BAB 4

1156 Words
Membelah jalan seperti merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan. Mungkin semua orang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap kendaraan roda dua ini. Bagi Ajeng memakai motor roda merupakan suatu kebebasan. Ia tidak peduli hujan atau panas, yang pasti naik motor itu suatu hal yang begitu seru. Ajeng dapat merasakan aroma citrus yang menenangkan dari tubuh Aru. Betapa nyamannya jika bersandar di tubuh bidang itu. Motor berhenti perempat lampu merah, ia merasakan tangan Aru di betis. Laki-laki itu menoleh ke belakang memandang. Sumpah, iris mata itu begitu tajam hingga menusuk jantungnya. "Kamu tinggal di mana?" Ucap Aru. Ajeng menelan ludah, ia membalas tatapan mata tajam Aru, "Apartemen taman Anggrek," "Sudah lama tinggal di sana?" Tanya Aru. "Lumayan sih," "Sama orang tua?" Aru semakin penasaran. "Enggak, sendiri," "Jadi orang tua kamu di Bali?" Aru mencoba menyimpulkan, karena ia melihat tempat kelahiran wanita itu. "Kok kamu bisa tahu Bali?" Ucap Ajeng. "Aku tidak sengaja melihat tempat kelahiran kamu, di KTP, kamu lahir di Denpasar. Jadi kemungkinan besar orang tua kamu di sana," Ajeng menggigit bibir bawah dan mencoba berpikir. Ia tidak mingkin menceritakan masalah hidupnya bersama orang yang baru di kenal. Ia kembali memandang Aru, laki-laki itu masih menunggu jawabannya. "Papi di Bali dan mami aku di Jakarta," ucap Ajeng sekedarnya. Aru mengerutkan dahi, ia mencoba mencerna kata-kata Ajeng. Kedua orang tua Ajeng ternyata hidup terpisah. Sepertinya ia salah menanyakan hal itu kepada Ajeng, terlalu privacy menurutnya, terlebih mereka baru mengenal. "Kamu sudah makan," Aru mengalihkan pertanyaan, dan memandang lurus kedepan. "Belum," "Kita makan terlebih dahulu kalau begitu," Aru meneruskan perjalanannya karena lampu hijau telah menyala. Sepanjang perjalanan hanya diam, hanya deru motor terdengar ia tidak bertanya lagi. Aru merasakan tangan Ajeng merenggang, ia menahan tangan itu agar tetap di sisinya pinggangnya. Entahlah ia tidak ingin Ajeng melepaskan. Karena ia lebih suka seperti ini. Beberapa menit kemudian Aru menghentikan motor di parkiran mall Taman Anggrek, karena mall inilah tempat terdekat dari apartemen wanita itu. Ajeng lalu turun dari motor, ia berusaha membuka pengait helm. Tapi pengait helm begitu susah di lepas. "Pengaitnya susah di lepas," ucap Ajeng, karena ia telah berusaha melepas tapi sulit. Aru menyimpan helm di dekat kaca spion, dan kini mengambil Alih tangan Ajeng. Ia bisa memandang wajah itu dari jarak dekat. Ia sempat terpana memandang iris mata coklat bening itu, iris mata yang cantik dan begitu menenangkan. Tatapannya beralih ke arah bibir tipis berwarna ranum itu, sangat menggoda untuk di cicipi. Aru menyandarkan diri, pikirannya sudah memikirkan tidak tidak. Ia dengan cepat melepas pengait helm. "Mungkin helm nya masih baru, makanya susah," ucap Aru berusaha tenang. Sedetik kemudian pengait itu terlepas, "Owh gitu," ucap Ajeng. Ajeng dan Aru berjalan menuju lobby mall. Sebenarnya ia ingin langsung ke apartemen dan langsung tidur. Tapi ia juga tidak menolak ajakkan Aru.  Aru melirikk Ajeng yang hanya diam, mengikuti langkahnya. "Kamu ingin makan apa?" Tanya Aru, "Makan KFC aja," tunjuk Ajeng, karena outlet itulah yang paling dekat. Aru mengikuti mau Ajeng, yang ingin makan ayam berbalur tepung. Mereka mengantri bersama pengunjung lainnya. Setelah memesan paket makanan, Aru dan Ajeng memilih duduk di salah satu meja kosong. Ajeng melirik Aru yang hanya memesan empat d**a ayam tanpa nasi. Sepertinya Aru jenis laki-laki yang menjaga pola makan yang baik. "Kamu suka motor?" Ucap Aru membuka topik pembicaraan. Ajeng tersenyum dan mengangguk, "Iya suka, apalagi jenis motor besar milik kamu itu," "Kenapa?" Tanya Aru penasaran, ia mencubit daging ayam. "Mungkin pandangan orang berbeda-beda tentang kendaraan roda dua itu. Sebagian wanita mungkin tidak terlalu menyukainya. Mereka lebih suka menggunakan mobil, agar penampilannya tetap rapi, berkelas dan status sosial mereka pandang oleh masyarakat," "Kalau aku suka suka aja naik motor, enggak peduli deh rambut berantakkan panas dan berdebu," "Merasa lebih bebas aja," "Dari dulu memang pengen banget ngerasain jalan-jalan pakek motor moge. Tapi belum kesampaian," Aru tersenyum mendengar jawaban Ajeng, ia kembali makan daging ayam. "Tapi ditanya soal motor, aku enggak tau apa-apa," ucap Ajeng sambil terkekeh, ia mencubit daging ayam dan ia colet ke saus sambal. "Rencana minggu depan aku pergi ke Semarang, kamu mau ikut enggak?" Ucap Aru, mengajak Ajeng kesekian kalinya. "Sama siapa?" "Jo dan Rafa, sahabat aku," ucap Aru. "Mereka bawa pasangan?" Tanya Ajeng mencoba memastikan. "Mungkin, aku enggak tahu pasti," "Jangan bilang Jo bawa Daniar, malesin banget kalau ketemu dia," dengus Ajeng. "Enggak tau sih dia bawa siapa, soalnya aku enggak nanya juga sama Jo. Lagian kalaupun bawa Daniar enggak apa-apa lah. Hitung-hitung kalian reuni," "Tapi aku enggak suka sama dia, sejak tahu dia selingkuh dari belakang Hanum," "Ya itu kan, masalah dia sama Hanum, bukan masalah sama kamu. Kamu bersikap biasa-biasa aja. Daniar juga tidak menyakiti kamu. Lagian sejauh yang aku kenal, Daniar orangnya baik," "Tapi Hanum sahabat aku, tapi tetap aja aku enggak suka," "Dan Daniar juga dulu sahabat kamu kan?" Ucap Jo. "Di coba aja dulu, lagian kamu hanya tahu tentang dia dari pandangan Hanum. Aku yakin dari sisi Daniar pasti berbeda, begitu juga dengan Jo. Kamu ketahui dulu kebenarnya, baru deh kamu boleh marah," Ajeng membenarkan ucapan Aru, "Kenapa kamu enggak bawa pasangan kamu, kan lebih seru,"  Aru memasukkan daging ayam ke dalam mulutnya, ia memandang Ajenh, "Dia enggak suka kegiatan seperti ini terlebih panas, berdebu, dan lagian dia sibuk kerja," "Emang dia kerja apa?" Ucap Ajeng pura-pura tidak tahu, padahal tadi siang ia stalking instagramnya Aru. Pacar laki-laki itu bernama Tania berprofesi sebagai pramugari. "Pramugari," ucap Aru. Ajeng tidak menyangka bahwa Aru jenis laki-laki yang jujur di setiap kata yang dikeluarkannya.  "Kamu tau sendirilah jam terbang pramugari itu tinggi, tidak ada waktu hal seperti ini. Jam kerja tiada akhirnya, terlebih keluar negri," "Itu Daniar bisa ikut ke Semarang, dia kan pramugari pasti selevel lah," "Kan aku udah bilang, aku enggak tau siapa yang dibawa Jo, bisa jadi Jo bawa adik sepupunya," "Owh gitu," "Bukannya kamu bangga dapat pacar yang berprofesi sebagai pramugari, itu pekerjaan bergengsi loh," ucap Ajeng. "Awalnya sih iya, tapi sekarang terlihat biasa-biasa saja," ucap Aru. "Sudah lama pacarannya?" "Baru enam bulanan kok," "Owh gitu," Ajeng tidak bertanya lebih lanjut. "Ngapain ke Semarang?" "Jalan-jalan aja," "Kamu sudah punya pacar?" Tanya Aru beralih bertanya kepada Ajeng. "Enggak, maksud aku belum," ucap Ajeng, menyumprut pepsi. Alis Aru terangkat dan melirik Ajeng, ia sudah menduga dari awal bahwa wanita itu tidak memiliki kekasih. Terbukti Ajeng mengaku bahwa dia adalah kekasihnya, "Laki-laki yang di lobby itu ..." "Itu sahabat aku," timpal Ajeng. "Aku pikir mantan kamu," Aru terkekeh "Ya bukanlah," Ajeng menyudahi makannya. "Jadi bisa ikut touring ke Semarang?" Tanya Aru kembali ke topik awal. "Tanggal berapa?" Agar ia bisa mengajukan cuti. Masalahnya dua minggu lagi kontraknya akan habis. Ia tidak ingin cuti tahunannya hangus sia-sia. "Tanggal 27, 28 dan 29," Ajeng memandang layar ponsel, melihat kalender, "Jadi sabtu minggu dan senin," "Iya, senin pagi kita pulang," "Aku enggak yakin bisa atau enggak, nanti kalau bisa aku hubungi kamu," "Oke, aku tunggu kabar kamu secepatnya," "Ajeng ....!" "Ya," Ajeng memandang Aru yang menyebut namanya. Suara berat itu terdengar begitu sexy. "Kenapa tadi kamu menganggap aku kekasih kamu?" ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD