Laki-laki dewasa seperti dirinya, tahu apa yang harus ia lakukan. Terlebih melihat wanita itu cantik dan menarik di matanya. Sehingga adanya pergerakkan signifikan yang mendorong perilaku impulsif. Ini bukanlah pikiran pendek melainkan dorongan alamiah bagi laki-laki.
Aru bertolak pinggang, memandang iris mata bening itu. Alis itu terukir sempurna dan bibir tipisnya begitu menggoda untuk di cicipi.
"Selama mobil saya dibengkel, saya memakai mobil kamu," ucap Aru pada akhrinya.
Ajeng mengerutkan dahi, ia tidak terima begitu saja jika mobilnya beralih ketangan laki-laki itu,
"Loh bukannya saya sudah bertanggung jawab," ucap Ajeng.
"Ini bukan tentang masalah tanggung jawab. Jika mobil saya sudah seperti ini, saya menggunakan apa? Berpikirlah secara logis," ucap Aru datar.
Jika dia sudah berbicara sepertu itu ia tidak bisa membantah lagi. Berdebat mempermasalahkan mobil ini, pastilah tidak ada habisnya. Terlebih dirinyalah yang bersalah atas kasus ini.
"Jadi kamu maunya gimana?" Tanya Ajeng, mencoba berpikir jernih.
"Tentu saja mobil kamu,"
Oh Tuhan, laki-laki ini memang gila, andai dia tidak semenyeramkan ini. Ia pasti lebih mempertahankan mobilnya mati-matian. Lihatlah tampangnya aja lebih mirip pereman kelas kakap. Tangan kokoh itu pasti begitu terlatih,
"Mana kunci mobil kamu,"
Ajeng manarik nafas, ia juga bingung akan berbuat apa. Andai saja ada Tatang pasti permasalahan ini akan cepat selesai. Inginnya sih menelfon Tatang saat ini juga, emang dia aja yang memiliki body kekar. Ia menggenggam erat kunci itu,
"Mobil saya lebih mahal dari kamu, setelah mobil saya selesai. Saya akan mengembalikannya,"
"Ya enggak bisa gitu lah, emang saya bisa percaya begitu saja kepada kamu,"
"Kenapa mesti tidak percaya," ucap Aru datar.
Aru masih menatap wanita itu secara intens, mata bening itu membalas pandangannya.
"Karena saya belum mengenal siapa kamu,"
Aru lalu tersenyum culas, sepertinya umpan dirinya di makan mentah-mentah oleh wanita cantik itu. Ia tidak perlu bersusah payah mengajaknya kenalan. Aru mengeluarkan dompet dari saku calana, ia mengambil KTP dan kartu nama. Menyerahkan kartu itu,
"Ini KTP dan ini kartu nama saya. Di sana ada alamat rumah dan kantor saya. Atau kamu tanyakan langsung kepada pemilik bengkel ini. Dia kenal betul siapa saya," Aru mencoba menjelaskan, melirik Jo yang tersenyum penuh kemenangan.
Ajeng mengambil kartu nama dan KTP. Ia mulai membaca setiap huruf yang tertera di kartu. Keren gila, ternyata namanya ENDARU JANGGALA. Nama dan tampang sangat lah tidak sesuai menurutnya.
Ajeng mengalihkan pandanganya ke arah kartu nama berwarna hitam "Aru Fitness Center". Ia melirik laki-laki itu sekilas. Jujur ia sering ke tempat fitness ini bersama Tatang. Aru fitness center adalah salah satu tempat gym hitz, pengunjungnya juga cukup banyak dan dia merupakan salah satu pelanggan tetap di sana.
Ajeng tahu bahwa tempat Gym merupakan salah satu tempat alternatif untuk kaum urban. Terlebih di kota besar seperti Jakarta dengan tingkat kesibukan tinggi. Kesadaran untuk kesehatan tubuh di tengah padatnya aktivitas. Berolahraga ditempat gym tempat yang lengkap. Alat-alat yang tersedia cukup banyak dari membentuk tubuh hingga mengecilkan perut juga ada. Di tempat fitness juga menyediakan yoga, zumba, dan pilates. Sehingga dirinya biasa betah berlama-lama di sana. Oke, itu hanya sekilas tentang tempat fitness yang ia ketahui.
Aru tersenyum culas, ia melirik Jo yang menahan tawa,
"Agar semua berjalan dengan baik. Saya juga perlu KTP kamu,"
"Emangnya KTP saya untuk apa? Kamu juga udah bawa mobil saya," timpal Ajeng.
"Tapi saya tetap harus tahu siapa kamu," ucap Aru.
Sepertinya ia tidak bisa berpikir lagi. Ajeng lalu merogoh sesuatu dari tas miliknya. Ia mengeluarkan dompet di mengambil kartu berhologram garuda. Ia menyerahkan KTP miliknya kepada laki-laki itu.
Aru memandang nama tertera di KTP, RAHAJENG DAHAYU. Ternyata wanita itu lahir di Bali. Ia memasukkan KTP itu di dalam dompetnya begitu saja.
"Antar ke tempat kerja saya terlebih dahulu," ucap Ajeng.
"Oke," ucap Aru tersenyum penuh arti.
Aru kembali memandang Jo. Ia tahu bahwa sahabatnya pasti menertawakannya. Inilah yang seharusnya mereka lakukan sebagai laki-laki dewasa. Ah, ia tidak munafik bahwa wanita yang menabraknya itu begitu menarik.
Wanita itu bukan jenis wanita pemalu ataupun kutu buku dan sama sekiali tidak terlihat manja. Sangat membosankan sekali jika ia menemui wanita yang senang merengek-rengek dan bermanja-manja. Wanita jenis itu sama sekali bukan tipe wanitanya, jelas saja ia menyukai wanita cantik bertubuh ideal mandiri, memiliki intelegensi dan wawasan yang luas. Ia juga tahu wanita karir yang mandiri, terbukti dengan cara dia berbicara, memanfaatkan waktu seefesien mungkin.
"Gue cabut dulu men," ucap Aru.
"Sip, hati-hati, jangan sampai nabrak lagi," Jo sengaja menyinggung Ajeng.
"Kalau gue yang bawa , ya enggaklah, kecuali dia," timpal Aru.
"Sebagai laki-laki, lo seharusnya ajarin dia men,"
"Ya jelas lah, macam lo enggak tau gue aja,"
Jo lalu tertawa, ia melirik Ajeng yang hanya diam, "Emangnya lo bakal ajarin apa?"
"Cara bercocok tanam yang baik dan benar," ucap Aru.
Ajeng mendengar itu lalu berlalu begitu saja, dari pada mendengar percakapan dua laki-laki berengsek itu. Sementara Aru menahan tawa dan meninju bahu Jo.
"Eh, orangnya kabur. Gue cabut men," Aru lalu pergi begitu saja mengejar wanita bernama Rahajeng itu.
***********
Aru meninggalkan area bengkel, meneruskan perjalanannya. Ia melirik jam melingkar ditangannya, menunjukkan pukul 10.12. Ini sudah satu jam berlalu atas pertemuannya dengan Tania. Wanita itu pasti akan ngamuk, karena dirinya telat kesekian kalinya.
"Saya akan antar kamu kemana?" Ucap Aru datar.
"Grand Hotel," ucap Ajeng.
"Jadi kamu kerja di sana?" Aru masih fokus dengan kemudi setir.
"Iya,"
"Oke," ucap Aru, karena sepertinya wanita itu tidak berniat untuk mengenalnya lebih jauh. Ia tidak terlalu suka dengan wanita yang terlalu jual mahal. Aru memilih diam dan tidak bertanya lagi.
Ajeng menyandarkan punggungnya di sisi kursi, melirik laki-laki yang fokus dengan kemudi setir. Ia melihat lengan kokoh dan bahu bidang itu. Sumpah, tubuh Aru lebih besar dari tubuh Tatang. Padahal Tatang termasuk laki-laki yang rutin ngegym.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di lobby Grand Hotel. Ajeng menggigit bibir, kembali menoleh ke arah laki-laki itu.
"Tadi itu teman kamu?" Ucap Ajeng.
Aru lalu menoleh kearah Ajeng, "Siapa?"
"Pemilik bengkel itu,"
"Iya dia sahabat saya, dan kami juga kenal cukup lama. Kenapa?" Tanya Aru penasaran.
"Dia laki-laki b******k dan tidak tahu diri," ucap Ajeng geram.
Alis Aru terangkat, "Owh ya,"
"Dia memacari kedua teman saya sekaligus,"
"Wow," Aru sulit percaya atas ucapan Ajeng. Masalahnya Jo yang ia kenal bukan jenis laki-laki yang sering gonta ganti wanita. Selama ini Jo masih berhubungan dengan peramugari cantik bernama Daniar.
"Mungkin dia tidak mengenal saya, karena kita tidak pernah bertatap muka secara langsung. Tapi saya kenal dia, karena dia sering menjemput Hanum,"
"Saya, Hanum dan Daniar bekerja di tempat yang sama dan sering ngumpul bersama. Entahlah kejadiannya seperti apa, tiba-tiba semuanya renggang karena Hanum mendapati Daniar bersama Jo. Mereka benar-benar selingkuh di belakang Hanum,"
"Mendengar itu miris sekali, dia laki-laki b******n yang tidak tahu diri. Menurut saya Hanum itu jauh lebih baik cantik dari pada Daniar. Tapi namanya juga laki-laki mata keranjang, selalu saja tidak pernah bersyukur. Mendapati wanita cantik dan sebaik Hanum,"
"Hubungan kami akhirnya renggang, karena Jo. Daniar akhirnya mengundurkan diri. Mungkin karena marasa bersalah kepada Hanum. Tapi sudah lah, kejadian itu sudah satu tahun berlalu. Hanum juga sudah menikah memiliki anak yang super lucu," Ajeng lalu melepas sabuk pengaman.
"Saya pulang jam lima," ucap Ajeng pada akhirnya. Ia tidak ingin laki-laki itu membawa mobilnya begitu saja.
"Kenapa dengan jam lima?," Aru tidak tahu maksud Ajeng.
"Tentu saja, jemput saya,"
"Kamu ingin dijemput !"
"Kamu sudah pakai mobil saya, tentu saja sudah seharusnya menjemput saya," ucap Ajeng.
"Jam lima saya masih ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan,"
"Ya saya enggak mau tahu,"
Aru menggigit bibirnya, ia menatap jam melingkar di tangannya. Sekali lagi melirik Ajeng,
"Saya perlu nomor ponsel kamu,"
"Untuk apa?"
"Jika urusan saya sudah selesai, saya akan menjemput kamu,"
"Oke,"
Ajeng lalu menyerahkan ponselnya kepada Aru, ia melirik Aru yang mulai mengetik. Semenit kemudian laki-laki itu menyerahkan ponselnya kembali.
"Saya tidak janji, akan datang tepat waktu," ucap Aru.
"Saya tidak mau tahu, dan saya tidak ingin di jemput dalam keadaan langit gelap,"
"Saya akan usahakan menjemput kamu sebelum penghujung senja,"
Ajeng mengangguk paham, "Oke, terima kasih,"
Ajeng lalu membuka hendel pintu dan keluar. Jendela mobil terbuka,
"Panggil saya Aru," ucap Aru, sebelum ia meninggalkan gedung hotel.
"Oke,"
Sedetik kemudian mobil menjauhi area lobby, Ajeng memandang mobil hilang dari pandangannya. Ia lalu memeriksa layar persegi dan menyimpan nomor kontak dengan nama lengkap Endaru Janggala.