PART. 8

812 Words
Tatapan mereka berdua seragam, ke arah api tungku yang memang sengaja tidak dimatikan oleh Aska. Api menari terkena hembusan angin yang masuk dari sela dinding yang terbuat dari kayu. "Setelah menikah dengan Adam, apa kamu akan tetap melanjutkan pendidikanmu, Asifa?" Pertanyaan Aska membuat Asifa menolehkan kepala. Ia sedikit kesal, karena Aska tidak pernah menanyakan perasaannya terhadap Adam. Aska seakan sangat yakin, kalau ia juga jatuh hati pada Adam. "Sifa?" Aska menolehkan kepala, karena Asifa tidak menjawab pertanyaannya. "Abang tidak ada bedanya dengan nenekku," gumam Asifa. Asifa memeluk kedua lututnya. Dan, meletakan dagu di atas lututnya. "Eh, apa maksudmu. Kenapa kamu menyamakan aku dengan nenekmu?" "Abang, dan nenekku sama saja. Tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku, tapi langsung mengambil keputusan, mewakili diriku. Seakan tahu benar perasaanku." Asifa menyusut air mata yang jatuh di pipinya. Aska menatap Asifa dengan lekat. Ia baru tersadar, kalau selama ini, Asifa tidak pernah mengatakan kalau dia menerima cinta Adam. Bahkan, Asifa selalu terlihat keberatan bila Aska meminta Asifa menerima telpon dari Adam. "Apa hatimu sudah ada yang memiliki, Asifa?" Asifa menatap api yang bak menari dengan bebasnya. Tak sebebas dirinya untuk mengungkapkan apa yang ia rasa. "Apa harus ada yang memiliki hatiku, jika aku menolak Bang Adam?" Asifa balik bertanya. Aska menarik napas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Tatapannya kembali pada api di tungku. "Adam sosok yang sempurna. Dia tampan, anak orang berada, dari keluarga yang tidak diragukan lagi kebaikannya. Masa depannya cerah. Semua yang diinginkan seorang wanita ada pada dirinya." "Tidak semua wanita mengharapkan yang sempurna. Rasa nyaman bisa jadi pertimbangan yang utama," gumam Asifa. Aska tersenyum, mendengar ucapan bijak ke luar dari mulut gadis yang usianya baru menuju delapan belas tahun. "Kadang aku merasa, kamu dewasa sebelum waktunya, Asifa." "Masa kecilku penuh penderitaan, Bang. Melihat bagaimana ibuku harus berjuang menghidupi kami, sementara ayahku tidak perduli keadaan kami. Ayah bekerja, tapi penghasilannya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri saja. Dia tidak perduli ... Astaghfirullah hal adzim!" Asifa mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Sesaat tadi ia tidak bisa mengontrol dirinya. "Harusnya, aku tidak membuka aib orang tuaku pada orang lain, bukan?" "Apa aku ini orang lain bagimu, Asifa?" Aska kembali menatap Asifa yang duduk di sampingnya, namun masih ada piring berisi singkong, gelas berisi teh, dan cobek berisi sambal yang membatasi mereka berdua. Asifa membalas tatapan Aska. "Aku rasa, Abanglah yang selama ini menganggap aku orang lain." "Aku? Kamu salah, bagiku kamu adalah adikku. Kamu putri Abba, dan Ammaku. Cucu, dari Kai, dan Niniku. Adik dari Asma, adikku. Kamu adikku, Asifa." 'Tapi, denganku, Abang tidak pernah bersikap sesantai, dan sehangat saat Abang bersama Kak Asma, dan Asila. Abang tidak pernah menggodaku, tidak pernah menjahiliku. Abang sosok berbeda saat bersamaku.... ' "Hujan sudah berhenti, aku harus pulang," Asifa bangkit dari duduknya. Aska ikut bangkit juga. "Masih gerimis." "Tidak apa, aku tidak akan sakit, hanya karena gerimis. Tidak seperti Abang, kalau kena gerimis bisa masuk angin, lalu terserang diare." Aska mengambil jaketnya yang tergantung di tiang pondok. "Pakailah!" Disampirkan jaket di atas bahu Asifa. "Tidak perlu, Bang." "Pakailah, diluar pasti masih terasa dingin." "Lalu Abang bagaimana?" "Aku rasa, saat aku pulang, pasti matahari sudah bersinar terang." "Ehmm, terima kasih, Bang. Aku pulang dulu, Assalamuallaikum." "Walaikum salam. Hati-hati, Sifa." "Ya, Bang." Aska berdiri di teras pondok, ia menatap Asifa yang mengayuh sepedanya. Ia merenungkan apa yang diucapkan Asifa tadi. Tentang dirinya, yang tidak pernah bertanya, seperti apa perasaan Asifa terhadap Adam. 'Apa aku harus mengatakan tentang hal ini pada Adam?' *** Aska melepaskan peci, baju koko, dan sarungnya. Diambil sarung lain dari lemari. Sarung khusus untuk tidur. Diambil ponsel dari atas meja, lalu ia duduk di tepi ranjang. Aska ingin menghubungi Adam, membicarakan tentang perasaan Asifa pada Adam. Aska sudah mengetik pesan, namun jarinya tertahan untuk mengetuk kirim. Ia masih banyak pertimbangan. Takut pesannya akan mengganggu Adam. 'Mungkin, biar Adam sendiri nanti yang aku pinta untuk mengatakan isi hatinya secara langsung pada Asifa. Dan, biar Asifa menjawab sesuai dengan perasaanya. Tugasku, hanya menjaga Asifa agar tidak dimiliki orang, sampai Adam kembali nanti. Urusan perasaan cinta, biar mereka berdua nanti yang membicarakannya.' Itulah keputusan yang diambil Aska pada akhirnya. Dihapus pesan yang sudah ia tulis. Dimatikan ponsel, diletakan di atas meja, lalu ia berbaring, dan memejamkan mata. Aska tersenyum pahit, saat ini ia yang menjadi bahan olok keluarganya, karena niat menikah muda yang gagal total pada akhirnya. Target menikah di usia dua puluh lima tahun, terlewati sudah. Ia merasa, ini sebagai pembalasan, karena olok-oloknya untuk Arka, pamannya yang menikah dengan Dara, saudara kembar Adam. Aska berusaha untuk tidur, namun sekarang terngiang lagi ucapan Asifa. Yang mengatakan, kalau dirinya sama saja dengan nenek Asifa. Tidak perduli akan perasaan Asifa, ingin memaksakan kehendak saja. 'Huuh, apa kurangnya Adam, Asifa? Hidup bersamanya, aku yakin kamu tidak akan kekurangan apa-apa. Dari pada dengan si Salman, yang belum tahu bagaimana keluarga, dan kehidupannya. Atau, kamu sudah memiliki seseorang yang namanya, kamu simpan di dalam lubuk hatimu?' BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD