Part 2

1282 Words
PART 2 PART-2 “Gue pikir itu saudara lo dan kenapa lo manggil gue? Gue gak ada urusannya sama bayi itu.” Hanin mengernyitkan dahinya heran. “Gue minta bantuan.” Arthur meletakkan bayi itu ke pangkuan Hanin. “Harus ya gue?” Hanin merasa lelah sore ini dan ingin rasanya bersantai ria. ‘Bayi ini lucu juga’---batin Hanin memandang wajah bayi itu yang kini tangannya memainkan kunci apartemen milik Arthur. “Lo cewek dan paling ngertilah ngurusin anak kecil. Bentar lagi gue mau bawa ini bocah ke kantor polisi.” “Hmm siapa ya kira-kira yang bawa bayi ke apartemen dan seperti sengaja dibuang.” Hanin merasa ada sesuatu yang janggal dan pasti ada alasan mengapa bayi setampan ini dibuang. Anehnya pula di apartemen, selanjutnya Hanin melirik tas bayi dan ada seekor kucing tapi kucing itu tiba-tiba pergi entah kemana sampai saat ini pun belum kembali. “Oke, gue mau makan dan mandi.” “Harusnya gue dulu, gue ingin mandi.” Hanin mendongakkan wajahnya melihat Arthur beranjak berdiri yang sebelumnya duduk di sebelahnya. “Lo masih suka kan sama gue? Jadinya ambil kesempatan biar deket sama gue. Apa jangan-ja ngan bayi itu saudara lo dan sengaja lo taruh di depan apartemen gue?” “Astaga, lo mikirnya kejauhan dan PD terlalu tinggi. Masih untung gue bantuin lo.” Hanin menatap nyalang ke Arthur dengan senyum culasnya. “Bentar lagi gue gak butuh bantuan dari lo!” Arthur membentak Hanin dan tangannya menunjuk di depan wajah gadis tersebut tidak menyadari ada anak kecil yang langsung terdiam sembari bibirnya mengerucut. “Huaaa apa apa!” jerit bayi mungil itu seraya meronta-ronta di pangkuan Hanin. “Lo harus tau kalau ada anak kecil di sini dan dia pasti takut sama lo. Kasar banget.” Hanin menarik napasnya dan beranjak berdiri sambil menenangkan bayi itu. Arthur melengos masuk ke kamar tanpa ada rasa bersalahnya. “Bisa-bisa gue dulu suka sama dia. Makin sakit aja kalau rasa itu muncul lagi. Gue ingin jadi cewek kuat tapi selalu lemah kalau ingat pertemanan kita dulu.” Beberapa menit, merasa bayi itu malah tertidur pulas dan Hanin meletakkan di sofa panjang. Tak lupa menyelimuti bayi itu supaya tidak kedinginan lalu Hanin meraih tas bayi dan mulai membukanya. Hanin tercengang ketika tau isi dalam tas bayi tersebut yang berisi beberapa baju bayi saja dan ada sebuah kotak berbahan kayu juga terdapat ukiran indah di kotak itu. Hanin merasa begitu penasaran lalu membuka kotak berbahan kayu tersebut. “Apa ini? Segepok uang dan selembar kertas.” Hanin menelan salivanya susah payah melihat isi kotak kayu itu. Mata Hanin tertuju pada tulisan latin yang seperti tak asing lagi dimatanya. “Ah tulisan orang juga bisa samaan tapi aku kayak pernah lihat deh.” Hanin lupa namun kini mulai membaca surat dari seseorang yang ia yakin berhubungan dengan bayi yang tengah terlelap seakarang. Teruntuk seseorang yang menemukan cucuku Ku ucapkan terima kasih Kamu orang baik dan tidak salah aku memilihmu Aku sengaja melakukan ini karena aku percaya bahwa kamu dapat diandalkan merawat bayi ini Namanya Ze Tolong jagalah cucuku dengan baik dan di waktu yang tepat, aku akan menemuimu Aku akan membalas jasamu dan segala kebutuhanmu selalu tercukupi di apartemen ini Terima kasih sekali kuucapkan padamu, Nak “Nak?” Hanin menganga tak percaya setelah selesai membaca selembar kertas putih berukuran kecil yan menempel di kotak kayu tersebut. “Jadi sudah jelas kalau ini disengaja. Ya ampun pasti kakek dan neneknya. Lalu orang tuanya di mana? Kok malah diletakan di sini? Enggak, nggak ini aneh banget pokoknya.” Hanin menangkup wajahnya dan mengusap pelan wajahnya tatkala terdengar pintu kamar Arthur terbuka. Arthur sudah mandi dan mengenakan baju rumahan biasa. Hanin pun menghampiri Arthur dan memberikannya kotak itu. “Dibaca tuh!” suruh Hanin pada lelaki yang menatapnya bingung. “Apa ini?” Arthur menyipitkan matanya dan membaca tulisan tertempel dikotak itu dari dalam hatinya. “Gila!” Arthur akan membanting kotak itu namun Hanin menahannya sebab Bayi yang diketahui bernama Ze sedang tidur pulas. “Bisa gak sih gak usah pakai emosi?” Napas Hanin rasanya tercekat saat ini karena sikap Arthur yang tidak bisa mengendalikan emosinya. “Gue marah dong ini, bisa-bisanya nitip cucunya ke gue dan apa maksudnya pula? Menyusahkan dan merepotkan. Tetap aku akan membawanya ke panti asuhan, jadi buruk mood gue hari ini.” Arthur mengayunkan kakinya ke bar dan menenggak air putih hingga tandas tak tersisa. Muncul sebuah rasa yang bercokol di hatinya, hari ini suasana hatinya begitu buruk sampai tak mampu berkata apa-apa lagi. Gelisah membayangkan jika merawat bayi itu dipastikan hidupnya makin berat dan tidak bisa bebas. Tapi surat itu adalah surat permohonan sekaligus masalah besar baginya. Lantas Arthur mengenyahkan pikiran buruknya saat terdengar suara Hanin yang akan keluar dari apartemennya. “Hanin!” panggil Arthur begitu melihar Hanin yang menekan tuas pintu apartemennya dan akan pergi dari sini. “Hmm?” Hanin membalikkan badannya dan kedua kini berhadapan. “Di apartemen ini ada CCTV-nya gak?” tanya Arthur yang suara berubah dan tidak sekasar tadi. “CCTV lagi dalam perbaikan selama seminggu ini.” “Kok lama?” “Entah.” Hanin mengedikkan bahunya tak acuh. “Kalau lapor ke polisi harus ada buktinya dan ditaruh di panti asuhan aja deh kayaknya.” “Lo tega bener,” komentar Hanin dan tersenyum miring sejenak. “Gue gak peduli lagian gue masih anak sekolah dan tidak ada waktu buat merawat bayinya.” “Hilih, kayak lo beneran anak sekolah aja. Lo itu sering buang-buang waktu tidak penting di luar kegiatan sekolah, ikut eskul aja kagak, bisanya balapan sama tawuran itupun sekarang dihukum. Kasian sekali hidup lo ini.” Hanin terkekeh pelan dan bersedekap d**a. “Dan lagi, kalau ada bayi di sini kan lo sudah gak kepikiran main gak jelas keluyuran malam-malam.” Lanjut Hanin. “Ada bayi malah bikin risih.” “Masih mending daripada dapat hukuman lagi kan? Sudahlah terima saja, menolong orang juga mengalir rezeki lo nanti. Lo juga jauh-jauh dari kegiatan yang bisa membuat diri lo celaka.” “Lo tau apa tentang gue? Sok tau banget.” “Iya sok tau banget.” Hanin tak betah berdebat kemudian keluar dari apartemen Arthur. Selepas kepergian Hanin, hanya beberapa menit saja terdengar suara tangisan berasal dari baby Ze. Arthur berjalan cepat ke sofa dan menggendong Ze. “Hih basah.” Arthur memekik merasakan p****t Ze basah dan munculah bau tak sedap di sana. “Pup ini.” Arthur tak kuat mencium bau itu dan kepalanya menjadi pusing. “Astaga malah kentut nih bocah.” Arthur merengek dan Ze tertawa mendengar suara kentutnya sendiri tapi tidak lama kembali menangis. “Hueee apa pa pa.” Ze memukuli wajah Arthur. “Gue gak bisa.” Raut wajah Arthur memelas dan mengangkat tinggi tubuh Ze, Tangisan Ze perlahan mereda dan kedua kaki mungilnya diayunkan. Sesekali terdengar suara pekikkan dari Ze, membuat Arthur merasa gemas. “Bayi yang malang. Orang tuamu itu siapa sih? Kayaknya cakep, lo aja ganteng eh ganteng gue lah. Enak aja lebih ganteng dirimu.” Ze merengek dan tangan mungilnya menunjuk celananya. Mungkin bayi itu merasa tidak nyaman di celananya. “Hih baunya, gak nahan gue.” Saat ini pikiran Arthur tertuju pada satu nama dan orang itulah yang pastinya bisa membantunya. Hanin. “Hanin! Gue minta tolong lagi dong!” “Gak!” tolak Hanin mentah-mentah dan mengabaikan gedoran pintu apartemennya dari luar. “Hanin, ayolah! Gue minta tolong.” Suara Arthur makin parau dari luar apartemennya dan Ze makin menangis menjerit kencang. Akhirnya Hanin keluar dari apartemennya dan Ze meminta gendong pada gadis itu. “Ama ma.” “Dia manggil gue mama?” “Dia juga manggil gue papa. Ya ada rasa gak terima sih.” ... 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD