BAB 4

1392 Words
Rasa tidak percaya, kepedihan, dan ketakutan mutlak mengisap Thania dalam-dalam, mendobrak segala pertahanannya. Ia tak pernah menyana jika ia akan diperlakukan sedemikian kejam. Sementara, emosi William yang meledak-ledak perlahan mulai meluruh. Pria itu berbalik memunggungi Thania, lalu meremas rambutnya sendiri. Rahangnya mengetat dan kilat penyesalan mulai tampak dalam iris birunya. Goddamn it! What I’ve done? Aku mengancamnya, memukulnya, dan yang lebih parah lagi aku memerkosanya. Thania terisak. William Anderson sudah berhasil mendorongnya jatuh ke lubang  rasa sakit yang paling dalam. Tubuhnya gemetaran, tulang-tulangnya mendadak lemas dan kakinya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Thania ambruk. Ia berusaha tetap membuka mata, tetapi indra penglihatannya tidak mau diajak bekerja sama. Mata Thania memejam dan perlahan semuanya menjadi gelap. “Oh, sial!” William mengumpat melihat tubuh Thania tergeletak di atas karpet rasfur yang menutupi lantai kamar mewahnya. William menekuk sebelah lututnya, lalu menyelusupkan tangan kanannya ke punggung Thania. Ia menopang kepala Thania dengan lututnya, memosisikan sedemikian rupa agar wajah perempuan yang tak sadarkan diri itu menengadah. Ia menepuk pipi Thania, tetapi tetap tak ada reaksi. Ya, Lord. Apa yang terjadi padanya? William membopong tubuh Thania dan membaringkannya di ranjang. Ia menyelimuti tubuh ramping yang terkulai tak berdaya itu sebelum berdiri sambil bersedekap. Pandangannya mengeksplorasi seluruh tubuh Thania dari kepala hingga ke kaki. Rasa iba memang sempat tebersit saat sekilas ia melihat bukti keperawanan Thania yang mengotori seprai, tetapi keraguannya atas pernyataan Thania lebih mendominasi. Kau bisa saja menjaga keperawananmu untuk mendapatkan harga jual yang fantastis. Kau berada di tempat dan bersama orang yang tepat, Thania. Aku akan memberi harga yang pantas untuk malam ini. William tersenyum hampa. Kepalanya sudah dipenuhi prasangka buruk terhadap Thania. Ia melangkah menuju nakas di samping ranjang, meraih gagang telepon kemudian menekan satu angka yang menghubungkan langsung panggilan dari kamar itu dengan pos satpam di depan gerbang rumahnya. “Pak Karna, tolong hubungi Dokter Sabilla.” Ia kembali mengalihkan pandangan ke Thania. Pikirannya berkecamuk. Tatapan birunya tak berpaling sedikit pun dari wajah perempuan itu selama berpuluh-puluh menit. Ketukan pintu dan panggilan suara lembut seorang wanita membuyarkan lamunan William. “Willy!” “Come in, Aunty!” Seorang wanita cantik dengan setelan blus hijau dan rok sebatas lutut melangkah dengan anggun masuk ke kamar William. Tangannya menenteng sebuah tas hitam persegi panjang. Ia melepas kacamatanya dan mengaitkan salah satu gagangnya yang terlipat ke bagian depan blusnya. “Don’t ever call me aunty!” tandas wanita itu. William mengangkat bahunya sambil menimpali, “Oke, Tante Sabilla.” “Good! Aku lebih suka kau memanggilku tante daripada aunty.” Sabilla menoleh ke arah ranjang, lalu kembali menatap William dengan geram seakan ia sudah tahu betul apa yang sudah diperbuat William. “Kenapa dia? Apa yang sudah kaulakukan padanya?” “Tan ….” “Jangan melakukan hal bodoh yang nantinya akan kausesali,” potong Sabilla. William mengembuskan napas pendek. Tubuhnya didera kebutuhan atas rasa nyaman dan ketenangan agar ia bisa mengatakan pada adik ayahnya itu semua yang terjadi. William duduk bersandar di sofa sudut kamar. Ia memijat dahi. Ia mengumpulkan keberanian untuk bisa jujur pada Sabilla. “Aku ... aku ....” William mencoba mengatur napas, lalu melanjutkan pengakuannya dengan suara berat dan setengah frustrasi. “You know, Tante.” Mata Sabilla membelalak. Ia sudah bisa menduga apa yang dilakukan William pada perempuan yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang itu. Pengakuan William membuat darahnya mengalir cepat ke kepala. Wanita berusia empat puluhan yang masih lajang itu dibuat syok sekaligus berang. Ia berkacak pinggang. “Kau memerkosanya? Oh, God! Ini akan menjadi masalah besar, Will. Andai kau bukan keponakanku, saat ini juga aku pasti akan menembak kepalamu atau melemparmu ke laut penuh hiu!” William tersenyum masam. “Dia siapa?” tanya Sabilla masih dengan nada tinggi. “Hanya perempuan murahan yang mencoba menikung kekasih Bella.” Sabilla mengerutkan dahi. Ia meragukan ucapan William dan untuk menepisnya, dokter cantik itu mendekat ke ranjang. Pandangannya menjelajahi wajah Thania dan mencari tahu apa yang terjadi. Bercak merah di seprai yang tak tertutupi selimut membuat tatapan biru pucatnya menggelap. “Berengsek kau, Will! She’s a virgin, isn’t she?” William mengangkat bahu. Melihat respons William membuat amarah Sabilla makin berkobar-kobar. Ia menghampiri William, lalu menampar keras pipi keponakannya. “Kau sudah merusak anak perempuan orang, Will! Aku tidak pernah mengajarkan hal b***t seperti ini padamu. Sejak kau kecil, aku selalu mengajarkanmu menjadi pria sejati dan terhormat!” William mengembuskan napas kesal sambil mengusap pipinya. “Kita hidup di dunia modern, Tante. Virginity is not a big deal. Pria sejati tidak akan mempermasalahkan itu.” “Ya, tapi pria sejati tidak memerkosa,” tandas Sabilla. William melirik Sabilla. Hatinya tertampar ucapan wanita itu. Ia sadar betul saat ini ia menjadi pria yang sangat tidak terhormat. Tindakannya pada Thania menjelaskan bahwa ia bukanlah pria sejati. “Itu terjadi begitu saja, Tante. Aku tak bisa menahan ....” William kembali mengembuskan napas pendek, lalu meremas rambutnya. “Damn! Itu terjadi begitu saja dan begitu cepat.” “Aku yakin sekali perempuan ini tidak berbuat seperti yang kautuduhkan padanya. Aku sangat mengenal Bella.” Sabilla meletakkan tangannya di dahi Thania. Ia mengeluarkan stetoskop dari tasnya dan memeriksa kondisi Thania. Beberapa kali dokter itu menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan untuk mengatur emosinya. Perbuatan keponakannya pada perempuan yang sedang ia periksa kini sudah di luar batas. “Jika perempuan ini melaporkan perbuatanmu pada polisi dan menuntutmu, aku akan jadi orang pertama yang menjadi saksi kejadian malam ini untuk membelanya.” Sabilla menatap tajam William. “Ingat itu!” “Terserah, Tante. Yang penting sekarang, apakah dia baik-baik saja?” William merespons dengan santai dari tempat duduknya. Sabilla memasukkan kembali stetoskopnya ke tas. Ia berdiri bersedekap seraya menatap tajam dan bertutur ketus kepada William. “Perempuan yang baru saja dilecehkan tidak akan baik-baik saja, William. Kau pasti tahu itu. Aku tidak bisa memberi resep apa pun. Hanya ... jangan biarkan perutnya kosong terlalu lama kalau kau tidak mau melihat mayat perempuan ini besok pagi.” William bangkit berdiri. Ingin rasanya ia menghampiri Sabilla, tetapi tertahan rasa malu dan sesal yang tiba-tiba terhimpun sempurna di kepalanya. “Tante, maafkan aku.” “Minta maaflah kepadanya.” Sabilla mengarahkan pandangannya kepada Thania. “Semoga dia bisa memaafkanmu.” Mata William pun mengikuti gerak pandang Sabilla. Ia memperhatikan wajah Thania yang seputih kapas. Di sudut hatinya, ia sangat merasa bersalah kepada perempuan itu. Namun, ia tak bisa begitu saja melepaskan orang yang membuat adiknya sedih. Harga diri perempuan itu pastinya tak lebih dari segepok uang. “Aku harus kembali ke rumah sakit.” Sabilla menenteng tasnya. “Aku tahu kau sangat menyayangi adikmu meskipun kalian tidak lahir dari rahim yang sama. Namun, terlalu memanjakan tidak baik untuknya. Dia tidak akan pernah bisa jadi dewasa. Selamanya dia akan bergantung padamu, Will.” “Tapi, Bella satu-satunya saudara yang kupunya, Tante. Yang berani menyakitinya, berarti menyakitiku juga.” “Terserah kau, William. Aku hanya mengingatkan. Aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Tapi, perbuatanmu kali ini benar-benar membuatku kecewa. Aku pergi.” Sabilla sama sekali tak habis pikir bahwa William bisa melakukan perbuatan sebejat itu. Ia merasa sudah gagal mendidiknya. “Mmm, Ibu. Di mana aku?” gumam Thania. Perempuan itu membuka mata perlahan. Rasa sakit mulai menjalar kembali ke seluruh tubuh. Ia berusaha bangkit untuk duduk sambil membuka mata lebar-lebar, memperjelas pandangan. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang saat bayangan seseorang terlihat makin jelas. Pria berkaus biru itu duduk di tepi ranjang dan hanya berjarak sekitar 20 sentimeter saja darinya. “Kau masih di sini.” William menatapnya lekat-lekat kemudian meletakkan baki stainless berisi semangkuk sup dan segelas air putih ke meja di samping ranjang.  “Makanlah lalu istirahat. Besok pagi aku akan mengantarmu pulang.” “Aku tidak mau! Aku mau pulang sekarang!” Sergah Thania. William berdiri. Rahangnya mengetat dan iris birunya menggelap. “Kau turuti kata-kataku atau aku akan mengulangi yang tadi aku lakukan padamu. Mengerti?” “Kau gila! Aku mau pulang!” Dengan cepat, Thania turun dari ranjang. William yang merasa tersinggung oleh tindakan Thania langsung mencekal lengan Thania, menahan gerakan perempuan itu. Dengan tenaga yang tersisa, Thania meronta. Namun, usahanya untuk lepas hanya sia-sia. Tindakan Thania membuat William makin berang. “Kaupikir aku akan melepaskanmu begitu saja? Duduk dan makanlah kalau kau tidak mau aku tiduri lagi!” ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD