“Aku mohon relakan aku untuk pergi. Jangan kotori hatimu dengan dendam yang tidak berarti.”
Mimpi itu hadir kembali untuk yang kesekian kalinya dalam waktu satu malam. Mimpi yang sama, suara yang sama pula, membuat seorang lelaki bertubuh kekar itu semakin tidak bisa menerima takdir.
Ia mengubah posisinya menjadi duduk di tempat tidur lalu menyandarkan kepalanya yang terasa berdenyut. Lagi-lagi semalam ia lepas kontrol karena minum terlalu banyak hingga membuatnya tidak sadar melakukan hal apa saja di club malam itu. Ia melirik jam beker yang tergeletak di samping tempat tidurnya lalu di susul dengan suara decakkan kesal.
Jam itu sudah menunjukkan pukul 08.30 di mana seharusnya semua pekerja kantoran sudah duduk manis di gedung besar dan berhadapan langung dengan computer atau laptop. Namun, bagi lelaki itu tidak, keterlambatan adalah hal yang wajar untuk seorang pemimpin perusahaan.
“Siapkan sarapan saya!” perintahnya pada asisten rumah tangganya melalui telepon rumah. Lalu lelaki itu bergerak turun dari kasurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
***
“Aduh, seharusnya aku semalan jangan begadang.”
Gadis pemilik rambut panjang bergelombang itu merutuki tindakan bodohnya sendiri karena telah mengabaikan ucapan sang mama. Akibat dari tindakannya itu, pagi ini ia harus terlambat masuk kuliah hanya karena terjaga di malam hari hanya menonton filem kesukaanya yang baru saja tayang beberapa hari yang lalu.
“Lia, mau sampai kapan kamu di dalam kamar?!”
Suara teriakan Watika—mama Lia—sudah terdengar dari arah luar kamar gadis itu yang masih saja setia tertutup, padahal matahari sudah menampakkan sinarnya. Sudah puluhan kali Watika membangunkan anak gadisnya itu untuk bersiap kulian, namun Lia tidak kunjung bangun dari mimpi indahnya.
Ophelia, dialah nama gadis pemilik rambut panjang bergelombang itu, berusia 20 tahun baru saja resmi dinobatkan sebagai mahasiswa baru di salah satu kampus ternama dan bergengsi di kotanya.
Sifat Lia yang terkadang ceroboh sering kali membuat orang-orang di sekelilingnya kesal dan marah. Terutama Watika, mamanya sendiri.
“Sabar Mah, Lia lagi mengikat rambut nih!” teriak gadis itu pula dari dalam kamarnya.
Watika yang masih setia berdiri di depan pintu kamar sang putri pun mendengus kesal. Begitulah keseharian di rumahnya, selalu ada keributan yang terjadi.
“Ada apa sih, Mah?” tanya Kawindra kepada istrinya yang tidak sengaja mendengar istirnya marah-marah di lantai atas.
“Itu pah, Lia bangunnya telat lagi,” jelas Watika membuat Kawindra menghela napasnya pelan.
“Sayang, dandannya cepat nak, Papa nggak mau kamu terlambat lalu dihukum,” ucap Kawindra.
“Iya, Pah. Lia udah selesai kok.” Gadis itu membuka pintunya dengan cengiran kuda yang menghiasi wajahnya. Membuat Kawindra dan Watika yang melihat tingkah sang puri pun hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.
“Ya sudah, ayo cepat sarapan. Nasi gorengnya udah dingin gara-gara nungguin kamu bersiap, Lia,” gerutu Watika. Lia hanya menampilkan senyum polosnya.
Lia memanglah anak tunggal di keluarganya. Terkadang kesendiriannya itu membuatnya bosan. Sifat manjanya sangat susah sekali dihilangkan, terkadang membuat teman-teman yang berada di sekitarnya tidak terlalu nyaman dengan kehadiran Lia. Selain berisik, ia juga cerewet.
Sesampainya di bawah, Lia langung meneguk habis s**u putih yang telah dibuatkan Watika setiap paginya.
“Sayang, kalau minum duduk dong!” peringat Kawindra tegas.
Suara bas lelaki itu membuat Lia tersedang oleh minumannya sendiri. “Uhuk! Papa, kan tahu kalao Lia itu nggak bisa denger suara keras. Kenapa papa masih aja seperti itu sih!” gadis itu lari keluar dari rumahnya membawa tas kuliahnya ikut serta.
Kawindra menghela napasnya pelan. Sifat manja dan gampang teringgung Lia adalah kesalahannya. Ia terlalu memanjakan putri satu-satunya itu.
“Lia akan berubah suatu saat nanti,” ucap Watika untuk menguatkan sang suami.
***
Lia menyesali perbuatannya karena telah pergi begitu saja dari rumahnya. Gadis itu sudah berdiri cukup lama, namun tidak ada bus yang melintas untuk membawanya ke tempat di mana ia berkuliah.
“Ah, kenapa nggak ada kendaraan yang lewat sih? Taxsi pun nggak ada!” Terbesit ide di otak gadis itu. “Aku pesen ojek online aja kali ya,” gumamnya sembari merogoh tasnya.
“Sial!” Gadis itu kembali mengumpat. “Kenapa bisa ketinggalan sih!” Tubuhnya mendadak lemas saat tidak mendapati benda pipih serba guna itu di dalam tasnya.
“Terus Lia ke kampusnya naik apa dong? Nggak mungkin jalan kaki, waktunya nggak akan cukup!” Rasanya gadis itu ingin menangis di tempat. Lagi-lagi kecerobohannya membuat dirinya dalam masalah besar.
Akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki menuju kampusnya. Namun, saat gadis itu sedang menyebrang jalan ….
TIN!
BRAK!
Suara klakson mobil itu sangat nyaring terdengar di telinganya membuat Lia terjatuh sampai lututnya berdarah.
“Huhuhu, sakit.” Gadis itu menangis saat melihat luka goresan di sikunya.
“Maafkan saya. Tolong lain kali kalau mau menyebrang lihat sekeliling dulu.”
Lia mendongak lataran melihat sepasang sepatu pantofel sedang berdiri di sampingnya. Gadis itu mulai mendongak dan mendapati seorang lelaki berwajah tampan dengan jambang yang mengeliligi rahangnya. Lia sampai dibuat terkejut saat melihat lelaki itu.
“Hey, kamu dengar saya atau tidak!” lelaki itu berbicara cukup keras sembari melambai-lambaikan tangannya di depan mata Lia.
Suara bas dari lelaki itu sukses membuat Lia tersadar dari lamunannya. Lalu ia kembali menangis saat mengingat sikunya terluka.
“Huhuhu, sakit,” ucap gadis itu parau.
Lelaki itu mengusap wajahnya frustasi. Ia tidak mungkin menolong gadis cengeng itu sementara dia harus ke kantor untuk melakukan meatting.
“Sekarang kamu minta apa? Asal jangan menangis di depan saya. Saya paling benci mendengar suara tangisan!” lelaki itu berucap frustasi saat mendengar tangisan Lia semakin kencang.
“Lia mau ke kampus, tapi nggak ada kendaraan. Apa Lia boleh minta tolong sam om buat anterin Lia ke sana?” Gadis itu mendongak menatap lelaki bertubuh kekar dan besar itu dengan tatapan yang polos.
Lelaki itu menatap arlojinya yang bertengger gagah di lengan kirinya. Lalu ia berdecak dan mengangguk samar.
“Ya sudah, cepat masuk! Saya tidak mempunyai banyak waktu untik meladeni segala rengekan kamu!” Lalu lelaki itu melangkah dengan gagahnya kearah mobil mewah miliknya.
Lia yang masih duduk di atas tanah pun bersorak gembira. Lalu gadis itu beranjak dari duduknya dan menyusul lelaki itu masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil itu sama sekali tidak ada percakapan. Lia yang sifatnya tidak mau diam pun mencari cara agar suasana hening itu tidak menyiksanya.
“Om kerja di dekat sini?” tanya gadis itu mulai membuka pembicaraan.
Lelaki yang sedang terfokus pada kemudinya pun berdecak kesal. Dia tidak suka jika konsentrasinya di ganggu dengan pertanyaan yang tidak berbobot.
“Jika kamu tidak bisa diam, saya tidak akan segan-segan menurunkan kamu di sini!” ancamnya ketus dan sukses membuat Lia kembali terdiam.
Mobil mewah itu kembali melaju jalanan kota untuk menuju kampus di mana tempat Lia menempuh pendidikan. Gadis itu harus diam dan tersiksa dengan keadaan yang ada.
“Turun!” perintah lelaki itu tanpa menoleh kearah sang lawan bicara.
Lia yang masih tetap pada posisinya pun membuat lelaki itu berdecak kesal dengan keleletan gadis yang sedang duduk diam di sampingnya.
“Hey gadis, apa kamu tidak mendengar perintah saya?” Lelaki itu menatap Lia seperti ingin menelan gadis itu hidup-hidup.
Lia yang mendengar suara keras itu pun tersentak kaget dan detik itu juga lamunannya terbuyarkan. Dia tersenyum memamerkan deretan gigi pitihnya saat melihat pintu gerbang kampusnya udah terpampang nyata di depan mata.
“Sudah sampai?” tanyanya menatap lelaki asing itu dengan wajah yang polos.
Lagi-lagi lelaki itu dibuat kesal dengan tingkah Lia. “Kamu memilih turun sendiri atau saya turunkan di sini?”
“Saya bisa turun sendiri.” Lalu Lia bergegas membuka pintu mobil mewah itu.
“Terima kasih!” teriak gadis itu, namun mobil itu sudah pergi.
Lia menghela napasnya pelan sembari menatap mobil mewah itu tanpa berkedip.
“Neng, mau masuk tidak?!” teriakan seorang penjaga gerbang itu membuat Lia terperanjat kaget.
Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya. “Iya, pak.” Lalu dia berlari masuk sebelum pintu besi yang menjulang tinggi itu tertutup rapat.