Enam

1306 Words
Lalu aku berinisiatif untuk menahanya dengan mencari topik lain. "Kak Syad, tanggung jawab ini. Gea nggak henti-henti spam aku." Arsyad tertawa mendengar omelanku. "Ya, udah, ganti nomor aja." Sial! "Emangnya di kereta ada yang jual pulsa dan kartu perdana? Ngaco!" "Ya, udah tinggal bales aja, sih. Gitu aja kok repot… Toh kalau dia temanmu, pasti dia juga akan ikut jaga rahasiamu, kan," ketusnya. Tadinya aku mau pasang headset di telinga, tapi terhenti. "Maksudnya?" "Ya pasti sampai hari ini dia belum tahu hubunganmu denganku dan Arsyi. Makanya kemarin dia kaget dan sampai hari ini dia terus-terusan nanya ke kamu. Ya itu yang aku maksud dengan rahasia." Tanganku terkulai di kedua sisiku. Aku mencerna kata-kata Arsyad. Benar juga ternyata. Sampai hari ini, aku belum pernah membicarakan tentang keluargaku pada temanku sendiri. Jika dia mulai membahas tentang keluarga pasti segera aku alihkan dengan topik lain. Sebenarnya alasanku utamaku itu karena aku tidak ingin Gea berteman denganku hanya karena embel-embel anak seorang publik figur yang menempel pada diriku. Dan aku baru menyadari betapa jahatnya aku ketika terus berbohong padanya, apalagi saat dia ingin mampir ke rumahku, betapa paniknya aku untuk mencari alasan-alasan lain setiap waktu. "Dih bengong… Pasti mikirin kata-kataku," goda Arsyad sambil menjawil daguku yang langsung kutepis. Ngapain sih, dia. Udah benar pindah ke tempat duduk Ibu, malah balik lagi. Eh, nggak juga. Bisa-bisa makin runyam kalau cuma aku sama Arsyi duduk bersebelahan. "Lagian sepertinya udah telat juga kalau mau ngasih penjelasan ke dia. Toh, udah berapa banyak kebohongan yang kamu pasang untuk mempermainkannya?" tambahnya. Sial, terkadang kata-katanya persis seperti b*****h. Meski sebenarnya ada benarnya juga usai aku pikir-pikir. "Eh, ya… Kita sekarang mau ke mana, sih?" katanya. Mulai ada pertanyaan usil. Ini mencurigakan. Aku hapal sekali dengan kata-kata serta nada getir ketika Arsyad mengucapkan itu. Pasti ada sindiran atau peringatan halus di balik ungkapan tersiratnya. "Mau ke Yogya, lah," kataku. "Ngapain?" "Datang ke pentasnya Bapak." "Em, pentas ya…" Dia seolah-olah berpikir, padahal aku bisa menebak kalau dia sudah memikirkannya sejak pertanyaan tadi. "Pentas drama, ada grup musik, seniman terkenal, aktor dan aktris terkenal. Pasti nanti ada…" Astaga, iya! "Wartawan?!" teriakku yang lantas membuat Arsyi di sebelahku yang sedari tadi sibuk dengan ponsel dan telinga yang tersumbat oleh headset itu menjadi ikut tersengal. Tidak… Tidak… Tidak, batinku. Aku tidak ingin nanti wartawan bisa turut mengeksposku sebagai bagian dari seorang Deri Prima. Bisa-bisa nanti Gea akan tahu dari sana dan identitasku yang susah payah aku sembunyikan jadi terbongkar. Aku bisa membayangkan betapa kesalnya saat seseorang sedang dipenuhi pertanyaan tapi tak kunjung mendapat jawaban. Dan suatu ketika mendapat petunjuk dari sumber yang tidak terduga. Duh, bakal kacau ini. Dan, Darsam, bagaimana pun dia itu adalah orang yang tak berat sebelah pada siapapun. Aku juga tidak mau dia nanti pada akhirnya tahu siapa diriku, tapi dari sumber lain, bukan langsung dariku. "Aku mau turun di sini aja, deh. Aku bisa balik sendiri…" Aku gelabakan, napasku tersengal karena panik. "Arum… Tenang. Ngapain panik begitu?" kata Arsyad mencegahku untuk tidak terlihat kacau. Karena beberapa penumpang yang duduk di sekitar kami menatapku aneh. Mungkin mereka berpikir aku kehilangan sesuatu. "Nggak. Untuk saat ini aku belum bisa tenang, Kecuali aku pulang…" "Duh, Rum! Kenapa rewel segala, sih. Kayak bocah aja. Di sini nggak cuma keluarga kita doing. Banyak orang. Jangan bikin malu." Arsyi mulai terusik. Tiba-tiba bercucur air mata di pelipisku. Aku tidak tahu kenapa aku sampai tidak bisa mengontrol diriku agar tidak sampai menangis. Tapi memang tak bisa dipungkiri, aku memang tidak mau kalau sampai Gea tahu dengan cara seperti itu—maksudku bukan langsung aku yang memberitahunya. Arsyad mengelus pundakku. "Udah… Kau bisa bicara dengannya nanti. Kau bilang, dia itu teman baikmu bukan? Kalau dia teman baik, dia pasti akan mendengar semua alasanmu." Aku mendengar kata-kata Arsyad yang terkesan menenangkan itu. Tapi untuk saat ini di pikiranku hanya berisi bagaimana keadaan di pentas nanti. Aku gugup. Kereta eksekutif untuk saat ini tidak membuatku tertarik sama sekali. Biasanya, ketika aku sudah duduk di kursi kereta, aku pasti duduk di samping jendela kaca untuk bisa mendapat akses langsung pemandangan yang ada di luar. Tapi untuk saat ini entah kenapa, kerindangan di luar tidak mempan mengelabuhi pikiranku. Arsyi dari tadi sudah fokus dengan ponselnya, sedang Ibu sepertinya sudah mulai menelepon sana-sini untuk menghubungi rekannya kalau kami semua sudah dalam perjalanan ke tempat pentas. Aku membiarkan tangan Arsyad tetap melingkar di pundakku. Memang itu belum bisa menenangkanku sama sekali, tapi masalahnya bukan di tangan Arsyad atau di setiap ucapannya, tapi masalahnya ada di aku. Aku berusaha mencermati apa yang sudah dikatakan Arsyad tadi, satu hingga dua kalimat berhasil memberikan energi positif dalam diriku, meski tidak seluruhnya menghapus kecemasanku. Oh iya, tidak jarang di dalam kereta aku menemui satu-dua orang yang wajahnya pernah aku lihat di media sosial. Di antaranya adalah teman Arsyad dan Arsyi. Di usia muda, mereka sudah berhasil menjadi influencer yang wajahnya ada di sana-sini. Sesekali ada saling sapa, antar Arsyad dan temannya. Bahkan ada seseorang yang asing bagiku menyapa Arsyad dengan pertanyaan mengejutkan. "Apakah dia pacarmu?" Arsyad terbahak. "Bukan, Bukan…" Laki-laki itu kemudian membalas dengan anggukan takzim seolah dia memang sedang diberitahu kebenarannya apa. "Oh, ya, kenalin Rum… Ini Kevin." Aku melirik laki-laki itu sekilas. Kemudian mengangguk untuk formalitas sopan santun. Dan aku segera menuju pintu keluar mengikuti ibuku yang berjalan dengan anggun ke arah bapak yang melambaikan tangan. Bapak sengaja menunggu pada pemberhentian kereta di stasiun Yogyakarta. "Arum!" teriak Bapak dan segera kami saling menghampiri. "Bapak kangen sama kalian semua. Gimana kabar kalian?" "Semua baik-baik saja, Pak," kata Ibu. "Arum… Masih suka saja dia dengan baju itu..," kata Bapak sambil melihat penampilanlku. Aku mengenakan dress floral dengan cardigan Aku suka dengan setelan pakaian ini karena warnanya yang terkesan kalem. Dan baju ini adalah tipikal bau yang disukai oleh Nenekku. "Hehe, iya, Pak. Aku sudah terbiasa pakai baju ini." Bapak tampak seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. Namun, Arsyad dan Arsyi langsung membuat perhatiannya teralih. Baguslah, aku memang sedang tak begitu ekspresif untuk berbicara dengan orang. Aku takut, karena suasana hatiku yang agak buruk bisa mempengaruhi pertemuanku dengan bapak. Dan aku baru menyadari kalau aku sudah tiba di Yogya. "Eyeshadow-nya kurang," kata ibuku dari belakang ketika seorang penata riasnya sedang mendandaniku. Aku tidak tahu minimal harus bagaimana hingga ibu bisa mengatakan sudah cukup. "Lipstick-nya diganti lipgloss aja. Dia kelihatan kayak tante-tante kalau gayanya kayak gitu," komentar ibuku lagi. la sepertinya ingin membuatku terlihat memukau. Ya, sayangnya aku tidak bakal bersinar seperti yang diharapkannya. Arsyi dan Arsyad yang bakal menguasai karpet merah. Ya, acara akan berlangsung beberapa jam lagi. Dan untuk orang yang ingin berusaha memperlambat waktu sepertiku, waktu malah cenderung terasa lebih cepat. Aku sangat gugup. Hingga aku tidak mengkhawatirkan seperti apa penata rias itu mengubah penampilanku. Aku cuma berharap, bisa tidak lewatnya tidak di tengah-tengah keramaian? Kan sumpek kalau harus berjejalan. "Sempurna!" puji Ibu setelah melihat penampilanku selesai dipoles. Aku mengela napas lega. Sayangnya, acara yang lebih ekstrem belum juga selesai. Ibuku menarikku ke arah walking closet-nya. Di sana, ada beragarn dress dengan model yang berbeda. Tertulis di gantungannya nama-nama ibuku, Arsyi, dan aku. Dia menarik sebuah dress berwarna merah muda yang langsung disodorkannya padaku. "Pakai ini cepet, nanti kamu berangkat bareng sama Arsyad dan Arsyi. Ibu duluan. Jangan hapus make up kamu ya, Arum. " Pesan ibuku lalu dia melesat pergi. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Aku merasa kalau yang ada di balik cermin itu bukan aku. Wajahku terlihat berbeda. Apalagi tidak ada kacamata di sana. Aku merasa bukan seperti diriku saat ini. Ingin rasanya aku mengambil tisu basah dan menghapus bedak beserta kawan-kawannya yang menempel di wajahku ini. Hanya saja, ibuku berpesan untuk tidak menghapus make up. Dengan terpaksa, aku menuruti pesannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk memakai dress itu. Pertanyaanku kini adalah, bagaimana caranya agar aku tidak terlihat bodoh dengan balutan ini. Apalagi memikirkan ketakutan konyol seperti, bagaimana kalau nanti aku jatuh tersungkur di karpet merah karena saking gugupnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD