Kien tersenyum penuh kebahagiaan, setelah mencari yang sesuai kriteria pada akhirnya dia menemukan juga hunian yang sangat cocok untuk dia tinggali bersama Ulia. Dan Kien berharap Ulia pun akan merasa senang dan nyaman berada di rumah yang baru dibelinya sehari lalu.
Ditengok rumah yang kini berada di hadapannya, lingkungan yang cukup asri. Kien melangkah mendekat ke arah pintu, membuka kuncinya dan masuk ke dalamnya. Rumah ini tidak bisa dibilang kecil, rumah dua lantai yang cukup besar untuk ditinggali hanya berdua bersama Uli.
Kien sudah memikirkan dan merencanakan semua yang dia lakukan sebelum memutuskan pindah ke Kuala Lumpur. Termasuk mengenai rumahnya yang ada di Indonesia. Memang sengaja tidak dia jual. Karena pasti sewaktu-waktu dia masih akan pulang ke Indonesia. Salah satu temannya mau dia repoti untuk dititipi rumah beserta mobilnya.
Dan satu lagi yang sudah Kien lakukan tanpa sepengetahuan Ulia. Keluarga istrinya yang ada di kampung juga tak luput dari perhatian Kien. Rumah mertuanya telah dia renovasi sedemikian rupa. Melalui orang kepercayaannya, Kien telah menyulap rumah Pak Safii menjadi rumah dua lantai dimana lantai satu dijadikan sebagai tempat usaha dan di lantai duanya sebagai tempat tinggal. Tak lupa Kien melengkapi toko yang akan dikelola oleh ibu mertuanya dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Kien pun sudah siap seandainya sewaktu-waktu Ulia tahu. Pasti istrinya itu akan protes kepadanya karena untuk kesekian kali melakukan hal tanpa memberitahu Ulia terlebih dahulu. Tapi apa yang Kien lakukan ini adalah salah satu bentuk tanggung jawabnya pada Ulia sekeluarga.
Kien tidak ingin membawa anak gadis orang begitu saja tanpa memikirkan bagaimana keluarganya. Karena Kien cukup paham jika selama ini Uli pun juga banyak membantu perekonomian keluarganya. Dan Kien berharap dengan apa yang dia lakukan itu dapat meringankan beban kedua mertuanya. Setidaknya selama tidak ada Ulia di dekat mereka, toko yang telah dipersiapkan Kien mampu menopang perekonomian mertuanya sekeluarga.
Dan mengenai pendidikan adik-adik Ulia, Kien juga telah menanggung semuanya. Biaya sekolah dan segala keperluan kedua adik istrinya telah Kien lunasi semua hingga Pak Safii tak perlu bersusah payah memikul beban kedua anaknya yang masih membutuhkan biaya pendidikan.
***
Masuk ke dalam rumah yang masih tampak bersih. Kien tak sabar untuk dapat hidup berdua bersama Ulia disini. Beberapa hari tidak bertemu istrinya, membuat Kien harus rela menahan rindu.
Teringat akan kebersamaannya bersama Uli membuat Kien tersenyum. Apalagi jika mengingat kegilaan yang dia lakukan demi menikahi Ulia. Benar- benar perjuangan yang berbuah manis. Dan Kien tidak pernah merasa menyesal telah mengenal Ulia dan membawa gadis itu kedalam hidupnya.
Bagi Kien, Ulia adalah jodoh terindah yang dikirim Tuhan untuknya. Hanya dengan mengingat wajah cantik istrinya, tanpa sadar Kien telah mengelus pangkal pahanya. Sesuatu di bawah sana menggeliat bangun dan sangat merindukan Ulia. Kien mengerang frustrasi. Selalu seperti ini. Padahal dulu sebelum dia menikahi Uli, dia tidak sesensitif ini jika menyangkut perasaan hati dan nalurinya sebagai laki-laki. Akan tetapi, sejak dia menikah dan merasakan betapa dasyatnya pesona sang istri, membuat Kien sering lupa diri. Sekali lagi, Kien menyebut nama Ulia berkali - kali demi menetralkan debar jantungnya yang mulai menggila. Disaat seperti inilah betapa Kien sangat merindukan dan membutuhkan Uli berada di sisinya.
Rasa sayang yang Kien punya memang tak bisa diragukan lagi. Apa pun sanggup Kien lakukan demi Ulia. Dan Kien selalu berharap semoga Uli betah tinggal di Kuala Lumpur nantinya.
Mengenai Study, Kien tidak pernah berbohong pada Uli. Dia memang telah mendaftarkan Uli di salah satu Universitas ternama di Kuala Lumpur. Istrinya itu masih sangat muda dan Kien tak akan menjadi penghalang untuk Ulia mengejar cita- citanya.
Kien yakin jika Uli pasti akan mampu membawa diri serta membagi waktu untuknya juga dunia Uli sendiri. Meski tak dirinya pungkiri jika Kien pun ingin sekali memiliki seorang baby. Usia Kien tak muda lagi. Hampir tiga puluh satu tahun dan sudah sepantasnya menimang seorang baby. Terlebih dia adalah anak tunggal, jadilah Kien menjadi harapan satu- satunya bagi keluarga untuk memberikan keturunan.
Akan tetapi Kien tak ingin memaksakan hal ini pada Uli. Kien takut jika Uli akan marah kepadanya seperti waktu lalu hingga membuat mereka berdua perang dingin berhari- hari. Biarlah mengenai anak, Tuhan yang mengaturnya. Jika sudah menjadi rejekinya, pastilah tak akan ke mana.
****
Ponsel yang berada di saku celananya berbunyi. Segera Kien merogohnya dan hatinya semakin berbunga-bunga melihat foto cantik istrinya yang memenuhi layar ponsel miliknya. Sengaja ia menjadikan foto Uli sebagai wallpaper di layar ponselnya.
"Assalamualaikum, Abang."
"Waalaaikumsalam, sayang."
"Abang lagi di mana?"
"Di hatimu." Kien terkekeh sendiri dengan gombalannya, sementara Uli berdecak sebal karena godaan suaminya.
"Sayang...."
"Ya, " jawab Uli.
"Abang ada kejutan untuk sayang tapi... "
"Tapi apa?"
"Adalah. Bukan surprise lagi jika Abang bagitahu sekarang ini. Tunggu sayang datang, baru Abang bagi kejutan. Nak tak?"
"Baiklah."
"Sayang telpon Abang, apa ada hal yang ingin sayang sampaikan?" tanya Kien, karena tidak biasanya Uli akan meneleponnya terlebih dulu. Lebih sering dia yang berinisiatif menelepon Uli, meskipun hanya sekedar bertanya hal yang tak penting.
Sementara Uli, wanita itu ingin sekali bercerita banyak hal pada Kien. Terutama mengenai Rio. Tidak sabar ingin menunggu ia dan Kien bertemu agar dia bisa mencurahkan isi hatinya pada sang suami. Oleh sebab itulah, Uli yang sedang bimbang, hatinya menuntun jari-jari lentiknya menekan layar ponsel hingga tersambung pada nomor telpon suaminya. Tapi, begitu Kien bertanya tentang tujuannya menelpon, mulut Uli terkunci rapat. Haruskah ia bercerita pada Kien mengenai apa yang di katakan Rio kepadanya? Bagaimana seandainya Kien marah atau lebih parahnya lagi khawatir dan tidak percaya kepadanya?
Uli berperang dengan hatinya.
"Sayang...!" kembali panggilan lembut terdengar di telinga Ulia.
Berusaha menghalau perasaan bimbangnya dan justru Uli menjawab pertanyaan Kien di luar rencanya. "Aku hanya merindukan Abang saja. Ya sudah, aku tutup telponnya. Bye, Abang." Buru-buru Uli menutup sambungan telponnya. Sebelum Kien bertanya banyak hal padanya dan berakhir Uli susah untuk memberikan jawaban.
Kien menyimpan kembali ponselnya. Sebenarnya, Kien tak tega membiarkan istrinya sendirian di rumahnya. Oleh karena itu kenapa Kien meminta Uli untuk tinggal di tempat kos untuk sementara waktu sampai ia memboyong Ulia ke Malaysia. Tapi terkadang istrinya itu justru memilih pulang ke rumah dan tinggal seorang diri. Hal itulah yang membuat Kien semakin risau. Hingga Kien harus meminta salah seorang security perumahan untuk terus mengawasi Uli. Kien tidak ingin terjadi apa-apa pada istrinya itu selagi tidak bersamanya.