Setelah beberapa hari hampir tidak ada kabar dari Zayn, siang ini pria itu tiba-tiba menelepon Belva. Ketika Belva baru saja masuk ruangan kerjanya yang berada di lantai atas.
“Ya?” ujar Belva.
“Kamu di mana?”
“Kantor. Kenapa?”
“Perusahaan kamu enggak mau pakai smart lock system? Aku mau buat penawaran nih,” ujar Zayn dari seberang sana membuat Belva mendengus.
“Bilang sama tim IT lah, masa ke aku langsung?”
“Hehehe sudah kok,” kekeh Zayn, “aku bahkan sedang di kantor kamu nih, makan siang bareng yuk,” ujarnya yang ternyata bertanya tentang produknya itu hanya untuk menggoda Belva.
“Aku lagi malas makan keluar, satu setengah jam lagi ada meeting,” ucap Belva. Cukup lama tidak terdengar suara Zayn hingga Belva melihat layar ponselnya lagi dan memastikan panggilan mereka masih tersambung, “makan di ruangan aku saja sini,” ucap Belva.
“Oke deh, aku pesan pizza dulu ya, kamu mau kan?”
“Iya boleh, aku chat nomor lantaiku ya,” ucap Belva lalu memutuskan panggilan itu. Dia mengirim pesan ke Zayn dan juga mengabari sekretarisnya dengan berkata bahwa akan ada temannya yang datang. Lucu memang beberapa tahun lalu dia masih menjadi sekretaris Renata, namun kini dia yang memiliki sekretaris.
Tidak sampai setengah jam, Zayn telah sampai di depan ruangan Belva, sekretaris Belva yang bernama Dhini itu mempersilakan Zayn masuk, melihat tatapan terpesona yang dilemparkan Dhini terhadap Zayn membuat Belva mengangkat sebelah alisnya. Memang Zayn sangat mempesona, bahkan dia pun mengakui itu. Zayn mengucap terima kasih kepada Dhini yang tersenyum tersipu. Belva meminta Zayn duduk di sofa sementara dia menandatangani satu berkas, dan Dhini pun keluar dari ruangan itu.
Belva menutup pulpen khusus miliknya, lalu dia menghampiri Zayn yang sudah membuka kotak Pizza ukuran besar dengan banyak makanan pendamping dalam kotak itu.
“Banyak banget belinya,” ujar Belva.
“Aku lagi suka pizza,” ucap Zayn, mempersilakan Belva memakan lebih dahulu.
“Kenapa buat produk smart system? Enggak beli perusahaan Pizza aja?” sindir Belva sambil mengambil satu slice pizza dengan keju lumer itu.
“Mana mampu, dikira murah? Kalau hanya beli satu outletnya mungkin bisa,” celoteh Zayn mengambil pizza dan menyuapnya. Makan pizza memang paling enak dengan tangan kosong.
“Merendah untuk meroket,” cibir Belva. Zayn hanya tertawa menanggapinya.
“Kenapa kamu yang ke sini? Enggak minta staff aja untuk buat penawaran?” tanya Belva.
“Aku sudah kirim berkas penawaran dari beberapa bulan lalu, tapi baru disetujui Willi sekarang. Aku ingin lebih memberi kepercayaan saja agar penawarannya diterima, namanya juga belum lama merintis di Indonesia, sekaligus mau lihat calon istri,” goda Zayn. Belva mengangkat sebelah sudut bibirnya seraya mendengus.
“Bagaimana acara panti kemarin? Lancar?” tanya Zayn.
“Lancar kok hanya pemberian vitamin aja. Bisnis kamu bagaimana? Deal proyeknya dengan klien di Bali kemarin?”
“Iya deal, meski permintaannya agak rumit, tapi bisa lah diatur.” Zayn meneguk cola dari botolnya langsung, Belva memperhatikan sosoknya yang penuh percaya diri. Dia hanya mengangguk pelan dan melanjutkan makannya. Mereka masih membahas beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Namun didengarkan dengan seksama, bukankah tidak ada yang tidak penting, jika dibicarakan dengan orang yang dicintai?
Zayn pun berpamitan pergi sebelum Belva meeting.
***
Hari ini, Renata ingin mengunjungi Belva di ruang kerjanya setelah menemui sang suami tadi. Dhini, sekretaris Belva baru saja menandatangani antaran rangkaian bunga vas untuk diletakkan di meja yang sangat indah. Perpaduan mawar putih dan mawar hitam. Setelah kurir pengantar bunga yang didampingi petugas keamanan pergi dari tempat itu, Renata pun menghampiri Dhini.
“Dari siapa dan untuk siapa?” tanya Renata, wanita muda nan cantik itu masih terlihat sangat mempesona meski sudah memiliki anak.
“Siang Bu Renata, ini untuk ibu Belva dari bapak Zayn, meminta langsung diantar ke Bu Belva, jadi kurirnya naik ke atas,” ucap Dhini menjelaskan. Memang biasanya kurir yang mengantar apapun hanya diperbolehkan sampai lobbi kecuali ada instruksi khusus. Dan jika kurir itu sampai ke lantai teratas berarti Belva telah memberinya izin untuk naik.
“Wah, sini saya yang antar ke ruangan Belva, kebetulan saya mau ke tempatnya,” ucap Renata.
Dhini sebenarnya tidak enak hati memberikan istri dari CEO itu bunga yang seharusnya dia yang antar, namun Dhini tahu hubungan Renata dan Belva lebih dari rekan kerja, bahkan mereka sudah seperti saudara.
Renata membawa vas bunga itu dengan senyum mengembang, ide jahil menggoda Belva muncul begitu saja, setelah bertahun mengenal Belva, baru kali ini dia melihat wanita itu mendapatkan bunga.
Renata mengetuk pintu ruangan Belva lalu membukanya. Belva terlihat sedang menatap layar komputernya.
“Cie, dapat bunga,” goda Renata, Belva hanya mendengus dan memutar kursinya. Renata meletakkan bunga itu di meja Belva, menatanya agar terlihat lebih artistik.
Belva melihat kartu ucapan yang tersemat di bunga itu sambil mendengus.
“Apa tulisannya?” tanya Renata penasaran.
“Semangat kerjanya,” ujar Belva. Menutup kertas itu dan meletakkan di laci.
“Kenapa kasih bunga hidup? Padahal jaman sekarang lebih estetik bunga bank kan?” decih Belva membuat Renata tertawa.
“Itu sih matre namanya,” tutur Renata seraya duduk di sofa. Belva beranjak dari kursinya dan duduk di dekat Renata.
“Tolong bedakan realistis dan matre.”
“Sama saja. Ngomong-ngomogn Zayn ini yang kemarin sempat ketemu di pernikahan Aina-Willi kan?” tanya Renata. Belva mengangguk sebagai jawabannya, setelah dua hari lalu pria itu menyambangi kantornya, dia tidak pernah sekali pun mengirim pesan, begitu pula dengan Belva hingga Belva berpikir mungkin Zayn sudah tidak tertarik lagi? Namun dia justru secara tiba-tiba mengirim bunga. Entah apa tujuannya?
“Jadi hubungan kalian berlanjut setelah pertemuan hari itu?” tanya Renata.
“Entahlah,” jawab Belva acuh. Selalu seperti itu, dia tidak pernah mau cerita tentang kisah cintanya. Dia lebih suka memendam sendiri segalanya seperti yang selama ini dia lakukan.
“Aku selalu terbuka sama kamu, tapi kamu enggak pernah mau terbuka masalah pribadi,” rutuk Renata sambil melipat kedua tangannya di daada.
“Apa yang mau diceritakan? Lagi pula enggak ada yang spesial.”
“Ya sudah deh kalau enggak mau terbuka, aku mau pulang aja,” rajuk Renata sambil beranjak.
“Iya, hati-hati di jalan, lagi pula aku banyak kerjaan,” balas Belva dengan sama keras kepalanya.
“Belva ish!” cebik Renata membuat Belva tertawa. Belva ikut beranjak dan memilih mengantar Renata sampai depan lift.
“Pokoknya aku mau jadi orang pertama yang tahu kalau kalian mau menikah! Janji?” ujar Renata di depan pintu lift yang terbuka.
“Menikah? Bukankah itu terlalu muluk,” kekeh Belva membuat Renata mendengus.
Sepeninggal Renata, pintu lift pun tertutup, memantulkan bayangan Belva yang memantung sambil menarik napas panjang.
Bolehkah dia memimpikan pernikahan? Dia saja tidak tahu siapa ibunya, dan di mana wanita itu sekarang? Atau siapa ayahnya? Tidak ada satu pun dokumen yang menunjukkan nama orang tuanya, hingga selama ini nama Bunda Tere yang selalu saja menjadi penanggung jawabnya, sebagai orang tuanya.
Jika dia menikah nanti, akankah keluarga suaminya menerimanya? Menerima asal usulnya yang tidak jelas? Ataukah Belva harus mencari keluarganya lebih dahulu sebelum memutuskan menikah?
“Ibu,” panggil Dhini sambil memegang gagang telepon. Namun Belva tidak juga menoleh dan terus berjalan, “Bu Belva!” panggil Dhini lebih keras, barulah Belva menyadari bahwa dia terlalu larut akan pikirannya dan menoleh ke arah Dhini yang berdiri di balik meja sekretaris.
“Ada apa?” tanya Belva.
“Pak Regan telepon,” ujar Dhini setengah berbisik. Belva menghampiri meja Dhini dan mengambil gagang telepon itu.
“Ya, Pak?”
“Renata baru saja pergi.”
“Kamu ada pertemuan berapa jam lagi?” tanya Regan dari seberang telepon.
“Masih dua jam lagi, ada apa?” tanya Belva.
“Ke ruangan saya ya, saya juga panggil Willi, saya tunggu sekarang,” ucap Regan. Belva pun mengiyakan dan mengembalikan gagang telepon itu ke Dhini.
“Saya ke ruangan pak Regan, jika ada yang mencari saya katakan saja seperti itu,” ucap Belva yang diangguki Dhini.
Belva berjalan santai menuju ruangan Regan yang berada di lantai yang sama, namun dia harus melewati beberapa ruangan lain, termasuk ruangan khusus staf asisten Regan. Berpapan dengan Willi yang juga ke ruangan Regan.
Willi adalah teman kuliah Renata yang juga teman Belva, dia dan Belva ikut membantu menyelamatkan perusahaan The R2 Company yang dulu bernama Sanjaya Group dari kebangkrutan. Karenanya mereka berdua diangkat menjadi orang penting di perusahaan ini. Di tangan mereka berdua, perusahaan ini semakin maju dan tentunya mendapatkan keuntungan yang besar hingga para karyawan pun terjamin kesejahteraannya.
Willi juga adalah suami dari Aina, yang merupakan sepupu tiri Zayn, ayah sambung Aina adalah om dari Zayn, itu sebabnya Zayn juga fasih berbahasa Indonesia karena hubungan keluarganya dengan orang Indonesia itu cukup banyak dan keluarga mereka sering melakukan bisnis di negara ini.
“Bagaimana kabar Aina?” tanya Belva sambil berjalan di samping Wili.
“Baik, dia juga titip salam ke kamu, katanya dia enggak sabar menantikan kamu menjadi anggota keluarganya,” ucap Willi sambil terkekeh. Belva meninju lengannya pelan.
“Menyebalkan!” decihnya. Willi tertawa dan membuka pintu ruangan Regan setelah mengetuknya, mempersilakan Belva masuk lebih dahulu.
Regan sudah duduk di sofa tunggal, lalu dia meminta Belva dan Willi duduk. Dia menyodorkan dua buah proposal ke arah mereka berdua yang langsung membuka dan melihat isinya.
“Sebelum saya bahas di forum besok, saya ingin bertanya pendapat kalian berdua dahulu,” ujar Regan.
“Tentang?” tanya Belva.
“Perluasan pasar ke Negara Timur. Bagaimana menurut kalian? Apakah prospeknya cukup menjanjikan dibanding Asia Tenggara?” tanya Regan sambil bersandar. Willi dan Belva saling tatap. Pikiran mereka sama, perluasan pasar itu berarti pekerjaan akan semakin banyak, namun bukan Belva namanya jika tak menyukai tantangan. Dan bukan Willi jika mudah menyerah.
“Sepertinya bagus,” ujar Belva.
“Kita perlu mencobanya,” ucap Willi.
“Nah itu yang saya mau dengar, siapkan materinya untuk besok ya,” ucap Regan sambil mengangkat kedua alisnya. Belva dan Willi lagi-lagi saling tatap dan mendengus. Dasar CEO! rutuk mereka berdua. Meskipun rutukan itu tidak berasal dari hati mereka karena mereka tahu Regan mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perusahaan lebih dari siapa pun juga, demi menjaga wasiat peninggalan ayahnya dan ayah Renata yang susah payah membangunnya dari nol.
***