Pertemuan di Pernikahan
Kepada Little Mermaid di Laut Baltik
Mungkin kau tak akan menemukan jejakku di pantai
Bersama angin tersapu ombak gelisah
Mungkin kau tak akan melihatku bersimpuh pada batu karang,
pada nyiur, pada perahu nelayan yang berbaris
Kepada kristal-kristal mawar dalam teropong Huble
Menerawangiku di kota suci
Mungkin kau tak akan pernah mengajakku menyusuri Braga
Menceritakan syair penderita
Mendengarkan senandung pengembara
Bahkan mungkin kau tak lagi panjatkan untukku
Disaat aku sendiri kehilangan makna dari setiap kata dan janjiku pada Tuhan
Kepada Eiffel Mercusuarku
Menjulang menembus batas mimpi
Pernahkah kau merasa melambung, melayang dan terhempas
Sungguh aku ingin ingin terus mendaki
Namun nafasku hilang ditelan sendiri
(Senja di pantai Padang, 2006)
“Kepada para pelaut di setiap port of call. Thanks so much from deep down”
PERTEMUAN DI PERNIKAHAN, 2005
Pesta pernikahan sudah dimulai sejak pukul sebelas siang. Sejak pagi di hari Minggu itu langit tak berawan. Matahari bagaikan lilin kecil dengan cahayanya yang redup sayup bergoyang. Musim penghujan sedang pada puncaknya, angin bertiup kencang merontokan daun-daun kering di sebagian pohon-pohon yang berbaris di tepi jalan. Jarum jam di pergelangan lengan wanita itu sudah menunjukan pukul dua belas tiga puluh, namun hujan belum juga mengepakkan sayapnya di jalan. Di tengah perkotaan yang tak seramai biasanya, sebuah sedan delapan puluhan meluncur di jalan raya kota kembang.
”Please God, jangan hujan sebelum masuk gedung. Saya nggak bawa payung. Sebentar saja Heru melepas tangannya dari steer, menadahkan tangan berlagak berdoa.
”Lagian sudah tahu mendung begini, nggak bawa payung. Payung itu harus selalu ada di mobil kapan pun juga,” timpal Nesa sambil melirik jam tangannya.
”Iya, iya. Kemaren saya nyuci mobil, payung dikeluarin, saya lupa masukin lagi.”
Jalanan kota kembang di hari yang biasanya diwarnai berbagai kendaraan luar kota, nampak lancar kali itu. Tak terasa mereka sudah memasuki jalan tempat gedung pernikahan berada.
”Apa temen-temen kamu banyak yang datang?
”Saya rasa nggak, paling yang datang yang masih tinggal di Bandung aja.”
Terlena akan jalanan yang lenggang membuat mobil melaju cepat tak ingat kanan-kiri. Gedung pernikahan pun hampir terlewat. Kali ini janur kuning lebih berfungsi dari rambu lalu lintas. Gantungan daun panjang yang melenggak-lenggok itu menyelamatkan mereka dari jalur satu arah yang akan membuat mereka berputar jauh bila hendak kembali. Namun yang dikhawatirkan tetap terjadi, hujan mulai turun. Perlahan dan pasti, titik-titik air kecil hinggap di kaca mobil. Heru segera memarkirkan mobilnya persis menggantikan mobil catering yang baru saja ke luar, tak peduli walau itu mungkin lahan untuk panitia. Tempat yang strategis, cukup dekat dengan entrance gedung. Dan doanya terkabul. Mereka masuk gedung tepat ketika hujan benar-benar mengepakan sayapnya.
”Kita salaman sama pengantinnya dulu yuk.” Nesa menarik lengan Heru, sedangkan Heru sendiri masih celingukan mencari orang-orang yang ia kenal.
Di pelaminan, Maya tampak berbinar anggun didampingi Rudi sang mempelai pria. Pipinya memerah. Mereka berpakaian pengantin adat Sunda.
”Her! Gua seneng banget lu bisa datang! Kirain udah berlayar lagi,” sapa Maya menyambut tangan Heru.
”Gua pensiun dini dari pelaut, May. Gua pingin kayak elu, nikah! Heru cengengesan. ”Kenalin May. Ini calon gua,” Heru pun mengenalkan Nesa dengan bangga.
”Elu serius? Maya bertanya spontan dengan mimik kaget tidak percaya.
Heru cuma cengar-cengir, matanya berbinar. Gerak kikuk keduanya membuat antrian salaman macet dan semakin panjang. Nesa hanya tersenyum tak berkata. Dan Rudi, pria yang Heru kenal sebagai cowok kantoran yang sering menjemput Maya sepulang kuliah dulu, bengong curiga, tak ikhlas menatap pasangan sejoli bumi dan langit. Kasihan sekali cewek itu, mungkin itu pikirnya.
”Nanti ngobrol lagi ya, May! Selamat ya, Kang Rudi! seru Heru sambil berjalan.
”Nah... Sekarang waktunya makan.”
”Maya cantik ya, Her.” Nesa memotong.
”Temen-temen kampus saya itu emang cantik-cantik. Tapi nggak ada yang secantik kamu.” Heru mulai norak. Nesa pun jengah, pujian Heru sudah semakin garing dari waktu ke waktu, dan sekarang bukan waktunya tersanjung.
Saya mau makan siomai. Pandangan Heru menjelah pada stan-stan makanan yang dipenuhi antrian.
”Saya juga. Saya lagi nggak tertarik makan yang berat-berat.”
Musik Gamelan Sunda mengiringi mereka menekuni siomai, takkala terdengar suara menyapa yang tak asing bagi Heru.
”Her, makan sendiri! Nggak bagi-bagi,” suara cempreng Rena mengagetkan.
”Ren, gua nggak makan sendiri. Gua sepiring berdua sama tuan puteri,” jawab Heru sambil menunjuk dengan piring ke arah Nesa.
Rena terdiam seketika dan ia punya segudang alasan untuk tak percaya.
”Nesa, kenalin. Ini Rena, super cs saya dulu.”
Sejak perkenalan, Heru dan Nesa memang sudah memakai kata saya dan kamu. Nesa yang tinggal di Semarang memang tidak terbiasa dengan lu dan gua. Heru hanya mengimbangi saja.
”Ren, ini cewek gua. Nesa.”
Nesa mengulurkan tangannya lebih dulu. Rena seperti tersengat listrik, matanya melotot dan mulutnya setengah ternganga.
Eehh, kalian kapan jadiannya? Kok, Heru nggak bilang-bilang?”
”Belum lama juga, baru sekitar enam bulan, ya Her?” jawab Nesa melirik Heru.
”Kok lu nggak cerita?” Rena tetap tidak yakin. Menatap Heru berharap Heru berbohong.
”Kita kan juga jarang ketemu. Lu sekarang kayaknya sibuk banget. Beberapa kali gua telpon buat ngajak kumpul-kumpul, lu nggak pernah bisa.”
”Iya deh... Sorry.” Rena masih nampak salah tingkah. ”Jadi Public Relation di hotel itu beda dengan di perusahaan lain. Elu tau sendiri, event-event justru banyak pada hari libur, malah sering juga acaranya malam. Jadi, gua itu memang bener-bener sibuk. Apalagi gua ini kan pegawai baru, harus kelihatan rajin.”
”Oke-oke... Gua percaya.” Heru terus melahap siomainya. ”Terus, anak-anak yang lain, pada ke sini nggak?
”Nggak tahu, mereka sudah pada susah dihubungin. Tadi Agung, Indri sama Zaky datang, tapi terus pamit duluan. Gua juga cuma ketemu sebentar sama mereka. Sekar juga bilangnya mau datang, kalau Tigor, gua nggak tau.”
”Lho, dia kan sekarang tinggal di Medan. Soalnya sekitar sebulan yang lalu gua telpon ke rumahnya, kata orang rumahnya dia pindah ke Medan. Nggak tau di sana kerja atau ngapain, mungkin dinikahin sama Inang-Inang. Kangen juga gua sama dia. Sumpah, dari gua pulang berlayar, gua belum pernah ketemu dia. Cuma sekali dua kali ngobrol di telpon pas gua baru-baru sampe. Terakhir gua telpon udah keburu ke Medan.”
Belum sekejap berkata, dari arah belakang suara Tigor menggelegar. ”Heru!.. Kemana aja lu?... Mana oleh-olehnya?... Masak berlayar keliling dunia nggak bawa oleh-oleh buat gua,” seruan beruntun Tigor memelas dan memaksa. Garang tapi lucu, jabatan tangannya memberi getaran kuat pada Heru.
”Halo, bang Tigor! Gimana... Apa metro mini lancar? Heru tersenyum lebar. Basi kalee, nanyain oleh-oleh, gua udah setahun di sini. Lu yang kemana aja? Pindah ke Medan nggak bilang-bilang.”
”Iya, sorry. Gua baru balik seminggu yang lalu. Belum sempet nelponlu. Pikir gua, lu pasti ke kawinannya Maya. Ya udah, sekalian aja ketemuan di sini. Ternyata bener, untuk urusan eksis-eksisan, pasti lu nggak pernah absen.” Tigor nampak puas.
Heru, apa khabar?
Terngiang suara bening yang selalu dinanti. Pada sadarnya, pada tingginya ombak Mediterania dan dinginnya salju Alaska. Suara yang pernah membuatnya gila. Catatan yang sulit di undo. Tetapi itu dulu, sekarang ia berdiri di atas pondasi yang kokoh. Kebanggaan dan percaya diri. ”Saya baik, Sekar, ” jawabnya tenang. Hanya itu yang bisa terucap. Bagaimana pun tegarnya, hatinya tetap bergetar menatap wanita itu. Wanita yang pernah ia cintai sepenuh jejaknya. Sekar, sebuah nama sakral yang pernah ia tulis dengan lantang di pasir pantai Cabo San Lucas, di pinus hutan Estonia, pada batu cadas tebing Mount Robert dan tak lupa pada tempat tidur susun di kabinnya. Di setiap jejak langkah, namanya tertera.
”Oh iya... Gor, Sekar, kenalin... Ini Nesa, cewek gua,” suara Heru memecah kekakuan. Tidak ada jawaban, mereka berpandangan.
”Eh siapa tadi namanya? Nesa ya?” Tigor mencoba menguasai keadaan. Lu ceweknya Heru? Yang bener? Kok mau?”
”Lho, kenapa emangnya? Dia itu unik,” Nesa melirik Heru.
”Bener banget! Dari dulu dia itu memang unik, nggak ada matinya. Super pede. Terus, elu berdua kapan jadiannya?
Lu mau tahu aja, Gor.”
”Iya nih. Rasanya semua orang pada nanyain kapan kita jadian.” Nesa menyambung, ia mencoba akrab dengan teman-teman Heru.
Nggak, soalnya gua aneh aja. Kok bisa si Heru ini dapet cewek. Padahal pulang ke sini aja baru setahun. Dulu dia selama kuliah, nggak dapet-dapet.”
”Kita baru jadian sekitar enam bulan. Pacaran jauh-jauhan, dia di Bandung, saya di Semarang.”
”Lu tinggal di Semarang?” Tigor tak berhenti mengintrogasi Nesa. Rasa tidak percayanya akan hubungan Heru dan Nesa belum juga hilang.
”Iya, saya memang orang Semarang, kuliah juga di sana.
Oo...Udah beres kuliahnya?
Udah, baru wisuda bulan kemarin.
”Mantep... Kayaknya, bakalan ada yang lebih dulu nyusul Maya nih.” Tigor melirik ke semua temannya. Ia memang ingin menggoda Heru, memprovokasi seperti dulu. Baginya, menyanjung dan menjatuhkan teman tak ada bedanya. Heru cukup mengenal Tigor. Ia dapat menangkap rasa iri dalam diri Tigor. Ada pedang yang saling terhunus di antara keduanya. Sekian lama pedang itu terbungkus dalam sarung basa-basi. Heru merasa sudah waktunya pedang itu menunjukan kilatannya.
”Nyusul? Emang balap karung. Kalian aja pada belum. Ini si Rena, biar dia duluan, biar ada yang mingit, dimasukin etalase. Dia aja masih beredar tebar pesona. Yang perempuan, duluanlah. Kalau gua sih, nunggu tuan putri nyelesain S2-nya dulu di Malaysia. Heru melirik Nesa, wanita itu hanya senyam-senyum tanggung sambil berpikir, kenapa juga si Heru harus menceritakan rencana S2-nya di Malaysia.
Dalam obrolan reuni kecil itu, Rena dan Sekar banyak terdiam. Terlebih-lebih Sekar, ia benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa. Heru, laki-laki yang mau berkorban apa saja untuknya. Heru yang begitu memujanya. Sekarang ini berdiri di depannya dengan seorang wanita anggun, dan akan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Entah bea siswa atau bukan, namun penampilan dan kharisma Nesa memang mengisyaratkan kalau ia berasal dari keluarga berkecukupan. ”Apa yang diharapkan wanita ini dari Heru? Apa yang Heru ke depankan? Apa wanita ini buta atau mungkin mereka hanya mengada-ada?” Hatinya terus bertanya-tanya.
”Her, saya ambil minum dulu ya.” Nesa beranjak. Siomai di piringnya sudah habis tanpa mengenal rasanya.
”Ambilin juga buat saya,” balas Heru kepedasan.
Langkah Nesa belum juga jauh, Tigor sudah tak sabar untuk berkomentar. ”Her, lu itu dari dulu memang nggak ada matinya. Gua angkat topi buat lu! Selera lu memang hebat. Sekarang lu memetik buah dari ke-pede-an lu.”
”Lu pake pelet ya? Rena pun tergerak berkomentar polos.
”Dari dulu gua memang pake pelet, sama seperti mancing ikan. Cuma cewek-cewek di kampus dulu itu lebih suka sama peletnya daripada kailnya. Kalau sekarang,... gua cuma punya kailnya doang.”
Walau Heru berbicara dengan Rena, Sekar tahu pasti kalau kalimat itu ditujukan untuk dirinya. Tapi Sekar merasa biasa saja, tidak merubah apa pun. Itu semua sudah masa lalu. Sudah tidak penting lagi. Ia lebih memikirkan rasa penasarannya akan hubungan Heru dan Nesa.
”Kadang hidup itu unpredictable and full of suprises. Gua juga berulang kali bertanya sama Nesa, kenapa dia mau jadi cewek gua dan malah ingin menikah sepulangnya dari Malaysia. Kalian tahu dia bilang apa?” Heru memandang wajah-wajah penasaran itu satu persatu. Ada kepuasan tersendiri menyaksikan orang-orang yang pernah dekat dengannya di masa kuliah dimana ia harus meninggalkan kampus sebelum waktunya. Tokoh-tokoh yang menjadi bagian dari masa yang menyebalkan namun tak ingin ditinggalkan. Saat ini mereka berkumpul secara sukarela untuk menyimak dirinya yang begitu berbeda dalam balutan dendam dan kesombongan. Momen yang selalu terbayang dalam benaknya, kini terwujud sudah.
Heru menahan nafas sesaat sebelum berkata. ”Dia bilang sama gua; hidup itu seperti hukum gravitasi. Apa yang kita lempar ke udara pasti akan jatuh ke bawah. Ada yang jatuhnya cepat, ada juga yang lama atau jatuhnya sedikit demi sedikit karena terurai di udara, dan bentuknya pun kadang jadi berubah... Setiap kebaikan atau keburukan yang kita keluarkan, pasti akan kembali juga pada kita. Proses dan analoginya akan seperti hukum gravitasi. Dan mungkin, sekarang sudah waktunya buat gua. Gravitasi mulai mengambil perannya. Nggak nyangka kan ada wanita yang berpikir begitu tentang gua? Heru nampak serius penuh keyakinan. Matanya berusaha untuk tetap tidak melirik Sekar.
”Kayaknya lu dan Nesa, memang sama-sama aneh. Rena geleng-geleng.