaskan kalau Adam pulang nanti, Asifa sudah menjadi milik pria lain.
BERSAMBUNG