05: TEMARAM

2035 Words
“Lia?” panggil Deni dari balik pintu kamar Meta. Hari sudah mendekati senja. Ijab kabul sudah rampung. Sedikit syukuran sebagai ucapan terima kasih – dengan menyajikan beberapa menu yang Deni dan Lia pesan dadakan – juga lunas dilaksanakan. Di dalam master bedroom itu Lia baru saja menanggalkan gaun cantik yang dipinjamkan Meta, mengganti dengan pakaian kasual yang dini hari tadi diberikan Aluna. Lia melangkah, membukakan pintu untuk sang suami. “Sudah selesai?” tanya Deni. “Sudah, Kak.” “Kak?” Deni sedikit menganga meski kedua sudut bibirnya naik dan menerbitkan cekungan dalam di pipinya. “Nanti kalau panggil Deni aja dikira ngga sopan,” jelas Lia. “Oh.” “Ngga suka ya?” “Suka. Ngga apa-apa,” jawab Deni. “Suka atau ngga apa-apa? Beda lho konteksnya.” “Yang penting kamu sayang aku.” Lia tersenyum hangat, lalu mengangguk. “Pasti. Masa sudah jadi suami ngga disayang? Masih jadi pacar aja disayang kok.” “Iya.” “Kenapa Kak?” Tidak mungkin kan Deni menyambangi Lia hanya untuk membahas panggilan sayang atau kehormatan setelah menikah? “Lia ….” “Kenapa sih?” “Aku … minta maaf.” “Untuk apa, Kak?” “Maaf karena menikahi kamu dengan keadaan seperti ini.” “Kak, kan aku udah bilang, aku ngga pernah merendahkan disabilitas Kak Deni. Karena memang ngga ada yang perlu direndahkan! Mungkin, jika dibandingkan dengan orang normal yang baik-baik saja, perjuangan Kak Deni sampai di titik ini jauh lebih berat dari mereka, dari aku,” ujar Lia panjang lebar. Kesal dengan sikap rendah diri Deni yang kerap kali kumat. ‘Emangnya jadi begini maunya kamu, Kak? Kan ngga! Namanya kecelakaan siapa sih yang bisa mencegah?’ Lia mendengkus keras, hatinya berdenyut pilu. “Bukan itu, Li,” cicit Deni kemudian. “Terus?” “Maksud aku … nikahnya jadi kawin lari,” jelas Deni. “Daripada aku ngerayu kamu biar dikawinin sebelum nikah?” balas Lia. "Mending mana sama kawin lari?" “Lia … ngomong apa sih?” “Kak, Kakak pikir kenapa Lia datang ke rumah Kak Deni tengah malam tadi? Lia ngga mau dinikahin Burhan. Lia tuh udah gila banget pasti, udah ngga bisa mikir waras. Kalau Kak Deni masih aja ngotot nungguin restu Ibu, Lia mungkin udah telanjang di depan Kakak.” “Lia ….” “Jadi, ngga usah minta maaf soal pernikahan kita yang diam-diam tapi ramai ini.” Deni terkekeh mendengar kalimat sang istri. Lucu memang. Deni bahkan tak menyangka jika banyak yang berkenan mendoakan kebahagiaan bagi mereka. “Kita pulang ke rumah Kak Deni?” tanya Lia kemudian. “Ngga. Aku nyewa unitnya Bang Dirga di The Dwelling. Tapi ngga sempat dihias-hias katanya.” “Serius?” “Iya, Li. Cuma semalam aja. Soalnya khawatir Ibu dan orang-orangnya Burhan masih nyariin kamu. Besok baru kita ketemu Ibu.” “Apa harus buru-buru, Kak?” Deni mengangguk, tegas. “Kalau nanti ….” “Cepat atau lambat sama aja, Li. Ada konsekuensi yang harus aku hadapi. Aku ngga mau kucing-kucingan padahal kita sudah berumah tangga,” tegas Deni. “Oke. Udah ya, don’t blame yourself anymore, juga jangan rendah diri. Lia sedih kalau Kak Deni begitu.” “Iya, Li.” *** Jika itu adalah pernikahan normal, maka yang menghadiri bisa dikatakan sedikit. Namun, berhubung pernikahan itu adalah semacam kawin lari, rasanya sudah terlalu banyak pasang mata dan telinga yang tau. Deni tak keberatan, Lia pun sama. Tak ada yang ingin disembunyikan keduanya. Lagi pula, jika menjalaninya dengan cara normal, mungkin Deni tidak akan pernah menikahi Lia. “Gue bukannya ragu untuk nyetujuin kawin lari ini,” ujar Ian tadi. “Gue cuma mau mastiin, lo berdua ngga akan semakin kesulitan.” “Incase lo berdua ngga nikah sekarang, lo bisa jamin Den kalau lo ngga akan nyentuh Lia sebelum ibunya Lia setuju dan kalian menikah nanti?” Sebelum Deni menjawab, Irgi lebih dulu menyuarakan pertanyaannya. Deni, menggeleng lemah. “Lo bisa Lia, menjamin kalau lo ngga akan dinikahi Burhan?” Irgi beralih pada Lia. Calon mempelai perempuan pun memberi jawaban yang sama dengan Deni tadi. “Jauh lebih banyak mudhorotnya kalau ini anak berdua ngga dinikahin ya Bang?” tanya Ian lagi. “Tadi, gue juga udah telpon Abah,” ujar Irgi. Merujuk pada mertua Dirga yang juga merupakan guru mengajinya di masa kecil dulu. "Kata Abah, ditimbang banyak mana faedah dan mudhorotnya. Mengingat – gue yakin – ibu mana pun ngga akan mau anak-anaknya menderita, so … pasti ibunya Lia bukannya ngga ngerestuin. Tapi, ada kondisi yang bikin beliau masih menahan diri untuk memberi restu. Sementara, kalau mereka ini ngga dinikahin, bisa-bisa pada nekat.” "Kayaknya bakalan gitu, Bang," gumam Deni, bermonolog. Deni merapihkan buku nikah mereka, menyatukannya di sebuah plastic zip sebelum ia simpan di dalam document holder. Ia lalu beranjak ke dapur kecil di unit itu, membongkar eco bag yang tadi diberikan oleh Meta. Ternyata, beberapa jenis camilan dan makanan instant beserta lauk-pauk matang. Kebetulan sekali, Deni memang lapar lagi. Wajar bukan? Sudah lewat pukul delapan malam. Sementara di balik pintu kamar, Lia bolak-balik mengolah napas. Rasanya kakinya kebas, tak berani melangkah keluar. Ia berbalik lagi, mematut diri di depan standing mirror. Satu-satunya baju normal di dalam paper bag yang Aluna beri adalah gaun brukat. Dan sepertinya tidak pantas dipakai tidur. Lagipula, masa esok hari mau menyambangi rumahnya dengan memakai lingerie nightgown? Bisa-bisa sang ibu ngereog seketika. Dan yang dikenakannya kini adalah sehelai gaun tidur yang cukup sopan sebenarnya. Panjangnya sedikit di atas lutut, pun bahannya lembut dan tidak menerawang. Hanya bagian dadanya saja yang berpotongan amat rendah dan bertali spageti. Ya namanya saja lingerie, bukan piyama, apalagi daster. Lia menggelengkan kepalanya. Sungguh frustasi. “Duh, mana ngga ada kimononya. Baju yang tadi basah. Masa gue mau pakai dress yang buat besok?” Lia mendengkus keras setelah monolognya usai. Kembali berputar-putar di depan cermin. Ia teramat malu mengenakan gaun cantik itu di hadapan Deni. “I swear to God when I come home. I'm gonna hold you so close. I swear to God when I come home. I'll never let go.” Suara merdu dari sang pemilik yang begitu Lia kenali menerobos celah pintu. Juga musik yang mengiringi. Deni pasti mengkoneksikan ponselnya ke speaker di tengah ruangan sana. Mungkin tak seindah lantunan penyanyi aslinya. Namun bagi Lia, suara Deni tetap lebih baik. “Like a river I flow. To the ocean I know. You pull me close. Guiding me home.” Seperti mantra, Lia melangkah begitu saja, membuka pintu, memapas jarak dengan pria yang tengah asik berdendang sambil memasak di dapur unit itu. “And I need you to know that we're falling so fast. We're falling like the stars. Falling in love,” dendang Deni lagi. Lia tertegun, terdiam di batas kitchen island yang sekaligus digunakan sebagai meja makan. “And I'm not scared to say those words, with you, I'm safe. We're falling like the stars. We're falling in love.” Lia tersenyum. Ia menarik salah satu kursi, menggemakan derit akibat gesekan kayu dan lantai. Deni yang baru akan memindahkan sayap ayam terakhir ke dalam wadah, sontak menoleh. Lalu … tertegun. ‘Ya Allah. Tau begini hamba ngga masak. Mending mandi, siap-siap ninuninu.’ ‘Buset! Sabar, Den! Jangan main terkam aja lo!’ “Hai,” cicit Lia. Kedua tangannya terangkat, menaik-naikkan bagian atas gaunnya meski percuma. “Itu … tadi kan blouse aku ketumpahan es krim, jadi langsung aku kucek, jadinya basah. Terus, cuma ada baju ini dan gaun brukat di paper bag yang Aluna kasih.” Deni buru-buru mengangguk. Kasian istrinya, mukanya merah seperti kepiting rebus. Deni tak tau saja, jika ia pun begitu. Tiba-tiba dapur itu terasa begitu panas. “Gerah ya Li?” tanya Deni. “Kak Deni belum mandi kali.” “Oh. Iya sih.” “Kak Deni masak apa?” “Cuma mi goreng, sama ngangetin lauk.” “Itu penggorengannya dari mana?” “Ada di sini. Alat makan juga ada.” “I see.” “Kita makan ya?” “Iya, Kak.” Deni memindahkan karyanya ke atas meja, kemudian beringsut ke samping Lia. Berusaha sekuat tenaga agar tak memandangi sang istri. Masalahnya, sikap Deni yang diam selama makan malam mereka, pun yang enggan menatap Lia, justru membuat Lia serba salah. ‘Kak Deni ngga suka apa ya gue pakai baju begini di depan dia? Iya sih, kebuka banget emang bagian dadanya. Risih apa ya ngeliatnya?’ “Lia aja Kak,” ujar Lia begitu Deni hendak mengangkat wadah makan bekas pakai. Deni hanya menatap singkat, mengangguk, lalu menjauh dan masuk ke kamar. Lia yang tertegun, duduk kembali ke kursinya, memberengut, linglung sendiri. Selesai mencuci piring dan menyimpan sisa makanan mereka, Lia pun menyusul Deni. Suaminya masih di dalam kamar mandi. Suara kucuran air dari shower masih terdengar jelas. Lia naik ke atas ranjang, duduk menyandar di kepala tempat tidur, menarik selimut hingga ke menutupi area dadanya. Beberapa saat kemudian, Deni melangkah keluar dari kamar mandi. Terkejut karena melihat Lia di sana. Keduanya sama-sama membeku. Deni yang tak menyangka Lia sudah di atas ranjang, sementara Lia tak menyangka jika Deni hanya mengenakan selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Lalu … keduanya kompak berdehem. “Kak Deni … mmm … itu … mau Lia … keluar dulu?” Deni berdehem kembali. Lalu menggeleng dengan sedikit menunduk. Ia lalu mengulurkan tangan, memegang tepi meja rias yang letaknya berdekatan dengan pintu kamar mandi, melompat beberapa kali hingga berhadapan dengan paper bag yang berisi pakaiannya. “s**t!” Lia … menganga. Deni yang menyadari celetukannya sontak menoleh ke sang istri. “Cuma ada kemeja sama celana panjang, Li,” ujar Deni, panik. “Maaf,” lirihnya kemudian. Khawatir Lia salah paham dengan makian sebelumnya. Fix! Keduanya dikerjai oleh Dariel dan Aluna. Atau mungkin semua yang hadir di pernikahan mereka tadi berkolaborasi? Yang jelas, kini Deni pun pusing harus mengenakan pakaian apa. Bajunya yang tadi sudah beraroma keringat. Bukan berarti bau, hanya saja, Deni tak pernah nyaman jika setelah mandi tak memakai baju yang bersih. ‘Masa gue pakai office suit gini? Boxer doang dilebihin coba.’ Di saat yang sama, chat dari Dariel muncul di layar ponsel Deni. Dariel: Selamat malam pertama, brother! Pastikan tuntas dalam semalam! “Sinting!” “Kak Deni iiih!” omel Lia kemudian. “Bukan kamu, Li. Ini si Dariel.” “Kak Deni mau ganti baju ngga sih?” “Mmm … ngga ada baju, Li.” “Terus?” Deni mencengkeram simpul di pinggangnya, kemudian melompat-lompat kembali ke sisi ranjang, tepat di samping Lia. “Aku … tidur di luar aja,” ujar Deni, melirih. Nyaris tak terdengar. “Kenapa Kak?” “Takut kamu ngga nyaman. Kita kan nikah mendadak.” Lia menurunkan selimut yang sedaritadi menutupi nyaris seluruh tubuhnya, membiarkan kemolekannya terpampang di titik pandang Deni. Netra Deni terpaku. Ia menenggak salivanya sendiri. Sekeras apa pun ia mengatakan pada diri sendiri agar berpaling dari d**a Lia, tetap saja kedua matanya bersikap keras kepala. “Kak?” “Ya?” cicit Deni. Menatap mata Lia sesaat, lalu kembali ke aset sang istri. Memang dasar insting primitif, amat sulit dikendalikan. Lia tak bersuara lagi. Ia hanya ingin melakukan sesuatu. Harusnya, Deni sudah memberikannya. Mungkin Deni lupa karena hari ini memang terasa begitu tergesa dan … sedikit aneh. Lia cepat mengikis jarak, mengecup singkat bibir Deni. Sontak, kedua mata Deni melebar. Perlahan tangannya yang sedari tadi mencengkeram simpul handuk terangkat dan mengusap bibirnya. Tak berlama-lama ditelan keterkejutan, Deni mencondongkan tubuhnya, merapatkan diri dengan Lia. Satu tangannya kemudian terulur, menekan dan memutar beberapa saklar di balik nakas – mematikan dan meredupkan lampu-lampu di kamar mereka. Temaram pun menyelimuti, menghadirkan suasana romantis dan mendebarkan. Ia memulai dengan kecupan di pipi. Tak terburu-buru, namun perlahan dan dalam seraya menghindu aroma Lia. Kecupan itu lalu menjalar, ke rahang, dagu, hidung, pipi lainnya, kening, kedua mata, hingga … bibir ranum sang istri. Di tengah ciuman yang memabukkan itu, Deni menurunkan tali di bahu Lia, membuat tubuh istrinya tak lagi terlindung helaian kain. Lia pun melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher Deni, menyisipkan jemarinya di surai sang suami. “Apa kamu menginginkanku?” lirih Deni di telinga Lia. Parau. Anggukan kecil Lia beri sebagai jawaban. “Kak Deni?” “Sangat, Sayang. Boleh kan?” “Boleh, Kak. Tentu boleh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD