Aska, dan Asifa sudah pulang kembali ke rumah mereka. Mereka masih tinggal di rumah Raka bersama Soleh, dan Cantika. Rumah sebelah, masih dihuni Asma sekeluarga. Karena Cantika tidak mengijinkan Asma jauh darinya. Revano sendiri tidak merasa keberatan, karena ia juga betah untuk tinggal di rumah yang dulu ditempati mertuanya.
Aska, dan Asifa seperti melupakan pernikahan mereka, karena Aska yang sibuk belajar mengelola usaha keluarga, dan Asifa yang sibuk dengan urusan sekolahnya. Sampai pada acara pengajian empat puluh hari meninggalnya kakek. Mereka berdua kembali ke rumah kakek.
"Aska, Asifa, ada yang ingin aku katakan pada kalian berdua," ucap, Syamsul, ayah bik Sulis.
"Ada apa, Kek?" tanya Aska.
"Kita bicara di dalam ya."
Aska, dan Asifa saling tatap, lalu mengikuti langkah kakek Syamsul memasuki kamar yang dulu ditempati kakek Asifa.
"Duduklah!" Kakek Syamsul menunjuk tepi ranjang, sementara dia sendiri duduk di kursi kayu dengan menghadap ranjang.
Asifa, dan Aska duduk di tepi ranjang.
"Ada apa, Kek?"
"Begini ...." Kakek Syamsul menggantung ucapannya sesaat. Sepasang suami istri di depannya menunggu apa yang ingin disampaikan.
"Salman, dan keluarganya, kemarin datang untuk meminangmu, Asifa."
"Apa!?" Asifa, dan Aska saling pandang.
"Aku tidak bisa menceritakan kalau kalian sudah menikah. Karena aku sudah berjanji untuk menjaga rahasia pernikahan kalian."
"Tapi, kenapa tiba-tiba dia melamar Sifa, bukannya dia sudah membatalkan niatnya untuk menikahi Sifa, dengan tanpa alasan yang jelas?" tanya Aska heran.
"Salman mengaku jatuh cinta pada Asifa saat pertama kali melihatnya, saat hari di mana Mas Syamsuri meninggal. Aku katakan, aku tidak punya hak untuk menjawab pinangan mereka. Aku katakan, akan bicara dengan Asifa dulu."
Aska menatap Asifa.
"Bagaimana?"
"Apanya?" Asifa balik menatap Aska, dan balik bertanya.
"Kok apanya, kamu jawab pinangan Salman."
"Jawab apa, nggak tahu."
"Kebiasaan, tiap ditanya, pasti jawabnya nggak tahu!"
"Aku harus jawab apa, Abang?"
"Kamu terima atau tidak?"
"Ya tidak, masa iya aku harus punya suami dua. Eeh, anu, ehmm.... " wajah Asifa merona, karena baru saja kelepasan bicara, kalau ia sudah memiliki suami.
"Tapi, alasan itu tidak bisa aku katakan pada mereka. Karena kalian ingin pernikakahan kalian untuk tetap dirahasiakan, bukan?"
"Kakek benar juga, jadi apa alasanmu untuk menolaknya, Sifa?"
"Nggak tahu.... "
"Tuhkan, nggak tahu lagi!"
"Aku harus jawab apa, aku benar-benar nggak tahu, Abang."
Aska tampak berpikir sejenak.
"Begini saja, Kek. Katakan saja, Sifa ingin melanjutkan pendidikannya, tidak ingin memikirkan pernikahan lebih dulu."
"Aku juga berpikir untuk menjawab seperti itu, tapi aku butuh persetujuan kalian."
"Ya, aku rasa itu jawaban terbaik, Kek."
"Aku pikir juga begitu."
Asifa hanya diam saja, membiarkan dua orang pria yang bersamanya membicarakan dirinya. Asifa percaya, mereka tahu apa yang terbaik untuknya.
***
Pengajian empat puluh hari meninggalnya kakek Asifa baru saja selesai. Endang, nenek Asifa memanggil Asifa untuk bicara dengannya, di ruang tamu rumah mendiang kakek Asifa.
Duduk bersama Endang, Salman beserta kedua orang tuanya.
"Duduklah, Sifa." Ucapan Endang bernada memerintah. Asifa duduk tidak terlalu dekat dengan neneknya.
"Kamu harus berkenalan dengan Salman. Ini Salman, ayahnya Salman ini adalah saudara sepupu Nenek. Jadi Salman terhitung keponakan Nenek."
Asifa hanya menganggukan kepala, dan tersenyum ke arah mereka yang ada di hadapannya.
"Apa Syamsul sudah menyampaikan padamu,l tentang niat Salman untuk menjadikan kamu istri?"
Asifa menganggukan kepala.
"Aku minta kamu jawab sekarang juga, Asifa!" Nada suara Endang terdengar mengintimidasi.
"Maaf, Nek. Aku masih sekolah, belum ingin menikah."
"Tapi, kenapa kemarin kamu setuju untuk menikah?"
"Aku hanya ingin menyenangkan hati kakek saja. Sekarang kakek sudah pergi, aku ingin melanjutkan sekolahku."
"Salman bisa menunggu kamu menyelesaikan sekolahmu."
"Ehmm, tapi, Nek... " Asifa jadi bingung harus berkata apa lagi.
"Ingat ya Sifa, kemarin kamu sudah setuju untuk menikah dengan Salman, lalu kenapa sekarang kamu berusaha mencari-cari alasan untuk menunda pernikahan!"
"Itu bukan salah Asifa, Mbak Endang. Itu salah kalian, kenapa saat diberi kesempatan tidak datang!" kakek Syamsul tiba-tiba datang bersama Aska. Mereka duduk dengan mengapit Asifa di antara mereka berdua.
"Jangan ikut campur, Syamsul. Aku Neneknya, aku lebih berhak menentukan arah hidup Asifa!"
"Tidak ada yang lebih berhak menentukan hidup Asifa, selain Asifa sendiri. Tidak juga kamu, Mbak Endang!" Syamsul tampak menahan kegeraman terhadap Endang. Ia masih ingat sekali, bagaimana dulu Endang berselingkuh, dan meninggalkan kakek Asifa.
"Asifa, bagaimana jawabanmu?"
"Jawabanku tetap sama, Nek. Aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu."
"Baiklah, itu hanya tinggal beberapa bulan lagi, bukan. Salman, kamu bersedia menunggu Asifa lulus sekolahkan?"
"Tidak masalah."
"Nah, semua sudah jelas. Asifa, Salman akan datang melamar, dan menikahimu, begitu kamu lulus sekolah."
"Tapi, Nek ...."
"Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, kami pergi dulu. Ingat Sifa, jaga dirimu untuk Salman."
"Nek ...."
Endang tidak ingin mendengar penolakan, ia segera pergi meninggalkan rumah mantan suaminya, bersama Salman sekeluarga.
Kakek Syamsul menggeram saking marahnya.
"Dia tidak berubah, masih saja seperti dulu. Sekarang kamu tahu, Sifa. Dari mana sifat buruk almarhum ayahmu, dia warisi?"
Asifa hanya diam, kepalanya menunduk dalam. Sedang Aska tengah memutar otak, untuk menyelamatkan Asifa dari keegoisan neneknya, demi janjinya pada Adam.
"Ada apa, Pak?" Bik Sulis muncul di ruang tamu.
"Mbak Endang, tidak pernah berubah. Dia ingin Asifa menerima lamaran Salman. Asifa sudah menolak, eeh dia main paksa. Seperti dia saja yang merawat, dan mendidik Asifa. Seenaknya!"
"Sabar, Pak. Ya memang sudah wataknya dia begitu, mau diapakan lagi. Ayo, Sifa, tidak usah dipikirkan. Dia tidak akan bisa memaksamu, kalau kamu tidak mau." Bik Sulis menggamit lengan Asifa.
"Aku rasa, kalian perlu meresmikan pernikahan, agar Endang tidak bisa lagi merasa paling berhak atas diri Asifa. Bagaimana menurutmu, Aska?"
"Haah, ehmm bagaimana, Paman?" Aska merasa ia sudah salah dengar, akan apa yang diucapkan oleh Kakek Syamsul.
BERSAMBUNG