BAB 6

1260 Words
Keesokan harinya, Lia mulai kembali masuk kuliah. Kemarin gadis itu harus absen terlebih dahulu karena Sacha membawanya tanpa pamit. “Sudah mau berangkat sayang?” tanya Watika yang sedang menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Lia mengangguk, lalu duduk di kursi meja makan. Gadis itu mengambil piring dan dua helai roti tawar. Ia mengoleskan selai nanas diatasnya lalu dilahap begitu saja. “Tumben kamu nggak makan nasi goreng buatan Mama?” tanya Kawindra yang baru saja menuruni anak tangaa. Lia menoleh sang papa sekilas lalu kembali melanjutkan acara sarapannya sembari berkata singkat, “Nggak pa-pa kok Pah.” Mendengar jawaban Lia yang singkat membuat Watika dan Kawindra saling menatap. Keduanya masih merasa bersalah atas kejadian beberapa hari yang lalu. Mereka juga tidak mau putrinya menikah di saat usianya masih muda, tetapi semua ini demi menyelamatkan perusahaan keluarga yang hampir bangkrut. “Lia berangkat kuliah dulu ya Mah, Pah. Assalamualaikum.” Gadis itu mencium punggung tangan kedua orang tuanya sebelum berangkat. “Waalaikumsalam,” jawab Watika dan Kawindra secara bersamaan. “Hati-hati di jalan nak,” ucap Watika hanya disahut dengan deheman oleh Lia. *** “Sacha, bagaimana hubungan kamu dengan Lia? Kapan kalian berdua ingin melangsungkan pernikahan?” Janardana membuka pembicaraan di tengah-tengah keheningan meja makan yang biasa terjadi di setiap paginya. “Mungkin dua atau tiga bulan lagi, Pah,” jawab Sacha tanpa menatap sang papa karena lelaki itu sedang sibuk dengan gawainya sendiri. Sacha sedang memeriksa beberapa e-mail yang masuk. “Jangan lama-lama, Mama dan Papa sudah tidak sabar ingin menimang cucu,” sahut Zora dari arah dapur. Kali ini Sacha mendongak menatap sang mama yang juga sedang menatapnya. Zora tersenyum lalu dibalas hal serupa pula oleh Sacha. “Sebenarnya Sacha kapan pun bisa Mah, Pah. Tapi kan tergantung Lia bagaimana, dia juga kan kuliah pasti kegiatannya sangat padat,” jelas Sacha yang sudah meletakkan gawainya di atas meja makan. “Mama dan Papa tahu itu, tapi Mama tidak sabar menunggu kehadirannya di rumah ini. Apakah kamu tahu, sejak Lia datang ke rumah ini, Mama seperti mempunyai anak perempuan lagi,” ujar Zora. Sacha terdiam. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah sang mama membuat Sacha bingung sendiri. Dia juga tidak tahu untuk kedepannya bagaimana apakah bisa menjaga Lia atau tidak. “Akan Sacha bicarakan dengan keluarga Lia,” ucapnya lalu lelaki itu diam sampai acara sarapan selesai.” *** “LIA!” Langkah Lia terhenti, gadis itu meneliti sekitar tempat yang dia lalui untuk mencari sumber suara yang memanggilnya tadi. Keterkejutan itu tidak hanya sekali, sebuah tangan kekar menyentuh pundak Lia membuat gadis itu melepaskan tasnya yang akan dia gunakan untuk memukul samng pelaku. “Hei, ini aku!” “Marthin!” Lia memukul bahu lelaki itu berkali-kali sampai membuat Marthin harus memohon apun agar Lia menghentikan aksi gilanya. “Kamu buat aku kaget tau nggak!” omel Lia, menatap kesal kearah Marthin. “Ya lagian kamu jalan diem-diem aja. Emangnya nggak liat aku ada di sana?” tanya Marthin menunjuk kearah sebrang tepatnya di salah satu bangku taman yang ada di kampusnya. “Enggak. Soalnya lo kan persis kaya mahluk halus yang suka nggak nampak,” ucap Lia seringan kapan. Marthin mengusap puncak kepala Lia sampai membuat rambut gadis itu kusut, Marthin tidak tahu perjuangan Lia untuk membuat rambutnya cetar. “Marthin! Udah berapa kali bua bilang jangan rusak tatanan rambut gua!” Lia kembali mengomel, mungkin hati Marthin kurang lega jika tidak membuat Lia kesal. “Iya-iya maaf, ya udah yuk kita masuk ke kelas.” Lia mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Berhubung kelas Marthin dan Lia sama. Marthin Manein adalah satu-satunya lelaki yang bisa dekat dengan Lia sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sosok Marthin yang bisa menjadi kakak untuk Lia membuat gadis itu merasa nyaman dan aman. Tidak hanya itu, terkadang sikap jahil Marthin membuat Lia terkadang rindu dengan sosoknya bila tidak ada di dekatnya. Lia tidak tahu jika kedekatannya dengan Marthin akan menyebabkan mala petaka di masa depan. Saat Lia sedang terbahak karena candaan Marthin, tiba-tiba saja benda pipih yang selalu ada di dalam tasnya berdering. “Siapa nih?” gumamnya. Pasalnya di layar gawainya tidak tertera nama, hanya sebuah nomor yang tidak dia kenal. “Kok nggak diangkat?” tanya Marthin, menatap Lia bingung. “Gue nggak tau ini nomer siapa,” ucap Lia, sembari memperlihatkan layar gawainya. “Angkat aja, siapa tahu ada yang penting.” Lia mengangguk, lalu gadis itu menjawab telepon tersebut. “Halo,” sapa Lia ramah. “Kamu jangan macam-macam di luar sana Lia, kamu pikir saat kamu tidak ada di rumah kamu bisa sebabas itu? Jangan harap! Karena banyak pasang mata yang mengawasi kamu saat ada di luar,” ucap seseorang di sebrang sana dengan suara yang datar. Lia mengerutkan keningnya bingung, “Salah orang kali Mas. Saya juga nggak tahu ini nomer siapa. Iya nih bener salah orang.” “Saya Sacha. Masa sama suara calon suami sendiri kamu tidak paham.” Lia tersedak air liurnya sendiri, “Dapat nomor saya dari mana?” Sacha yang berada di serbang sana terkekeh, “Tidak penting kamu tahu saya dapat nomor ini dari mana. Yang terpenting sekarang adalah jauhi laki-laki bernama Marthin itu kalau kamu masih ingin melihatnya di sampingmu.” Lia membutakan kedua matanya, “Memangnya apa yang akan Om lakukan?” “Tidak perlu saya beri tahu, kamu sudah tahu sendiri jawabannya.” Lalu Sacha mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Lia menggerutu kesal. Semenjak dia kenal dengan Sacha, semua hari-hari yang biasa dijalani dengan bahagia kini harus seperti terkekang. “Siapa?” tanya Marthin yang masih nampak penasaran. “Bukan siapa-siapa kok, Cuma orang iseng aja. Salah sambung,” jelas Lia. Gadis itu tidak mau mengatakan yang sesuangguhnya karena tidak mau membuat Marthin khawatir dengan keadaanya. Setengah hari penuh Lia habiskan di area kampus, kini saatnya untuk pulang ke rumah mengistirahatkan tubuh dan pikirannya setelah terkuras habis untuk memahami mata pelajaran. Namun, nampaknya tidak semulus itu. Di depan pintu gerbang, Lia sudah melihat mobil mewah terparkir di sana. Semua mata anak-anak kampus menatap kearah mobil tersebut dengan penuh kekaguman. Ditambah lagi seseroang yang sedang berdiri di samping mobil tersebut. “Sok tampan sekali,” gumam Lia kesal. “EKHEM!” Sacha berdehem cukup keras untuk menghentikan langkah Lia yang ingin berjalan begitu saja melewatinya. “Siapa ya?” tanya Lia, meledek. “Masuk sendiri atau saya paksa untuk masuk,” ancam Sacha dengan wajah yang datar. “Om itu persis seperti orang yang ingin menculik anak orang!” Sacha mengerutkan keningnya bingung, “Maksud kamu?” “Otak Om tidak akan pernah sampai.” Lalu Lia masuk ke dalam mobil Sacha. Gadis itu tidak mau semakin berdebat panjang dengan lelaki menyebalkan seperti Sacha. Menurutnya sangat membuang waktu percuma. Di dalam mobil tersebut terjadi keheningan. Tidak ada musik dan pembicaraan penging, yang terdengar hanyalah suara deru mesin dan AC yang saling bersahutan. Lia juga tidak ada niat untuk berbicara dengan Sacha yang menyebalkan. Dia tahu ujung dari pembicaraan tersebut adalah pertengkaran. Sesampainya di halaman rumah milik orang tua Lia …. Lia turun dari mobil Sacha tanpa pamit dengan lelaki itu. Sacha yang melihat Lia keluar begitu saja hanya menatap dengan datar. “Om kenapa ikut turun?” tanya Lia, menatap lelaki itu tajam. “Suka-suka saya, toh nanti juga saya akan menjadi bagian dari keluarga ini,” jawab Sacha seringan kapas, lalu masuk begitu saja tanpa permisi. “Ish! Kenapa gue harus nikah sama laki-laki menyebalkan seperti dia!” gerutunya kesal, lalu Lia ikut masuk ke dalam rumahnya. Sacha datang ke rumah orang tua Lia karena ada sesuatu hal penting yang ingin mereka bicarakan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD