Tiga

1739 Words
Tapi yang masih bisa aku syukuri itu ya, salah satunya karena Arsyad berbeda dengan Arsyi. Arsyad jauh memiliki kepekaan sebagai seorang kakak daripada Arsyi. Lain jika menyangkut ibu dan bapak, sebenarnya mereka kalaupun tahu sikap Arsyi kepadaku—misalnya saja seperti hari ini—ya pasti mereka akan tidak setuju. Tapi ya, bagaimana lagi, ibu dan bapak sama-sama sibuk kerja. Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki di belakangku. Diikuti teriakan yang memanggil Arsyad untuk segera ke bawah karena seseorang yang kelihatannya penting sudah datang. Suara orang itu nyaring dan tak terbantahkan. "Arsyad kalau...” omongan orang itu berhenti ketika melihatku sedang mematung di depan kamar Arsyad. "Hei, Arum!" pekik orang itu. Suaranya mendadak lembut. Dia adalah manajer Arsyad. Dengan sapaan akrab seperti itu, ya karena dia sudah terbiasa berkunjung ke rumah. Tepat pada saat itu kamar Arsyad terbuka dan sang manajer masuk ke dalamnya. Dan dengan insting yang dari mana datangnya, aku mengendap untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi aku ketahuan, s**l. *** Aku masuk di kelas IPS, tepatnya kelas Sejarah. Aku duduk sendirian. Sama halnya seperti kelas yang sedang aku tempati, dia juga sepi, sendiri. Dia baru akan merasakan keramaian setelah lima menit bel masuk berbunyi. Aku mengangkat kepala bertepatan dengan tas yang ambruk di samping bangkuku. Itu adalah Darsam, dengan gaya tengilnya—headset di telinga, ekspresi yang dingin, menunjukkan seolah tidak ingin diganggu bahkan disapa. s**l, ini jauh dari harapanku. Dia menjadi teman sebangku, tapi tidak benar-benar membantu. "Hei," sapaku berusaha ramah. Aku pikir-pikir lagi kalau tidak ada salahnya dengan berusaha ramah dengan seseorang yang sudah dua kali duduk sebangku denganmu. Walau orang itu sedikit menakutkan karena mengetahui identitasmu tanpa sepengetahuanmu. Tapi sayangnya tidak ada balasan sama sekali. s**l, batinku. “Nggak perlu menggerutu gitu. Aku dengar kalau kau sapa,” katanya, yang masih tetap fous pada iPod-nya. “Hem?” Aku berdeham sambil menengoknya seperti orang kikuk. “Apa?” katanya, “Nggak perlu menyumpah nyerapahi. Kalau mau nyapa ya, nyapa saja. Urusan dibales nggak dibales nggak perlu dipikirin.” Dasar! "Kau kenal Arsyi? Dia bilang padaku agar menjauhimu. Dia bilang padaku kalau kamu culun,” katanya, sambil menyeringai tipis di akhir kalimatnya. Aku cuma bisa melongo. “Sayangnya dia nggak bisa mengomandoiku,” tambahnya. Oke, kalimat tambahan itu cukup menarik. Sebab asal kau tahu saja, bahwa masih belum ada pelajar di sekolah yang berani melanggar perintah Arsyi. Kalau dia bilang A, ya A, kalau B ya, B. Bahkan pengaruh Arsyi jauh lebih besar daripada Arsyad yang sebagai ketua OSIS di sekolah. Dan jika melanggar apa yang diperintahkan Arsyi, siap-siap untuk dirundung habis-habisan. “Ya, kenapa?” tanyaku. “Bosen aja lihat kau selalu duduk sendiri,” katanya dengan gaya sedikit nyeleneh. Entah kenapa menurutku nada bicaranya tidak terkesan sedang bergurau, tapi intonasi suaranya terkesan membosankan yang membuatku tidak begitu menseriuskan ucapannya. Namun meskipun begitu, mau tidak mau aku harus mengakui kalau Haris itu makhluk langka. Karena cuma dia—selain Gea—yang mau bergaul denganku. Bahkan melanggar ucapan Arsyi yang kerap dianggap sakral itu. Aku tidak bisa memperkirakan apa akibat dari keputusannya itu, tapi yang jelas kalau aku merasa senang. *** Aku sedang duduk menghadap halaman belakang rumahku. Di bawah sana terlihat ibu sedang bersantai dengan majalah yang ada di pangkuannya. Dilihat dari ekspresinya yang tenang, sepertinya dia tidak sibuk hari ini. Toh setelah aku pulang sekolah tadi, dia menyapaku, jarang-jarang mendapati peristiwa seperti itu. Dan istimewanya tadi yaitu dia memberikan pertanyaan lazimnya seorang ibu. Bagaimana tadi di sekolah? Ada banyak tugas? Pertanyaan-pertanyaan biasa. Hingga dia mengucapkan pertanyaan yang membuat kepalaku berdenyut-denyut seketika. Apa ada yang suka sama kamu? Dan aku jawab pertanyaan itu sarkas. Antara aku—termasuk saudara-saudaraku di rumah—dan ibu memang jarang bertemu. Tapi bukan berarti antara aku dengan ibu menjadi tidak akrab atau sering bertengkar, tidak. "Hei!" Seseorang mengagetkanku dari belakang. Yang nyaris saja membuat serealku tumpah. "Hehe" cengirnya. Dia melihat buku-buku yang ada di dekatku. “Ngerjain PR ceritanya, nih…” "Hem," Aku cuma berdeham. Kemudian meletakkan mangkuk sereal ke atas meja dan mengambil buku kimia. Lalu kembali melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda tadi. Arsyad kembali memperhatikan meja yang memang berantakan itu. Dia mengambil buku kecil yang berisi jadwal tugas dan kegiatanku di sekolah. la tersenyum kecil ketika membaca halaman depan. “Masih obses masuk UI sama jadi peneliti ceritanya nih?” “Iyalah. Obses itu pembangkit hidup. Dan mana mungkin aku terus-menerus mengakomodir tujuang hidupku. Yang ada nanti aku malah kacau.” "Masa tujuan kamu cuma dua itu, sih? Yang kalau dipikir-pikir lagi ya sama-sama satu lingkup. Menjadi mahasiswa dan menjadi peneliti, itu kan satu rangkap. Dan kalau misalnya kedua hal itu tercapai, terus kamu mau ngapain?” Sejenak aku memikirkan kata-kata itu. Meksipun sedikit ada kesan menggoyahkan, tapi ada benarnya juga. Untuk saat ini, aku memang cuma memikirkan satu wadah untuk meletakkan dua larutan yang berbeda. Misalnya, kopi sama s**u. Kalau wadah itu aku isi dua larutan hingga mencapai batas kapasitas wadah, lalu dengan wadah mana lagi aku harus menampung sisanya? “Ya, nikah.” Spontan aku menjawab itu dengan harap dia tidak meremahkan obsesiku lagi. Tapi semburan tawa menyusul setelah itu. “Ha ha. Nikah? Sejak kapan kamu menonton drama Telenovela? Aku saja belum pernah kepikiran soal itu,” kata Arsyad. "Jadi kalau kamu udah nikah… "Kaaak!" rengekku sebal. "Udah lah, nggak usah gitu. Aku mau ngerjain tugas-tugasku. Ada kau jadi nggak selesai-selesai.” Arsyad langsung spontan mengangkat tangan seolah mengatakan ‘damai-damai’. Tapi mulutnya gemetaran menahan tawa. "Em, tapi aku jadi menseriuskan omonganmu, lho. Apa kau ngomong nikah karena diem-diem kau sudah punya pacar, ya?” aku kelabakan sendiri. "Belom Sih... But/ “Ya, belum. Tapi kan sebagian besar orang akan mengalami itu. Pacaran, nikah, punya anak.” Sengaja aku menyebutkan ‘sebagian besar’ dan bukan memakai istilah ‘semua’, sebab ada orang yang memang memiliki jalan hidup yang nggak sesuai pattern seperti itu. "Yakin? Terus yang kemarin itu siapa?” "Hem, siapa?” tanyaku balik sambil memperbaiki letak kacamataku. "Laki-laki yang kemarin itu…” katanya dengan nada yang terkesan menggoda. "Nggak paham siapa yang kau maksud, dan nggak peduli siapa itu. Udah ah, keluar gih,” kataku sebal. “Iya, iya…” Kemudian dia melengos keluar. .Tapi berselang setelah dia keluar dan menutup pintu, dia berseru, “Cie, Darsam, nih…” Dan aku cuma bisa mendengus kesal dari dalam. Aku melepas kacamata sambil memijat pangkal hidungku perlahan. Matahari nyaris lenyap dari tatapanku. Tapi aku mendapati ibu yang masih betah dengan majalahnya. Entah sudah lembaran berapa yang sudah dibaca. Di sisi lain, aku merasa lega sebab tugas sekolah sudah aku rampungkan semua. Aku hanya tinggal membereskan kamarku yang acak adut ini. Dan di sela-sela upayaku merapikan kamar, terdengar salakan suara dari arah luar. "Ibuuu!" Rengekan manja siapa lagi kalau bukan Arsyi. "Arsyi, dari mana kamu?” tanya ibuku, tatapannya penuh kecurigaan. Ibu menengok dari balik punggung Arsyi. "Shopping!" kata Arsyi. "Oiya, bu, aku mau ngenalin seseorang nih " kata Arsyi masih dengan nada manjanya. Ibuku duduk tegak dengan ekspresi khasnya yang ramah. Siapa sih? Jadi penasaran. "Ini lho, Bu. Cowo yang sering aku ceritain ke Ibu. Cowo terpopuler di sekolah Arsyi,” kata Arsyi dengan menggandeng seorang laki-laki di belakangnya. Bukan hal baru mendapati Arsyi begitu kerap membawa laki-laki ke rumah. Mungkin nyaris semua murid laki-laki yang populer pernah dia bawa ke rumah dan dikenalkan ke Bapak dan Ibu. Ya meskipun semua akhirnya berakhir kandas juga sebab Arsyi sendiri yang bosan. Player, memang. Tapi tunggu sebentar… Laki-laki agak familiar. "Sayang, kenalin ini ibu aku, Ariana Prima, kau kenalkan?" tanya Arsyi sambil menggamit tangan laki-laki yang wajahnya masih dipertanyakan itu. "Hai, Tante..," sapa laki-laki itu dengan ramah. Eh, tepatnya sok ramah. Cerdik sekali dia sepertinya. Dan ya, suaranya familiar, sangat familiar, tapi tunggu... Siapa, ya? "Kau putranya Pak Hendra, kan? Partner bapaknya Arsyi," tanya ibuku. "lya, Tante," jawab laki-laki itu. "Siapa ya namamu? Aduh, karena sering wara-wiri, Tante jadi lupa. Ditambah kau yang jarang ke sini, kan?” "lya, Tante, sibuk latihan futsal soalnya, he he. Jadinya nggak sempet mampir ke sini, apalagi ikut Bapak tour. Lagian bapak bilang ada Sonya juga cukup " jawabnya. Nah kan, apa kubilang. Selera Arsyi tuh, nggak jauh-jauh dari anak basket atau futsal. “Namaku…” Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ish, s**l. Momennya nggak pas banget. Setelah menyambar ponselku, aku cepat-cepat menoleh ke bawah. Terlihat di sana ibu sudah beranjak dari tempat duduknya dan pergi bersama Arsyi dan laki-laki yang bersamanya. “Siapa sih ini?!” ketusku saat meladeni ponselku yang sedari tadi bordering. “Ish, galak banget, sumpah! Gea, nih!” Tahu sih, lagian selain Gea ya siapa lagi yang meneleponku. “Hem iya, kenapa?” “Temenin beli kanvas sama cat air. Punyaku habis.” "Kau minta temenin biar aku yang bayar tarifnya? "Eh, enggak! Temenin aja intinya.” “Iya, aku temenin." "Okey!” "Hem." "Ya sudah kalau gitu, sampai ketemu nanti..." "Iya…” Usai mengakhiri sambungan telepon, Arsyad dari ujung ruang makan berteriak. Artinya makan malam sudah siap. Aku segera menuju ke ruang makan. Meskipun bapak masih ada di luar kota untuk urusan pekerjaan, namun justru di pikiranku dipenuhi dengan laki-laki yang dibawa Arsyi tadi. Mungkin dia juga akan ikut makan malam kali ini. Tiba-tiba perutku disergap lilitan yang luar biasa. Biasanya hal ini mulai terjadi ketika aku merasa gugup. Tapi ya, aku bingung. Gugup kenapa coba? "Arum…” Ibuku ternyata sudah tiba duluan di ruang makan. Karena sapaan ibu itu, seluruh pasang mata langsung menoleh ke arahku. Yang membuat perasaanku langsung cedutan ialat mendapati sorot mata Arsyi yang langsung menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Apalagi dengan pakaianku yang menurutnya di luar standar ini. Sementara Arsyad melambaikan tangannya dan memintaku untuk duduk di bangku sebelahnya. Tapi, kakiku tidak bergerak. Bukan karena aku tidak mau duduk di sebelah Arsyad, melainkan karena keberadaan laki-laki itu seolah menyihirku. Ternyata benar memang. Wajah laki-laki itu memang tidak asing. Baru beberapa hari yang lalu, ada berita seorang perempuan berwajah bak putri cantik kerajaan sudah ditaklukkannya. Dan pertanyaan interogatif langsung berkelebat di kepalaku yang mempertanyakan bahwa tidak mungkin antara keduanya bisa putus secepat itu. Aku meyakini bahwa saat ini, Arsyi sudah menjadi daftar salah satu perempuan koleksinya. Laki-laki itu adalah kolektor perempuan. Ternyata laki-laki tengil itu adalah Arga, ketua Tim Futsal di sekolah. Entah kenapa saat mengenali wajahnya, aku jadi langsung ingin menyambar kerah bajunya dan memukul hidungnya hingga patah. Tapi aku tidak semata-mata memfokuskan pandanganku padanya. Melainkan aku ingin segera memberitahu Arsyi tentang siapa laki-laki yang sedang bersamanya itu. Ya, Tuhan, Arsyi, kamu sedang dalam masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD